"Permisi!"
Ayla menggebrak meja sedikit kasar tanpa membalas ucapan penuh hinaan dari Delisha atau beramah tamah dengan wanita yang telah melahirkan suaminya.
Berjalan menunduk sambil menahan air matanya, wanita itu berbelok menuju ke toilet. Sesaat pintu itu terkunci pecah juga emosinya. Demi menyamarkan tangisannya yang sedikit bersuara Ayla sengaja membunyikan flush dan terduduk sambil menunduk tidak tahu langkah apa yang harus dia lakukan.
Dirinya sadar! Sungguh sadar jika apa yang Delisha ucapkan begitu masuk akal, jika ingin pergi dia memang tak bisa membawa anak-anaknya karena secara finansial dia tidak akan sanggup untuk membiayai dua anak.
"Tapi jika aku pergi bagaimana kalau anak-anak mencari Emme?" tangis Ayla mempertanyakan hidupnya yang seolah tak pernah bahagia.
Wanita itu membayangkan wajah dua anak manisnya yang selalu saja manja padanya, Eden mungkin sedikit mengerti jika Emme pergi, tapi Heaven tidak. Jika sedang mode manja, bocah cantik banyak tingkah itu bisa menempel seharian di dada sang ibu.
Menggeleng, hati Ayla begitu sakit bahkan jika dilihat dengan mata telanjang mungkin sudah membusuk dan bernanah karena memendam semua masalah dan perasaan sial ini bertahun-tahun dan merasakan sendirian.
Menelan ludah kasar sambil menarik napas panjang yang tidak ada perasaan lega sama sekali, kepala Ayla menengadah ke atas toilet sempit yang dia masuki.
Andai tak punya anak, semuanya akan terasa mudah baginya karena sejak awal dia memang ingin kabur sejauh mungkin dari kehidupan Auden, dan biarkan laki-laki itu kembali pada istrinya dan kesempurnaan yang diagungkan semua orang kembali terjalin.
Walau di satu sisi, di sudut hati yang paling dalam dan dengan tubuh yang merinding tak percaya Ayla akan mengatakan dia mencintai laki-laki itu. Ya! Dirinya sadar telah melanggar batas yang seharusnya tidak dilakukan, tapi kebersamaan selama bertahun-tahun itu telah menumbuhkan sesuatu penyakit yang tidak seharusnya dia pupuk karena Ayla tahu tidak ada tempat di hati Auden untuknya.
"Salahkah mencintai suami orang?" tanya Ayla meratapi semua ini. Kilauan sebuah cincin putih sederhana di jari manisnya kembali menyadarkan dirinya jika suami orang yang disebut adalah suaminya juga.
"Kenapa semuanya jadi rumit seperti ini?" Pertanyaan itu seolah kembali mengejek dirinya karena sejak awal masalah semuanya memang rumit. Jika ditarik benang merah seharusnya tidak ada malam kelam pemerkosaan itu yang membuat Ayla hamil hingga terikat penuh bersama Auden, seharusnya dia memang pergi jauh bukan dengan sukarela punya anak lagi dan sekarang dia kian terperosok kian dalam.
Dalam titik kewarasan yang paling rendah Ayla merasa dialah penyebab masalah dan penghancur rumah tangga orang lain.
Masih dengan pandangan kabur ibu dua anak itu mengambil ponselnya dan bercucuran air mata serta rasa penyesalan yang teramat dalam wanita itu mengirimkan pesan pada Auden.
Emme Even: Aku meminta maaf. Benar-benar meminta maaf karena jadi manusia tidak tahu diri. Maafkan aku Edde karena dipungut hanya untuk merusak kebahagiaan rumah tangga Edde💔💔💔.
Mengusap air matanya Ayla masih menunduk dan kembali mengusap layar ponsel karena air mata ikut membasahi pesan itu. Dia mengatakan semuanya dengan sungguh-sungguh dan perasaan menyesal dari hati paling dalam.
Kembali flashback pada masa silam ketika dipungut hanya untuk jadi seorang pembantu dan membantu meringankan pekerjaan rumah tangga Auden dan Sandra bukan penyebab kehancuran itu.
"Tidak! Aku tidak salah! Aku juga korban di sini!" Ayla mencoba menyangkal sebagai bentuk mempertahankan harga diri yang kian terperosok dalam.
Sekarang dia hanya memiliki dua pilihan. Bertahan atau pergi? Ayla tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRIKU INGIN CERAI!
Romance"Aku hanya ingin cucu darimu dan takkan pernah sudi punya menantu hina sepertimu!" Hanya air mata yang menjawab semua hinaan yang diterimanya. Ayla tahu dia tidak pernah dinginkan siapa pun. Dirinya sadar hanya tempat pembuangan sperma suaminya. "...