Bab 8 :: Percakapan dengan Joan

52 6 0
                                    

Pagi buta Hilmi sudah menghilang dari rumahnya. Tujuannya sekarang tidak lain dan tidak bukan merupakan rumah Omnya, Joan. Semalam Hilmi sudah mengabari pria itu bahwa besok pagi ia akan pergi ke rumahnya. Joan yang memiliki kebiasaan lari pagi saat subuh tidak keberatan dengan kedatangan Hilmi. Ia bahkan sudah berpesan jika saat Hilmi datang, Joan belum ada di rumah, kunci rumah ia letakkan di bawah karpet.

Dari dulu ketika ia merasa sedang ada masalah, atau sedang bertengkar kecil dengan Ibu atau abangnya, Hilmi selalu kabur ke rumah Joan. Untung saja Joan sudah punya rumah sendiri sejak Hilmi kelas enam SD, jadi Hilmi punya tempat pelarian saat suntuk berada di rumah.

Bagi Hilmi, kehadiran Joan dalam hidupnya seperti pengganti sang ayah dan sang ibu. Saat abangnya masih sekolah, Hilmi seringkali berebut siapa yang akan mengambil rapotnya jika diadakan di hari yang sama, Ibunya kebanyakan memilih Iyan, dan rapor Hilmi terpaksa diambilkan Joan. Sejak ayahnya meninggal, Joan seperti mengambil alih peran itu dalam hidup Hilmi dan Iyan. Makanya ketika ia ada masalah atau ditinggal sang ibu pergi dinas ke luar kota, Hilmi selalu berada di rumah omnya itu. Rumah Joan sudah seperti rumah kedua bagi Hilmi.

Dan di sinilah Hilmi sekarang, ia baru saja memarkirkan motornya di carport milik Joan. Sepertinya memang betul laki-laki itu belum kembali dari rutinitas paginya. Maka dari itu Hilmi mencari letak kunci rumahnya. Ternyata benar, Joan menyimpannya di bawah keset depan pintu masuk. Sudah seperti pemilik kedua rumah ini, Hilmi masuk begitu saja.

Ada banyak hal yang Hilmi syukuri dari keberadaan Omnya itu. Termasuk salah satunya, statusnya yang belum menikah. Jadi Hilmi masih bisa bersikap seenaknya di rumah ini, tentu jika suatu saat Joan sudah menikah, Hilmi akan sangat jarang datang ke rumah ini. Begini-begini Hilmi masih mengerti aturan dan unggah-ungguh, meskipun kadang masih kelewatan, sedikit.

Tujuan utama Hilmi datang rumah Joan pagi-pagi sekali selain menghindari orang rumah akibat kejadian semalam, Hilmi ingin tahu bagaimana perspektif Joan terhadap pernikahan Hana, kakaknya. Meski terbilang cukup dingin dan interaksi mereka sedikit kaku, Hilmi paham Joanlah orang yang paling peduli pada Ibunya setelah orang tua mereka tiada, apalagi sejak ayah Hilmi meninggal. Joan pun meninggalkan rumah kakaknya setelah Hana stabil dengan mentalnya dan sanggup membesarkan Iyan dan Hilmi sendirian. Makanya kemarin laki-laki itu sempat membahas terkait kekasih ibunya, Hilmi juga curiga kalau Joan sebenarnya sudah tahu tentang berita ini.

Tidak banyak yang bisa Hilmi lakukan di rumah Omnya sembari menunggu yang punya rumah pulang. Sedari tadi ia mengutak-atik ponselnya, bermain game, menonton, semuanya telah ia lakukan dan terhenti ketika Iyan menelfonnya berkali-kali. Cowok itu pasti sudah menyadari ketiadaan Hilmi di rumah. Karena Hilmi masih emosi perkara semalam, ia malas mengangkat telfon itu. Biarkan saja, Abang dan ibunya pasti sudah paham kalau Hilmi datang ke sini.

Setengah jam kemudian, Joan datang. Masih lengkap dengan pakaian olahraga, namun membawa beberapa kantong plastik. Pasti Joan membeli sesuatu.

"Nih, Om beliin bubur ayam di depan. Subuh-subuh ke sini pasti kamu belum makan." Hilmi menerima bungkusan itu dan pergi ke dapur. Memilih menyimpannya terlebih dahulu sebelum memakannya nanti.

"Kamu pasti lagi berantem sama Ibu dan Abang kamu. Kali ini apa masalahnya?" Joan langsung bertanya pada intinya ketika Hilmi datang dan duduk di sofa sampingnya.

"Ibu mau nikah lagi, Om tahu?" Hilmi juga mengatakannya secara langsung.

Wah, ini pembahasan yang cukup serius. Joan baru kali ini melihat wajah Hilmi seserius itu. Joan menggaruk kepalanya kemudian, baru saja Hilmi kalau menyangkut tentang ibunya, ia selalu serius. Jadi kali ini Joan juga harus serius. Berita itu, bukan lagi berita yang mengejutkan. Ia dan kakaknya, serta calon kakak iparnya sudah sekali bertemu dan memang pembicaraan mereka langsung ke pernikahan kala itu.

Joan berdehem sebelum menjawab pertanyaan Hilmi. "Om tahu. Om pernah ketemu calon Ibu kamu sekali, sekitar dua minggu yang lalu."

Hilmi terkejut. Dua minggu yang lalu kemungkinan sebelum ibunya berangkat dinas. Dan ucapan-ucapan omnya terkait kekasih ibunya berarti saat Joan sudah tahu kalau ibunya berniat menikah lagi. Hilmi merasa terkhianati dua kali. Hilmi merasa kecewa tapi ia tidak bisa serta-merta menyalahkan omnya. Laki-laki itu bersikap begitu mungkin karena permintaan ibunya.

"Kamu kaget? Baru tau kemarin?" Joan bertanya saat melihat keterdiaman Hilmi.

Hilmi mengangguk. "Ibu baru ngasih tau kita kemaren. Tapi yang paling bikin Hilmi kaget, calon Ibu Pak Heru. Guru olahraga Hilmi."

"Iya, Om juga udah denger kalau dia guru di sekolah kamu. Kenapa emang?" Joan melihat Hilmi tengah gusar, ia terlihat beberapa kali menghela napas sebelum menjawab pertanyaannya.

"Hilmi nggak suka calonnya. Pak Heru tuh di sekolah suka main tangan. Ngehukum murid yang melanggar aturan pake kekerasan. Hilmi nggak suka orang yang ringan tangan kayak gitu. Menurut Om, gimana? Abang kemaren bilang bisa aja itu cara Pak Heru mendisiplinkan muridnya dan nyuruh Hilmi buat ngutamain kebahagiaan Ibu. Tapi Hilmi nggak bisa, orang kayak gitu nggak bisa masuk ke hidup Hilmi gitu aja."

Ah, Joan paham sekarang. Alasan mengapa Hilmi datang ke sini pagi-pagi sekali, pasti ia meributkan hal ini kemarin. Meski tidak mengerti cerita jelasnya seperti apa, Joan bisa menangkap kalau Hilmi langsung mengatakan ia tidak suka ibunya menikahi laki-laki itu, tapi abangnya juga menentang, Hilmi marah dan tidak terima alhasil kabur ke sini dan membicarakan hal itu bersamanya. Joan tahu kalau Hilmi kabur karena dua orang di rumah itu menghubunginya tadi, bertanya apakah Hilmi ada di sana, Joan jawab saja iya. Toh, ia tidak berbohong kan, Hilmi memang bersamanya, seperti sekarang.

"Om paham sisi kamu kayak gimana dan Om juga paham sisi Abangmu kayak gimana. Tapi sebagai manusia kita nggak bisa men-judge manusia lainnya langsung kayak gitu, kan? Om paham kok Hilmi nggak suka orang yang ringan tangan karena berpotensi melakukan itu kapan aja dan ke siapa aja waktu emosi, iya, kan? Kamu juga harus ngelihat sisi Ibumu kayak gimana. Bisa jadi, orang itu yang selama ini ngasih sesuatu yang belum bisa Ibu dapetin. Misalnya kenyamanan, rasa aman, perhatian, kepedulian, Ibu kan selama ini nggak pernah dapetin itu karena nggak punya pasangan, kan. Jadi menurut Om, kamu coba ikut makan malem bareng sama calon Ibumu, pikirin sudut pandang Ibu kayak gimana, sudut pandang Abang kayak gimana dan sudut pandang Hilmi sendiri kayak gimana, setelah itu kamu boleh ngasih keputusan."

Hilmi terdiam cukup lama. Perkataan Omnya memang cenderung membela abangnya, tapi apa yang ia katakan juga tidak salah. Mungkin memang benar, Hilmi harus lebih memikirkan dari sisi ibunya, bertemu langsung dengan calon ibunya dan mengamati gerak-geriknya selama mereka bertemu, baru Hilmi bisa membulatkan keputusannya.

Entah kenapa sekarang rasanya cukup jelas. Hilmi tidak lagi diliputi rasa emosi, kepalanya yang awalnya mendidih tidak terima Iyan lebih memilih sisi Ibunya, kini lebih mendingin. Pikiran Hilmi lebih terbuka saat berbicara dengan Joan. Karena itu Hilmi memantapkan hati untuk mengikuti apa yang Joan anjurkan. Walaupun sedikit malu, ia harus pulang sekarang.

 Walaupun sedikit malu, ia harus pulang sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


20/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang