18. Tragedi si Kembar

5.5K 554 313
                                    

NEXT CHAPTER: MIN. 200 VOTES + 300 KOMENTAR EMOT 🖤
***

Letta tidak tahu harus menjawab apa. Hanya terdiam di tempat, sampai Cavan datang dengan napas yang terengah. Kedua mata Cavan gemetar. Letta semakin bingung saat Cavan berjalan lunglai masuk ke dalam kamarnya dengan kepala yang tertunduk.

"Papa ..., Mama ..."

Letta dapat mendengar nada lemah dari suara Cavan. Kenapa dengan Adam dan Rieta? Bukankah seharusnya Cavan menelepon Nick untuk datang ke sini, tetapi kenapa Cavan justru memanggil Rieta dan Adam?

"Papa sama Mama ..., kecelakaan."

Saat Cavan mengangkat kepalanya, di situlah Letta bisa melihat ekspresi hancur Cavan. Air mata berlinang dengan desakan yang begitu deras.

Letta hanya bisa menahan napasnya saat mendengar kabar itu. Teringat kembali saat Rieta tersenyum ke arahnya dan Adam yang mengusap pucuk kepalanya. Rasa sakit langsung menyebar dalam dada Letta.

Tidak. Tidak mungkin.

Kecelakaan itu tidak seharusnya terjadi sekarang, tetapi kenapa? Kenapa kecelakaan itu bisa terjadi lebih awal dan menewaskan Adam, dan bukannya Rieta?

Lamunan Letta buyar saat Cashel datang menerjang, mencengkram kerah seragam Cavan. Tidak jauh berbeda dengan Cavan, Cashel juga sama hancurnya.

"Bohong! Apa yang kamu katakan tadi bohong kan, Van? Papa sama Mama---"

Suara Cashel terhenti saat Cavan menggelengkan kepalanya. Menggigit bibirnya untuk berujar dengan suara yang gamang dan gemetar, "... Maaf, Shel."

Saat itu tubuh Cashel luruh, jatuh bersimpuh. Kemudian dengan emosi yang menyelimuti dirinya, Cashel meninju lantai di bawah kakinya.

Air mata jatuh membasahi lantai, berikut darah dari buku-buku jari tangan Cashel yang mengepal. "... Papa ... Mama ... kenapa?"

Letta memang tahu kalau Crushav bersaudara akan hancur, cepat atau lambat. Tetapi, melihat gambarannya secara langsung membuat Letta tak kuasa menahan dirinya. Ini salahnya.

"Papa bakal dipulangkan besok pagi, tapi ..., Mama masih dirawat di rumah sakit dekat lokasi kejadian."

Cashel mendongak, "Jadi Papa ...?"

Cavan mengangguk. "Besok setelah Papa datang ke rumah, kita semua harus menyambut Papa dengan baik, ya," ujar Cavan sembari tersenyum tulus, tetapi Letta tahu Cavan tengah menekan perasaan sedihnya.

"Perpisahan terakhir kita sama Papa besok, Kakak mohon kalian berdua bisa memberikan momen yang terbaik untuk Papa ya, Letta, Cashel."

Saat mendengar itu, Letta hanya bisa menundukkan kepala dan mengepalkan tangannya. Diam-diam menitikkan air matanya.

Alur game untuk tragedi yang terjadi di game ini memang berubah, tetapi bekas yang ditinggalkan oleh tragedi itu tetap sama.

Rasa sakitnya. Kesedihannya. Dan, nuansa gelapnya. Semuanya masih sama.

Haruskah Letta mengubah alur game ini sebelum semuanya terlambat?

***

Semua berlalu begitu cepat. Letta tidak menyangka bahwa malam kemarin yang ia lewati menjadi malam terkelam yang pernah ada.

Letta tidak tahu sudah berapa lama ia tidak terlelap sampai akhirnya berdiri diam di sini. Di depan tanah makam Adam yang masih basah.

Pengebumian Adam sudah dilakukan beberapa waktu lalu. Tetapi, isak tangis sanak-saudara masih tetap terdengar di pemakaman.

Mereka bukanlah kerabat dekat, hanya saudara jauh, tetapi kesedihan mereka seakan-akan lebih dalam daripada Letta dan si kembar Crushav yang kini hanya terdiam dan termenung, memandangi foto sang ayah yang dipajang di atas tanah makam.

PLAYTHING: THE FILTHY SISTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang