Bab 20 :: Kesialan Hilmi

55 7 0
                                    

Setelah Hilmi memutuskan untuk kembali ke rumah yang terasa seperti neraka baginya itu, semua terasa kembali normal. Joan sudah tidak bertanya mengenai ini dan itu, Ibunya juga jadi tidak lagi bertanya-tanya, Rizal dan Dani selaku teman dekatnya juga tidak lagi melihat Hilmi dengan tatapan curiga. Awalnya Hilmi merasa kecurigaan itu hanya berlingkup di orang-orang yang memang dekat dengan Hilmi. Tapi ternyata Iyan juga tahu mengenai hal ini. Sejak kemarin, kakaknya itu sudah sangat cerewet. Memaksa Hilmi mengangkat teleponnya, lalu bertanya ini dan itu. Bahkan setelah Hilmi jelaskan pun bagi Iyan masih tidak cukup.

Hilmi jelas tidak ingin memperpanjang masalah. Jadi ia memberikan sedikit penekanan pada Iyan bahwa apa yang terjadi belakangan ini memang hanya karena Hilmi. Meskipun itu berbohong, setidaknya laki-laki itu sekarang sudah percaya kalau Hilmi baik-baik saja. Sepertinya memang Hilmi salah langkah dan tidak tepat mengatur strategi. Kalau begini caranya bisa-bisa Pak Heru bertindak semakin semena-mena terhadapnya.

Kemarin Hilmi selamat, ternyata ibunya pulang tepat waktu. Hanya selang setengah jam setelah ia tiba di rumah, jadi Pak Heru tidak bisa apa-apa. Hana sang ibu juga sedikit lebih protektif, kadang tidak mau membiarkan Hilmi hanya berdua dengan pak Heru. Saat Hilmi tanya alasannya, Hana menjawab kalau ia tidak ingin hubungan antara Hilmi dan pak Heru semakin canggung, makanya menemani mereka jika sedang berdua. Alasan seperti itu jelas akan sangat Hilmi terima, dengan demikian Hilmi aman meskipun berada di rumah. Melihat pak Heru tidak bisa berkutik ada kepuasan tersendiri bagi Hilmi.

Namun ternyata hari-hari setelahnya, tidak demikian. Saat ibunya kembali sibuk dengan urusan pekerjaan yang tak berkesudahan, Hilmi harus dan mau tidak mau berada di rumah hanya berdua dengan Pak Heru. Membuat laki-laki tua itu bisa dengan leluasa mencoba mengerjai Hilmi. Awalnya tidak ada kejadian apa-apa, Hilmi hanya disuruh-suruh. Dan ketika apa yang ia suruh tidak memenuhi ekspektasi, pak Heru akan marah. Kalau hanya seperti itu, Hilmi cukup mendengarkan saja.

Berbeda dengan jika ada yang salah dengan hari pak Heru. Entah masalah di sekolah, atau di pertemanannya. Siap-siap Hilmi menjadi samsak kemarahannya. Dalam jangka waktu satu Minggu, Hilmi tidak mengalami hal-hal berupa kekerasan. Pak Heru hanya beberapa kali menyindirnya. Mengatakan kalau ia laki-laki cemen yang hanya bisa berlindung di ketiak ibunya dan kaki omnya. Hilmi sih tidak peduli, yang penting badannya aman, semua sudah cukup.

Tapi ternyata hal seperti itu tidak bertahan lama. Hari ini sepertinya merupakan hari yang buruk bagi pak Heru dan Hilmi. Di sekolah tadi, Hilmi keseleo, jalannya sedikit pincang meski telah diobati di UKS, menyebabkan Hilmi pulang sedikit lebih lambat dari biasanya. Dan pak Heru, mungkin memang ada kejadian tidak menyenangkan di sekolah yang tidak Hilmi tahu, saat sampai di rumah, laki-laki itu sudah menunggu Hilmi. Lagaknya seperti sedang menunggu mangsa.

Dalam hati Hilmi berucap, kenapa lagi?

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ini salah Hilmi sih. Kenapa ia tidak punya keberanian lebih sekedar memberitahu semua keluarganya apa yang laki-laki itu lakukan padanya selama ini. Atau mungkin kabur dari rumah jika pak Heru kembali melayangkan pukulan pada tubuhnya. Entahlah, ketika saat itu tiba Hilmi hanya bisa diam. Berbicara pada orang lain terasa sangat susah, dan bahkan terasa sesak. Hilmi tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya yang jelas, Hilmi takut jika berhadapan langsung dengan laki-laki itu.

Seperti yang tadi ia bilang, Pak Heru menunggunya di teras. Dan saat Hilmi memarkirkan motor matic kesayangannya, laki-laki itu masuk ke dalam. Sepertinya menunggu Hilmi di ruang tamu. Dan benar saja, Pak Heru tengah duduk di salah satu sofa di ruang tamu, memegang penggaris besi panjang namun tipis. Alamat penggaris itu akan mendarat di punggungnya lagi.

"Pulang telat lagi? Setelah kabur-kaburan tiga Minggu, sekarang mulai berani lagi?"

Hilmi tidak mengerti harusnya yang perlu Hilmi pertanyakan adalah pria itu, tapi kenapa kesannya di sini selalu Hilmi yang salah?

"Mampir ke UKS bentar."

"Emang manusia Cemen kamu itu, jatuh dikit sakit. Kena pukul dikit, kabur. Saya ngerti gimana Ibu kamu besarin kamu selama ini, wajar ya, perempuan nggak mungkin tegas dalam membesarkan anak."

Wah, laki-laki ini mulai membawa-bawa ibunya. Apa perlu Hilmi rekam ucapan pria di depannya ini? Saat Hilmi meraba kantong celana seragamnya, Hilmi baru sadar kalau ponselnya ada di tas. Tidak akan sempat mengambilnya, keburu laki-laki itu menyerang atau memukul Hilmi. Hilmi perlu cara supaya bisa kabur kali ini. Tapi apa? Pikirannya buntu sekarang.

"Kamu kira tumbuh tanpa ketegasan seorang Ayah itu enak? Lihat kamu, lembek, nggak bisa jaga diri. Bisanya kabur atau ngadu. Ngaku kamu! Udah bilang apa aja ke Kakak atau Om kamu, hah?"

Wah, sakit jiwa emang orang ini. Siapa sih yang memperkenalkan orang ini pada Ibu sampai-sampai Ibu mau menikahinya? Jangan-jangan Ibu terkena pelet dukunnya?

"Harusnya saya nggak, sih, Pak yang tanya? Bapak ini siapa berani komentar macam-macam ke anak yang bukan anak kandung Bapak sendiri. Selama ini, saya cuma menghargai Bapak sebagai suami Ibu saya, bukan Ayah tiri saya." Emosi seperti ini kadang muncul ketika pak Heru sudah mulai berbicara yang macam-macam padanya, tapi selalu tidak berhasil ketika ia mulai menggunakan kekerasan. Hilmi selalu tunduk dan tidak berani melawan, kecuali waktu itu.

Ucapan Hilmi berhasil menyulut emosi pak Heru yang memang dasarnya sudah menumpuk emosi sejak berada di luar. Ternyata memang Hilmi yang kurang tangkas, saat Pak Heru melayangkan penggaris besinya, Hilmi tidak sempat menghindar, alhasil penggaris itu benar-benar mendarat ke bahunya. Hilmi sampai memejamkan mata, rasanya perih, Hilmi kembali diam saja. Ketika saat seperti ini datang, Hilmi terus merasa ketakutan, dan bahkan tidak bisa melawan, bibirnya yang biasa mengucapkan kalimat tajam pada laki-laki di depannya kali ini ia bungkam dan terus memejamkan mata, tidak peduli jika penggaris itu kembali mengenai tubuhnya di bagian mana saja. Namun sepertinya, Hilmi lagi-lagi dilindungi. Samar-samar, ia bisa mendengar suara ibunya dari luar pagar rumah.

Hilmi lagi-lagi selamat.

"Masuk kamar sana!" Dan saat membuka mata, Hilmi terdorong beberapa langkah dan kembali masuk ke kamarnya.

Di dalam pun Hilmi termenung. Sepertinya memang ada yang salah dengan Hilmi. Kenapa tadinya ia merasa memiliki keberanian tinggi sampai-sampai bisa memancing emosi Pak Heru dengan kalimatnya, tapi saat penggaris itu mendarat ke bahunya, Hilmi jadi merasa sangat ketakutan. Ada yang tidak beres, namun Hilmi takut pergi ke mana-mana. Bagaimana jika Hilmi melaporkan ini pada Omnya atau orang lain, ibu atau anggota keluarganya yang lain turut menjadi korban?

Hilmi merebahkan badannya tanpa sempat mengganti seragam dengan pakaian biasa. Dari dalam kamarnya, Hilmi bisa mendengar ibunya tengah mengobrol asik bersama Pak Heru. Terlihat sekali dari percakapan itu kalau mereka senang dengan interaksi mereka. Tapi kenapa Pak Heru selalu bersikap kasar pada Hilmi? Apa jangan-jangan benar kata orang-orang?

Kalau pak Heru hanya ingin menikahi ibunya tanpa menyertai anak-anaknya.

Kalau pak Heru hanya ingin menikahi ibunya tanpa menyertai anak-anaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

06/07/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang