Bab 2 :: Bersama Om Joan

133 11 0
                                    

Berada di rumah Joan bukan lagi hal yang asing bagi Hilmi maupun sang kakak, Iyan. Ibunya yang merupakan pekerja kantoran, hampir tidak punya banyak waktu untuk anak-anak, yang akhirnya memaksa mereka berdua untuk lebih sering menghabiskan waktunya bersama sang Om, Juan. Apalagi setelah sang ayah meninggal, Joan layaknya ayah kedua bagi mereka. Rumah Joan pun terasa seperti rumah kedua. Apalagi laki-laki itu baru pindah dan keluar dari rumah Hilmi sejak dua tahun yang lalu. Terkadang membuat rumah Joan menjadi markas bagi Hilmi dan juga Iyan jika mereka ditinggal hanya berdua di rumah.

Layaknya rumah sendiri, Hilmi dan Iyan bahkan memiliki kamar sendiri di rumah ini, baju-baju mereka pun ada beberapa yang memang sengaja ditinggal di sini. Joan yang belum kunjung menikah tentu senang jika keponakan-keponakannya sering datang ke sini.

"Mau makan malem apa?" Joan menghampiri Hilmi yang tengah bersantai di ruang tengah sembari menonton film.

"Apa aja deh, tapi jangan yang pedes." Joan mengangguk, untung saja Hilmi tidak seperti abangnya yang picky eater, jadi Joan tidak pusing memikirkan bagaimana anak ini akan makan. Asal tidak pedas, semua akan Hilmi lahap.

Bagi Joan yang memang sangat menyayangi keponakan-keponakannya sejak mereka masih kecil, direpotkan seperti ini sangat tidak masalah. Apalagi sejak mereka kehilangan ayahnya, Joan jadi lebih ekstra membantu sang kakak menjaga anak-anaknya. Joan begitu menyayangi Hilmi dan Iyan layaknya anak sendiri, makanya sampai sekarang ia tidak berminat untuk menikah. Memiliki mereka semua dalam hidupnya sudah sangat cukup bagi Joan.

Si bungsu Hilmi, kalau boleh Joan cerita sedikit sebenarnya adalah anak yang pemalu dan jarang bisa menunjukkan kasih sayangnya, makanya Joan gemes sekali sama anak itu. Tingkahnya yang malu-malu itu selalu sukses membuat Joan tersenyum, apalagi kalau ia berhasil menggodanya, menyenangkan sekali melihat wajah kesal Hilmi. Selain pemalu, Hilmi juga sangat susah bercerita, jika tidak ditanya langsung, Hilmi tidak akan menceritakan apapun. Makanya Joan sangat menghargai Hilmi jika anak itu sudah mulai bercerita.

"Om, mau kopi boleh?" Hilmi datang ke dapur, mencari keberadaan Joan yang sedang sibuk berkutat dengan mesin kopi.

Tuh, kan, Hilmi tuh sangat menggemaskan bagi Joan. Tidak bisa untuk Joan tidak mengacak rambutnya, jika Hilmi bersikap seperti ini.

"Buat sendiri tapi, ya. Om mau kerja lagi, itu nanti kalau ada paket gofood dateng, kamu makan aja. Punya Om simpenin di kulkas."

Sayang sekali Joan tidak bisa menghabiskan sepanjang waktunya bersama Hilmi. Demi menyambung hidup, ia tetap harus bekerja. Pekerjaannya yang from home alias kerja remot, membuat Joan tidak bisa seperti pekerja lainnya yang mempunyai jadwal tetap, kadang tengah malam pun ia tetap harus bekerja. Tapi ini lebih baik dibanding Hilmi sendirian di rumahnya.

🌌🌌🌌

Hilmi akhirnya makan malam sendiri. Ia tidak masalah, sudah terbiasa makan sendirian. Bahkan meski berada di rumah omnya, ia juga sering makan sendiri seperti ini. Baik ibunya ataupun omnya mereka sama-sama suka kerja. Tapi omnya memang jauh lebih baik karena meskipun ia bekerja, laki-laki itu masih punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Berbeda dengan ibunya, pagi sekali sudah berangkat kerja, ketika pulang pun kadang masih tetap harus bekerja. Saking sibuknya, Hilmi bahkan pernah hanya bisa melihat ibunya 10 menit meskipun mereka berada di satu rumah yang sama.

Habis makan, Hilmi beranjak dan memutuskan untuk main game. Bisa dibilang, Hilmi lebih betah berada di sini dibanding di rumahnya. Apalagi kalau sudah ada ibunya dan beliau sedang tidak bisa diganggu, jangan harap Hilmi bisa main game dengan leluasa. Makanya ia sering kabur ke sini kalau lagi suntuk di rumah tidak bisa ngapa-ngapain.

Ah, sungguh sangat sayang omnya yang rela menghabiskan banyak uang untuk membeli banyak permainan seperti PS4 yang ia pakai sekarang. Ya, walaupun itu juga hobi omnya sih.

Saat sedang asik bermain, Joan tiba-tiba datang dan mengganggu Hilmi yang sedang bermain, membuat anak itu berdecak kesal yang anehnya justru membuat Joan tertawa keras.

"Ibu kamu kayaknya lagi kasmaran, tuh." Joan tiba-tiba membicarakan ibunya, membuat permainan yang sedang mereka mainkan berdua Hilmi hentikan.

"Ibu?"

"Iya, kemaren Om lihat statusnya lagi bareng laki-laki."

"Om salah lihat kali, siapa tau itu koleganya Ibu. Ibu kan lagi dinas keluar kota."

Joan pikir awalnya juga begitu, tapi memang gerak-gerik kakaknya itu sedikit mencurigakan. "Bisa jadi sih, tapi kayaknya itu foto lama. Ibumu kan baru kemaren berangkat. Itu juga statusnya siang-siang tapi fotonya malem. Kayaknya emang foto lama, sih. Mana nggak lama dihapus lagi statusnya, bikin curiga aja."

Hilmi berusaha membela ibunya dari prasangka-prasangka Joan. "Koleganya paling, Om."

Kemudian mereka melanjutkan permainan lagi. Topik kasmaran ibunya memang sedikit menjadi topik sensitif bagi Hilmi. Bukan berarti ia tidak rela ibunya memiliki hubungan dengan pria lain, ibunya juga sudah lama sekali sendiri, terakhir punya pacar pun sudah tiga tahun yang lalu. Namun tetap saja, Hilmi masih merasa sensitif, ia takut ibunya salah pilih pasangan, itu saja.

"Kamu masih nggak rela Ibumu pacaran lagi, ya?" Joan tahu ini topik yang cukup sensitif bagi Hilmi, namun jika tidak memancingnya, anak itu tidak akan jujur dengan perasaannya. Joan mau Hilmi jujur akan perasaannya sendiri.

"Bukan nggak rela, Om. Takut aja Ibu salah pilih pasangan."

"Kenapa bisa gitu?"

"Nggak tahu. Takut aja Ibu dapetnya yang nggak sesuai, nggak sepadanlah sama Ibu."

Joan masih mencoba memancing Hilmi. "Meskipun buat kamu, orang itu nggak sepadan sama Ibu, tapi Ibu kamu tetap cinta dan bahkan mau nikah sama orang itu?"

"Ah, nggak tahulah. Lagian belum tentu Ibu mau nikah lagi juga. Itu dulu sama Om siapa itu, kan ujung-ujungnya putus." Sudah cukup menggoda Hilmi, Joan rasa anak ini masih belum mau mengungkapkan isi hatinya.

Daripada membuat suasana hatinya buruk, lebih baik Joan akhiri saja, Namun ia masih ingin mengungkapkan satu hal, sebagai orang yang jauh lebih dewasa dari Hilmi. Memang, terkadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan bagaimana cara pikir orang dewasa.

"Jangan pikirin menurut kamu atau menurut Abang kamu aja, tapi pikirin juga menurut Ibu kamu, sudut pandang dia kayak gimana. Dah, dah, kita lanjut main aja."

Mereka memang tetap melanjutkan permainannya. Namun kepala Hilmi jadi ikut berbicara. Memikirkan kembali apa yang baru saja omnya katakan, memang sudut pandangnya sebagai abg labil dan juga sebagai anak, kadang tidak sesuai dengan sudut pandang ibunya sebagai orang dewasa. Tapi kalau boleh jujur, Hilmi tidak ingin ibunya menikah lagi. Hilmi tidak ingin wanita itu punya laki-laki lain, laki-laki baru dan juga asing lalu masuk ke dalam kehidupan mereka. Hilmi ingin selamanya mereka seperti ini, kalau ia boleh egois.

Namun untuk omnya, Hilmi ingin laki-laki itu segera menemukan tambatan hatinya, agar tidak selalu menganggu Hilmi seperti yang sekarang laki-laki itu lakukan. Yap, lagi-lagi mengacak-acak rambut Hilmi karena Hilmi kalah dalam permainan mereka.

 Yap, lagi-lagi mengacak-acak rambut Hilmi karena Hilmi kalah dalam permainan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


11/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang