Bab 4 :: Deep Talk Bersama Abang

101 7 0
                                    

Benar saja, ibunya tak lagi membahas perihal kekasihnya, setelah pertanyaan sensitif yang Hilmi ajukan kemarin. Wanita itu terlihat biasa saja dan bertindak seakan tidak ada apa-apa sebelumnya. Jadi Hilmi tidak lagi berani mengajukan pertanyaan aneh-aneh, biarlah ia menunggu sang kakak pulang, siapa tahu memang benar Ibunya mau membicarakan hal itu ketika kakaknya datang, meski Hilmi sendiri bingung alasan dibalik ibunya berlaku demikian.

Seperti yang Hilmi katakan sebelumnya, Iyan pulang dua Minggu lebih awal dari jadwal biasanya. Meskipun kali ini cowok itu pulangnya tetap hari Jum'at sore dan mungkin akan kembali Senin subuhnya, seperti biasa. Kakaknya tiba sekitar pukul lima sore menaiki motor matic kesayangannya dan menempuh sekitar lebih dari tiga jam lamanya. Namun bukannya lelah, ketika kakaknya itu datang, ia malah lebih dulu masuk ke kamar Hilmi untuk mengganggunya.

"Kangen gue banget, ya?" Begitu sampai dan masuk kamar saja cowok itu susah mengusak rambut Hilmi.

"Idih pede banget orang baru dua Minggu yang lalu ketemu, dih."

"Bilang aja kalau kangen mah." Iyan merebahkan badannya di kasur samping Hilmi. Namun kini Hilmi memunggunginya.

"Nggak! Udah sana mandi, lo bau matahari." Ucapan Hilmi sukses membuat sang kakak mendaratkan jemarinya di kepala Hilmi, cowok itu jelas menjitak kepala Hilmi pelan.

"Dasar, ya! Gue baru pulang bukannya disambut dengan hangat malah ngatain. Jahat lo dek."

Hilmi tidak peduli. Seperti biasa, kakaknya itu pasti penuh dengan drama. Hilmi saja heran mengapa energinya tidak habis-habis padahal baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh. Niat Hilmi sebenernya baik, tidak hanya karena ia tidak ingin diganggu, Hilmi ingin kakaknya segera mandi lalu mengistirahatkan diri. Pasti lelah mengendarai motor selama tiga jam lamanya.

Di balik punggungnya, Hilmi masih sering mencuri-curi pandang. Pasalnya setelah mengucapkan hal itu, tidak ada lagi di antara mereka yang bersuara. Hilmi pikir kakaknya itu terlelap, namun ketika ia membalikkan badan, yang Hilmi lihat adalah kakaknya tengah telentang dengan posisi lengan menutupi mata, kebiasaan cowok itu ketika tidur.

"Gue nggak tidur." Iyan mengatakannya tetap dalam posisi yang sama. Baginya, posisi ini adalah yang paling enak saat sedang beristirahat sejenak.

"Mandi sono." Hilmi langsung membalikkan badannya lagi, memunggungi Iyan. Sebenarnya ia lebih suka kakaknya segera mandi lalu istirahat yang benar daripada berada di posisi seperti itu terus menerus. Tapi mungkin bagi kakaknya itu lebih baik.

"Gue yakin lo punya pertanyaan yang sama kayak gue." Tiba-tiba pembicaraan di antara mereka menjadi lebih serius.

Bahkan Hilmi yang awalnya memunggungi Iyan, kini ikut telentang. Dengan posisi lengan menjadi bantalnya. Bagi Hilmi, ini adalah posisi ternyaman jika ia sedang banyak pikiran.

"Apa?" tanya Hilmi.

"Masalah Ibu punya pacar atau nggak. Sebenarnya gue udah denger hal ini dari Om Joan beberapa bulan yang lalu, tapi waktu itu gue mikirnya si Om cuma bercanda. Doi kan biasa suka ngejek Ibu yang cuma pacaran sekali setelah Ayah nggak ada itu." Meski tahu Iyan tidak bisa melihatnya, Hilmi mengangguk. Ia lebih memilih mendengarkan semua pendapat kakaknya terlebih dahulu.

"Menurut lo, tingkah Ibu ada yang aneh nggak, belakangan ini?"

Hilmi mengangguk lagi, namun kali ini ia bersuara. "Iya. Beberapa bulan ke belakang Ibu jadi lebih suka pegang HP. Nonton TV pun sambil main HP. Kadang suka senyum sendiri pas pegang hpnya, terus kalau ada yang telepon, Ibu buru-buru keluar rumah. Takut gue denger kali ya, Bang. Kelakuan aneh Ibu yang kayak gitu, bikin gue curiga kalau Ibu ada something, tapi waktu itu gue mikirnya cuma ah, paling temennya. Gitu doang, sih."

Iyan membuka matanya dan menyingkirkan lengannya dari wajah, kemudian ia bergerak menyamping, gelagatnya seperti orang yang sedang serius membahas sesuatu. Hilmi tahu Iyan sedang menatapnya dari samping, makanya ia tidak mau menoleh. Tingkah Iyan yang clingy dan juga sangat menyukai skinship kadang membuat Hilmi sampai berpikir kalau abangnya ini belok. Untung saja tidak, sekarang ini Iyan sudah memiliki gadis pujaan hatinya, adek tingkatnya beda jurusan kalau boleh Hilmi memberikan TMI Iyan.

"Kalau dari cerita lo, sih, kayaknya emang bener Ibu lagi pacaran. Tapi pas gue tanya, Ibu malah minta gue buat pulang, baru Ibu jelasin semuanya."

"Lah, sama. Gue juga udah nanya Ibu kemaren, Bang. Apa Ibu punya pacar? Terus Ibu ngomong kalau masalah itu jawabannya tunggu Abang pulang. Mana habis itu Ibu menghindar lagi. Ya, walaupun besoknya kek nggak ada apa-apa."

Iyan mengangguk-anggukan kepala. Pasti ada sesuatu yang bakal mengejutkan mereka makanya sang Ibu tiba-tiba menyuruhnya pulang lebih dulu, padahal jadwal ia pulang masih dua Minggu lagi. Untung saja Minggu ini tugasnya tidak banyak dan ia cukup senggang makanya setuju saja waktu Hana sang Ibu menyuruhnya untuk pulang.

"Kalau Ibu tiba-tiba kek gini tuh, cuma satu yang ada di pikiran gue."

Hilmi menoleh sejenak pada Iyan. "Apa?"

"Bener Ibu lagi pacaran, tapi kali ini nggak cuma pacaran. Bisa aja Ibu ijin ke kita mau nikah lagi. Kalau bener Hitu, lo siap nggak?"

Hilmi terdiam cukup lama mendengar ucapan kakaknya. Hal yang beberapa hari belakangan selalu Hilmi pikirkan. Bagaimana kalau Ibunya kali ini membicarakan pacarnya sekaligus meminta ijin pada mereka untuk menikah lagi? Hilmi sebenarnya masih belum bisa memikirkannya jauh ke depan. Tapi pertanyaan itu memang cukup sulit untuk ia jawab.

"Jujur gue nggak masalah, Bang, kalau Ibu mau nikah lagi. Kasihan juga Ibu selama ini mungkin kesepian, mana yang selalu Ibu lakuin selain cari uang ya buat kebahagiaan kita. Rasanya gue egois banget kalau sampe ngelarang Ibu buat nikah lagi. Gue ngerti, dengan menikah lagi posisi Ayah bakal terganti. Tapi juga juga yakin, di atas sana Ayah juga pasti bakal setuju Ibu buat nikah lagi, biar ada yang nemenin masa tuanya. Kita berdua nggak mungkin bisa nemenin Ibu tiap saat, Bang."

Benar kata Hilmi, apa yang adiknya ucapkan tidak ada yang salah. Iyan justru baru menyadari kalau adiknya sudah dewasa dan bisa melihat sesuatu dengan sudut pandang yang bijak. Perkataan Hilmi, benar. Selama ini Ibunya selalu menjadikan mereka anaknya sebagai prioritas bahkan mungkin sampai mengesampingkan dirinya sendiri sebagai seorang wanita. Sangat egois jika mereka melarang ibunya bahagia dengan pilihannya, orang yang akan menjalani hidup dan menua bersama ibunya.

Sambil memikirkannya, Iyan tak sadar ia belum merespon ucapan Hilmi. Ternyata, adiknya belum selesai berbicara. Ketika ia hendak membuka mulutnya ingin berbicara, Hilmi tiba-tiba mengatakan hal-hal seperti ini.

"Gue bakal restuin Ibu sama siapapun asalkan, orang itu nggak emosian, nggak ringan tangan. Kalau tahu siapa orang yang bakal Ibu nikahin dan gue tahu orangnya begitu, sampai kapanpun gue nggak akan pernah memberi restu. Orang kayak gitu nggak pernah bisa pantes hidup sama Ibu, Bang."

Lagi dan lagi ucapan Hilmi ada benarnya juga.

Lagi dan lagi ucapan Hilmi ada benarnya juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


15/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang