Bab 14 :: Puncak Emosi

67 7 0
                                    

Warning! Akan ada adegan kekerasan, bagi yang tidak sanggup membacanya, boleh diskip.

Hari-hari selanjutnya, rumah bagaikan neraka bagi Hilmi. Setelah menunjukkan jati dirinya tempo lalu, Pak Heru lebih sering lagi bersikap semena-mena, terlebih pada Hilmi. Namun saat Iyan datang dan ada di rumah, laki-laki itu bersikap seolah suami dan ayah tiri yang paling baik sedunia. Iyan bahkan sempat mengungkit betapa tidak setujunya Hilmi saat ibunya mengaku akan menikah lagi dengan Pak Heru, padahal menurutnya kelakuan Pak Heru ini sangat baik.

Hilmi hanya diam saja, karena jujur, ia tidak ingin semua orang tahu apa yang laki-laki itu lakukan padanya. Ada banyak hal yang ingin Hilmi katakan, tapi lagi-lagi kalimat-kalimat meremehkan itu membuat Hilmi mengurungkan niatnya untuk bercerita. Biarlah Pak Heru berusaha sebisa mungkin membuat citranya menjadi sangat baik di mata keluarganya, meski begitu tetap saja di mata Hilmi Pak Heru adalah orang yang paling menjijikkan sedunia.

Bersikap sok baik padahal aslinya begitu sangat tidak masuk dalam kriteria penilaian orang baik bagi Hilmi. Kelihatan, jika beliau hanya menyayangi ibunya. Sekali lagi, Hilmi saat ini hanya mementingkan kebahagiaan ibunya, ia yang kena sial orang itu pun tidak masalah asal orang itu jangan.

Hilmi juga tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di kepala laki-laki itu. Niat apa yang sebenarnya ia incar dari pernikahannya dengan sang ibu. Harta? Mungkin pendapatan ibu lebih banyak, tapi secara harta Pak Heru jelas lebih unggul, materinya berupa tanah ada di mana-mana. Itu sih, setahu dan sepemahaman Hilmi. Tidak tahu lagi kalau ternyata gembar-gembor harta itu hanya bagian dari karangannya.

Perlahan tapi pasti kebencian mulai mengakar di hati Hilmi. Ada banyak hal yang tidak ia sukai dari ayah tirinya itu dan sampai kapanpun Hilmi tidak pernah memaafkannya. Ia diam dan bungkam karena menghargai ibunya dan enggan diremehkan. Biarlah semua fakta ini terungkap dengan sendirinya suatu hari nanti.

Hilmi pun tidak hanya mendapat perlakuan tidak pantas seperti yang pernah terjadi. Beberapa kali Hilmi disuruh melakukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan, seperti mencuci mobil, lalu ketika tidak bersih, orang itu akan menyiram Hilmi dengan air bekas cucian. Lagi dan lagi, Hilmi bungkam. Ia masih menyimpan rapat cerita pedih tentang kelakuan ayah tirinya. Bahkan Joan pun Hilmi tidak memberitahunya. Seperti yang pernah Hilmi katakan, selama ibunya aman, ia akan berusaha untuk terus baik-baik saja.

Namun ternyata semua menimbulkan rasa takut bagi Hilmi. Terkadang ia memutuskan untuk pulang lebih telat, setidaknya sampai ibunya datang dan ia akan berakhir aman, seperti yang sudah-sudah. Namun ternyata susah. Seperti sekarang, Hilmi pulang ke rumah tepat ketika adzan Maghrib berkumandang. Hilmi tidak ke mana-mana ia hanya berada di minimarket, menghabiskan minuman kopi kemasan sembari melamun, memikirkan banyak hal yang terjadi ke belakang, termasuk kebodohannya karena sampai saat ini enggan untuk bercerita.

Hilmi yang pulang telat, ternyata sudah ditunggu oleh beliau. Sialnya, ternyata sang ibu kembali lembur. Katanya ada masalah di kantor yang perlu diselesaikan segera. Hilmi lagi-lagi harus berduaan dengan iblis berhati batu.  Hilmi baru saja menemukan panggilan yang cocok untuknya.

"Dari mana kamu, kenapa baru pulang sekarang?" Pak Heru berkacak pinggang. Ia menanti kehadiran Hilmi sejak tiba di rumah ini sepulang sekolah.

"Kerja kelompok." Hilmi menjawab dengan nada datar, meski nyatanya ia berbohong.

"Saya sudah bilang, di rumah ini sekarang hanya ada aturan yang saya buat. Saya nggak suka kamu pulat telat kayak gitu, buat apa kerja kelompok sampai jam segini? Masuk! Anak laki-laki lembek kayak kamu perlu diberi pelajaran."

Hilmi menurut, daripada urusannya tambah panjang, lebih baik ia menurut dan diam. Namun ternyata apa yang Pak Heru lakukan di luar dugaan. Saat Hilmi telah masuk rumah dengan langkah gontai, laki-laki itu memegang sapu dan melemparkannya pada Hilmi sekuat tenaga. Sapu itu mengenai bahu Hilmi dengan keras, sampai ia baru sadar kalau sapu itu mendarat di bahunya cukup keras. Seketika bahu kanannya terasa nyeri.

"Pantes aja kamu nggak bisa dibilangin! Kelamaan nggak punya bapak, nggak ada yang bisa bikin kamu takut, keluyuran nggak jelas kayak tadi!"

Sungguh, ucapannya membuat hati Hilmi sakit bukan main. Bukan kemauannya kehilangan sang ayah sejak dini. Bukan keinginan keluarganya kehilangan kepala keluarga secepat itu. Lalu laki-laki asing ini datang, mengacaukan hidupnya, berbuat seenaknya seolah ia adalah raja dan Hilmi budaknya. Laki-laki asing yang dengan seenak hati merebut ibunya, lalu membuat Hilmi seolah menjadi manusia paling salah di muka bumi ini.

"Harusnya Bapak yang sadar, di rumah ini Bapak bukan siapa-siapa." Kepalang emosi, akhirnya Hilmi bersuara. Nadanya tenang, tapi penuh penekanan. Seolah menyatakan kalau Hilmi siap perang sekarang juga.

Laki-laki di depannya semakin naik pitam, Hilmi yang masih membelakanginya ditarik sampai menghadapnya. "Apa kamu bilang?"

"Saya bukan anak Bapak, jadi nggak usah campuri kehidupan saya sendiri! Bapak tuh cuma orang asing di sini ngerti nggak, sih?!" Nada Hilmi meninggi. Jelas kentara sekali kalau ia sudah lama menyimpan emosi ini.

"Bilang sekali lagi di depan saya! Anak kecil kayak kamu tahu apa tentang dunia?! Saya didik kamu seperti ini supaya kamu paham, dunia di luar sana lebih keras dari saya!" Pak Heru bahkan mencengkram kerah seragam Hilmi, menariknya sampai Hilmi berada di depan mata.

"Bapak yang kayak gini nggak usah sok-sok-an ngajarin saya, Bapak bukan siapa-siapa bagi saya. Bapak ngerti nggak sih, yang Bapak nikahi cuma Ibu saya, bukan anak-anaknya!"

Mendengar jawaban Hilmi, Pak Heru melepas cengkeramannya. Ia tertawa cukup keras sebelum akhirnya melemparkan tamparan keras pada pipi kanan Hilmi. Suaranya cukup keras sampai Hilmi merasa lehernya seperti ikut tertarik. Sebelah wajahnya terasa panas, tapi alih-alih merasa sakit, Hilmi justru tertawa keras.

"Oh, gini ternyata rasanya punya Bapak tempramen. Pantes aja anak kandung Bapak nggak pernah mau ketemu. Pukulannya bikin panas kepala dan hati."

Lagi-lagi emosinya tersulut. Ucapan Hilmi sukses membuat Pak Heru tak bisa membendung amarahnya. Sekali tamparan ternyata tak cukup membuat Hilmi bungkam, malah ternyata semakin menjadi-jadi. Selain marah karena ucapannya, Pak Heru kesal karena Hilmi tidak pernah mau mendengarkan omelannya. Double kesal ditambah dengan bumbu-bumbu emosi panas membuatnya semakin meledak.

"Berani bicara begitu sama orang tua, hah?!"

Satu tamparan melayang ke pipi sebelah kiri Hilmi. Kali ini dua pipi Hilmi sudah terkena tamparan panasnya. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Hilmi akan diam? Tentu saja tidak. Hilmi ternyata suka memainkan emosi Pak Heru seperti ini. Ah, ternyata gampang saja membuat laki-laki itu tersulut emosinya. Dan juga jauh lebih melegakan dibanding bercerita dengan orang-orang. Melawan orang-orang seperti ini memang butuh tenaga dan mental, syukurlah Hilmi kuat sekarang.

"Harusnya kalau Bapak mau dihargai di rumah ini, lebih dulu hargai penghuninya. Memangnya Bapak pernah menghargai kehadiran saya? Di sini saya cuma jadi babu Bapak padahal Ibu saja aja nggak pernah memperlakukan saya seperti Bapak. Lucu sekali Bapak ini."

Tidak cukup tamparan, bogeman Hilmi dapatkan selang beberapa detik setelah ia dengan berani mengucapkan kalimatnya.

Tidak cukup tamparan, bogeman Hilmi dapatkan selang beberapa detik setelah ia dengan berani mengucapkan kalimatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


27/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang