Bab 10 :: Memutuskan untuk Percaya

50 4 0
                                    

Pagi sekali Iyan sudah berangkat kembali ke kosnya. Sisa Ibu dan Hilmi di rumah. Karena masih canggung akibat kejadian dua hari yang lalu, Hilmi tidak banyak bicara. Sedangkan ibunya tetap bersikap seperti biasa. Kendati masih bingung akan memberikan keputusan seperti apa, Hilmi masih tetap harus memperlakukan Hana Ibunya sebagaimana mestinya. Hana pun demikian, ia masih perlu pendekatan untuk membuat Hilmi menyetujui pernikahan. Kalaupun Hana ingin egois, apa pun keputusan Hilmi, Hana tetap akan menikah.

Jadi sekaranglah saatnya Hana mendekati Hilmi. Memberikan pengertian pada anak bungsunya akan keputusan besar Hana kali ini. Ia paham Hilmi marah besar padanya kemarin, sampai-sampai anak itu kabur pagi buta ke rumah Joan dan baru kembali sore harinya. Kemarin pun Hana belum sempat berbicara banyak dengan Hilmi.

Sekarang, anak bungsunya itu tengah menunggu makanan yang akan ia hidangkan di ruang makan. Ia diam saja, tipikal Hilmi jika sedang canggung. Hana paham kok, kalau Hilmi canggung dengannya dan tidak tahu harus bersikap bagaimana. Oleh karenanya, sebagai Ibu, Hana perlu memberikan pengertian pada Hilmi meskipun kemungkinan terburuknya, keputusan anak itu tetap sama. Menolak menyetujui pernikahan keduanya.

Hana membawa masakan simpelnya pagi ini ke meja makan. Hilmi masih setia menunggu Ibunya selesai membuat sarapan. Meski terlihat sama saja dan seolah melupakan kejadian kemarin, Hilmi paham pasti ada yang ingin ibunya bicarakan.

"Hilmi nakku sayang." Ibunya mulai berbicara. Hilmi masih diam, namun matanya menatap ibunya tenang.

"Ibu tau, mungkin berat bagi kamu buat setuju sama pernikahan Ibu ini. Ibu paham banget kekhawatiran Hilmi. Tapi tenang saja, Ibu yang akan bertanggungjawab sama keputusan yang udah Ibu buat. Selama kita berhubungan, Pak Heru baik banget sama Ibu. Dia beri Ibu rasa yang belum pernah Ibu rasakan sebelumnya. Kekosongan, kesepian yang Ayah kamu tinggalkan, semuanya terisi dengan kehadiran Pak Heru. Beliau mungkin di mata kamu, orang yang ringan tangan, Ibu janji kejadian seperti itu nggak akan terjadi di keluarga kita. Ibu akan coba buat bikin Pak Heru mengurangi kebiasaan buruknya. Tapi semua terserah Hilmi, keputusan akhirnya tetap ada di tangan kamu, Nak." Hana mengatakannya sambil memegang tangan kiri Hilmi yang kosong sembari mengelus lembut tangannya. Berharap dari kelembutan ini, hati Hilmi juga ikut melembut.

Berbeda dengan Hana, Hilmi berpikiran yang lain. Ia merasa mungkin, tindakannya kemarin hal kekanak-kanakan yang pernah ia lakukan, bahkan semalam ia sempat beradu argumen dengan Iyan. Keadaan keluarganya sempat tidak baik-baik saja lantaran kelakuannya kemarin. Hilmi sepertinya terlalu egois jika tidak melihat dari sisi ibunya dan terus mempertahankan argumennya mengenai Pak Heru. Untuk kali ini saja, Hilmi memutuskan untuk menyerah. Ia serahkan semuanya pada Ibunya dan semoga kali ini keputusannya tidak salah.

Sekarang giliran Hilmi yang menggenggam erat tangan Ibunya yang sudah mulai keriput. "Maaf kemarin Hilmi bikin keluarga kita nggak baik-baik saja. Tindakan Hilmi kemarin juga bukan tanpa alasan, Ibu juga tau itu kan. Tapi kali ini, Hilmi percayakan semua ke Ibu. Kalau Ibu bahagia, Hilmi juga berusaha buat bahagia. Ini hidup Ibu, maaf kalau kelakuan Hilmi kemarin bikin Ibu sedih dan merasa nggak bebas, padahal selama ini Ibu sudah berkorban banyak sama anak-anak Ibu. Maafin Hilmi."

Hilmi kemudian bangkit dari duduknya dan memeluk ibunya erat. Pagi ini ia putuskan untuk menyerahkan semuanya pada ibunya. Hilmi memutuskan untuk percaya pada ibunya. Meski ada banyak sekali kekhawatiran, semoga semuanya tidak terjadi dan hanya bentuk rasa cemas Hilmi saja. Semoga apa yang Iyan dan om Joan katakan benar adanya.

Hilmi menyetujui pernikahan kedua ibunya.

🌌🌌🌌

Desas-desus terdengar begitu Hilmi sampai di sekolah, ada banyak sekali siswi-siswi yang membicarakan hal ini. Hilmi ingin tertawa, ternyata kabar Pak Heru mau menikah sudah menjadi berita hangat seantero sekolah. Entah siapa yang menyebarkan informasi itu, Hilmi jelas merasa tidak nyaman.

"Hilmi, Hil!" Suara teriakan seseorang membuat Hilmi terhenti dan menoleh ke belakang. Itu Rizal, teman dekatnya selama di sekolah.

"Apaan?" Hilmi sengaja menunggu Rizal sampai di posisinya lalu mereka melangkah bersama di kelas.

"Barenglah gila, lo mau ninggalin gue?"

Hilmi tertawa pelan. "Lebay lu, perkara ginian doang."

"Nggak ada hal yang lebih menyebalkan daripada ditinggalin temen pas lagi percaya-percayanya, lo tahu itu kan." Hilmi hanya tertawa, Rizal memang manusia paling absurd yang pernah Hilmi kenal.

"Oi, Bro!" Rizal sudah menyapa orang lain lagi.

"Dari mana lu?" Giliran Hilmi yang menyapa Dani, salah satu teman dekatnya juga.

"Ngumpulin tugas kemaren, kelupaan gue. Untung aja masih boleh ngumpulin sekarang."

Ketiganya lalu berjalan bersamaan. Letak kelas mereka yang cukup jauh, membuat mereka bertiga masih memiliki waktu untuk mengobrol bersama. Memang kebiasaan, ketika mereka bertiga berkumpul menjadi satu, manusia lain seolah tidak ada. Mereka asik dengan dunia dan percakapannya sendiri.

"Eh, gue kan habis dari ruang guru, yak. Pak Heru katanya mau nikah, cuy. Penasaran gue siapa yang dapet spek modelan Pak Heru kayak gitu." Dani menyebarkan informasi sembari tertawa. Hilmi juga ingin tertawa tapi karena yang cowok itu bahas adalah ibunya sendiri, suasana hati Hilmi jadi memburuk, sedikit.

"Serius? Berarti yang diomongin anak-anak cewek dari tadi bener, dong. Gue kira mereka cuma ngegosip aja, anjirlah. Jago juga Pak Heru dapetin calonnya padahal udah pernah nikah juga. Rumor-rumornya cerai karena KDRT, sih. Tapi nggak tahu juga soalnya udah lama."

Hilmi jadi ingin menyingkir dari sana. Dua orang di dekatnya ini kalau sudah menggosip memang melebihi perempuan. Kalau mereka sudah begitu, Hilmi hanya diam menyimak, tidak begitu mengerti apa yang mereka bahas. Tapi karena ini ibunya, meskipun mereka tidak tahu, Hilmi jelas merasa kesal.

"Orang yang kalian berdua omongin itu nyokap gue." Hilmi berkata dengan nada datar, lalu berjalan cepat meninggalkan mereka berdua yang sepertinya masih memproses ucapan Hilmi barusan.

"Hah?!" Keduanya serempak mengucapkannya.

"Eh, serius lo? Hilmi! Hil!" Sayang sekali, Hilmi sudah jauh berada di depan, enggan membahasnya lebih jauh.

🌌🌌🌌

Selama pembelajaran Hilmi diam saja. Dani yang menjadi teman sebangkunya juga diam saja. Ia menyadari kalau ucapannya tadi mungkin keterlaluan dan membuat Hilmi kesal, meskipun ia tidak tahu kalau orang yang ia dan Rizal bicarakan tadi adalah Ibu Hilmi, teman dekatnya sendiri. Akhirnya jam istirahat adalah waktu yang tepat untuk meminta maaf.

"Hil, maaf kalau ucapan gue sama Rizal tadi nyebelin dan cenderung kasar. Gue nggak tahu yang dimaksud calonnya Ibu lo sendiri." Hilmi terlihat menghela napas panjang.

"Santai aja, kalian juga nggak tau apa-apa, kan. Ceritanya panjang, kapan-kapanlah gue ceritain. Gue juga baru tau kemarin-kemarin, kok. Sama kayak kalian, gue juga kaget. Tenang aja. Timingnya aja yang bikin gue ngerasa nggak nyaman."

Memang benar, masalah ini hanya terkait dirinya. Mereka yang ada di sini tidak tau fakta itu dan Hilmi juga salah karena tiba-tiba saja merasa suasana hatinya memburuk dan berakibat membuat teman-temannya merasa bersalah.

 Mereka yang ada di sini tidak tau fakta itu dan Hilmi juga salah karena tiba-tiba saja merasa suasana hatinya memburuk dan berakibat membuat teman-temannya merasa bersalah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


22/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang