Bab 3 :: Pertanyaan Sensitif

102 7 0
                                    

Beberapa hari berada di rumah Omnya Joan dan hanya beberapa kali datang ke rumah untuk membersihkannya, akhirnya Hilmi tiba di rumahnya. Sang ibu mengatakan kalau ia akan pulang nanti sore setelah dinas di luar kota selama seminggu. Kakaknya juga mengabari kalau ia akan pulang dua hari lagi, atas permintaan ibunya.

Awalnya Hilmi sedikit heran mengapa sang ibu tiba-tiba meminta Iyan untuk pulang padahal harusnya ini bukan jadwal Iyan untuk pulang. Hilmi juga sempat curiga pasalnya selama berada di rumah Joan kemarin, laki-laki itu sering menanyakan dan membicarakan perihal ibunya. Entah ibunya yang tiba-tiba punya pacar lagi lah sampai pada kemungkinan ibunya untuk menikah lagi.

Kalau memang begitu alasan dibalik sang ibu tiba-tiba meminta Iyan untuk kembali lebih cepat dari jadwal biasanya, Hilmi sih tidak masalah. Asalkan satu, orang itu benar-benar baik pada ibunya. Yang Hilmi pentingkan di sini adalah ibunya, karena orang itu yang nantinya akan menemani sang ibu sampai hari tua.

Ya, semoga saja begitu. Namun sekarang bukan saatnya untuk membicarakan itu, ada beberapa hal mendesak lainnya yang perlu Hilmi kerjakan. Pertama, menyapu dan mengepel lantai rumah karena selama beberapa hari kemarin Hilmi hanya datang untuk menyapu. Kedua, memeriksa bahan makanan di kulkas apakah ada yang sudah tidak layak makan atau tidak. Ketiga, membersihkan dapur. Beberapa hari belakangan Hilmi belum sempat menyentuh dapurnya.

Ibunya tidak akan mengomel sih, tapi Hilmi merasa tidak bertanggungjawab jika tidak membersihkan itu semua. Apalagi ia memang ditinggal selama beberapa hari. Sudah kewajibannya untuk membersihkan rumah selama ibunya tidak ada. Ia juga harus membersihkan kamar kakaknya, namun berhubung Iyan adalah orang yang cukup bersih, Hilmi paling cuma tinggal membersihkan lantai dan mengganti seprainya saja.

Kalau begini, Hilmi terlihat seperti orang yang pro dalam perihal bersih-bersih. Padahal, hal seperti ini hanya sering ia lakukan ketika ibunya berangkat dinas keluar kota. Memang biasanya Hilmi ikut membantu, tapi hanya sebagian kecil saja. Semuanya tetap ibunya yang kerjakan. Memang ibu yang hebat, ibu Hilmi tuh. Kalau menurut Hilmi.

Dering ponselnya mengalihkan perhatian Hilmi. Ia melepas bajunya, lalu mengangkat telepon.

"Hilmi, udah di rumah, Nak?" Itu ibunya.

"Udah, dari pulang sekolah."

"Oke, bentar lagi Ibu nyampe. Hilmi nggak usah ngapa-ngapain oke, ini Ibu juga udah bawa makan malem. Nggak usah masak nasi juga, ya."

"Iya, Ibu hati-hati di jalan."

Telepon dimatikan.

Sekarang saatnya bagi Hilmi untuk mandi dan membersihkan diri sebelum menyambut ibunya pulang.

🌌🌌🌌

Benar, tidak lama kemudian sang ibu turun dari mobil, yang entah itu mobil siapa, Hilmi belum pernah melihatnya. Hilmi tidak mempermasalahkan hal itu dan menunggu ibunya datang masuk ke rumah.

Pelukan hangat dari ibunya akhirnya Hilmi dapatkan, setelah berhari-hari berada di luar kota, ibunya itu pasti sangat merindukan Hilmi. Ya, walaupun Hilmi juga begitu, sih, tetap saja Hilmi tidak ingin menunjukkan hal itu. Ia memang tipe manusia-manusia pemendam rasa, bahkan rasa sayang saja susah sekali untuk Hilmi ungkapkan, berbeda dengan sang kakak yang cenderung clingy dan sangat suka skinship itu.

"Ya ampun Ibu kangen banget sama anak Ibu yang satu ini." Sejak lima menit yang lalu, pelukan itu tidak terlepas. Hilmi pasrah saja diperlakukan seperti apa oleh ibunya.

"Kok kamu kurusan? Ini lemaknya nggak bisa Ibu pencet-pencet lagi. Om Joan nggak ngasih kamu makan, ya? Padahal Ibu sudah nitipin uang buat kamu makan selama tinggal di sana."

Hilmi tertawa, ibunya ini memang suka sekali meledeknya. Siapapun di keluarga ini sangat suka menggoda Hilmi.

"Mana ada kurusan, ini kayaknya aku gendutan, Om Joan kasih banyak jajan."

"Ah, itu mah kamunya aja yang doyan ngemil sambil main game. Sekarang, kasih tau Ibu berapa jam sehari kamu main game di sana?" Hilmi tidak menjawab, ia hanya tertawa lalu kabur dari hadapan ibunya sambil membawa beberapa barang milik ibunya.

Selesai Hana, sang Ibu membersihkan badan, mereka sekarang berada di ruang makan, makan bersama seperti yang ibunya minta di telepon tadi. Makan bersama seperti ini bisa dibilang cukup sering mereka lakukan, setiap pagi saat sarapan dan saat makan malam sebisa mungkin Hana menyempatkan waktu untuk makan bersama sang anak. Iyan dan Hilmi yang tumbuh semakin besar membuatnya sedikit takut melepas kedewasaan mereka. Seperti saat awal-awal Iyan pergi kuliah di kota sebelah, hati Hana berat sekali menerima kalau anak pertamanya akan sangat jarang berada di rumah. Hilmi pun sebentar lagi mungkin akan begitu.

Berbeda dengan pemikiran ibunya, Hilmi lagi-lagi dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan seputar kekasih ibunya. Apa benar yang Joan katakan kalau kali ini ibunya berniat benar-benar menikah lagi? Jujur, Hilmi tidak siap menerima orang asing di rumah ini, tidak siap perhatian ibunya tidak lagi sepenuhnya pada dirinya. Namun mengingat sudah cukup lama ibunya hidup sendirian, pasti wanita itu sangat kesepian. Ibunya butuh orang untuk bersandar dan itu bukanlah anak-anaknya. Hilmi sadar akan hal itu, tapi tetap aja sebagian kecil hatinya merasa tidak rela.

"Ibu, Hilmi mau tanya." Hilmi takut-takut melihat ibunya. Ia takut pertanyaannya membuat Ibunya tidak senang.

"Ibu punya pacar lagi, ya?" Pertanyaan Hilmi sukses membuat Hana sang ibu terkejut, wanita itu termenung beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum.

Walaupun Hilmi tahu senyum itu merupakan senyum paksaan. Ibunya tersenyum terpaksa.

"Nanti Ibu bahas itu sekalian nunggu Abang kamu pulang, ya." Ibu kemudian beranjak, lalu membawa piring kotor bekas makan mereka untuk ia cuci.

Di meja makan, giliran Hilmi yang termenung. Ah, benar. Ia salah bertanya. Perubahan ekspresi, senyuman yang terpaksa, gerakan cepat ibunya menyingkir dari hadapan Hilmi, semuanya membuat Hilmi paham kalau ia telah salah bertanya. Harusnya Hilmi menahan pertanyaan itu dan melontarkannya saat kakaknya pulang saja.

Hilmi kemudian beranjak. "Ibu Hilmi masuk kamar dulu, ya. Pertanyaan Hilmi tadi nggak usah Ibu jawab nggak papa. Hilmi tahu Ibu belum siap bicarain hal itu. Hilmi nggak papa." Setelah mengatakannya, Hilmi berlalu dari hadapan ibunya.

Sementara Hana, hanya bisa terdiam di depan wastafel. Ini salahnya membicarakan hal itu lebih dulu pada Joan, pasti adik laki-lakinya itu yang berbicara pada Hilmi, padahal ia sudah mengatakan kalau Joan harus merahasiakan ini dari Hilmi. Hana paham sekali, Hilmi pasti belum siap menerima kenyataan kalau ia punya kekasih lagi. Apalagi jika ia mengatakan kalau ia ada rencana untuk menikah lagi dengan kekasihnya yang ini.

Apa kata Hilmi nanti kalau ia tahu semuanya?

Harusnya Hana melakukan pendekatan lebih dulu dengan anaknya, terlebih anak bungsunya yang sudah sangat terbiasa hidup tanpa ayah. Namun untuk kali ini saja Hana rasanya ingin egois. Ia ingin bersikap egois demi kebahagiaannya sendiri. Apakah itu salah?

Hana benar-benar merasa ia sudah menemukan partner yang tepat bagi hidupnya. Meskipun mereka belum lama memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Hana benar-benar yakin akan keputusannya kali ini.

Tolong, ia ingin egois, sekali saja.

Tolong, ia ingin egois, sekali saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

14/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang