Akhirnya hari itu dihabiskan Dean untuk menemani Gea berdiam di perpustakaan kota. Iya, kalian tidak salah baca. Mereka nongkrong di perpustakaan kota. Sebenarnya cuma Dean yang diem, Gea sedang fokus membaca didepannya. Ini sudah hampir 4 jam mereka disana dan belum ada tanda-tanda kebosanan, pada Gea.
Dean cuma sibuk senyam-senyum dari tadi, mengamati Gea yang anteng-anteng saja dipelototi makhluk di depannya. Begitulah Gea, jika sedang benar-benar serius dia tidak akan perduli sekitarnya.
Drtdrtdrt
Terdengar bunyi getar handphone milik Gea. Tanpa berhenti membaca, Gea mengeluarkan handphonenya. Dean sedang memutar matanya malas, merasa kasihan pada sang penelepon yang pasti akan ditolak oleh pemiliknya. Tapi tanpa diduganya setelah Gea melirik IDcaller yang muncul, dia sempat melihat senyum kecil di sana lalu diikuti kata halo pelan mengingat tempat mereka sekarang. Dean hanya berdecak kesal, iri dengan siapapun penelepon yang bisa menarik perhatian Gea-nya.
"Halo."
"....."
"Sekarang kamu dimana?"
"......"
"Aku ke sana sekarang."
Gea segera menutup bukunya, mengembalikan ke rak semula dan berjalan keluar perpustakaan. Dean yang seolah kasat mata pun hanya mengernyitkan alisnya, bertanya-tanya siapa yang baru saja menelepon. Segera saja dikejarnya Gea keluar, menyejajarkan jalan dan terlihat ekspresi serius milik Gea.
"Mau kemana?" Dean bertanya pendek.
"Rumah temen." Gea memperlebar langkahnya.
"Dimana?" Terdengar sedikit nada kesal dari Dean.
"Nggak usah lo anter, gue berangkat sendiri." Gea melangkah ke arah gerbang, bukan tempat parkir tempat mobil Dean berada.
"Gue nggak bilang kalo nggak mau nganter. Ikut mobil gue." Dean kembali menggunakan nada datar dalam perkataannya.
Saat tak mendapati respon dari Gea akhirnya Dean memilih menarik Gea bersamanya ke parkiran. Sepanjang perjalanan hanya diisi suara Gea yang memberi tahu arah tempat yang mereka tuju.
Dean masih diam saat mereka sampai di sebuah basement gedung apartemen. Gea segera keluar dari mobil dan mengabaikan Dean begitu saja, menuju lift dan menekan tombol 9. Lagi Dean menghembuskan nafas panjang, entah keberapa kali sejak perjalanan tadi, dia segera turun sebelum Gea menaiki lift.
Lift sampai di lantai 9 dan Gea berjalan tergesa-gesa. Berhenti di depan salah satu pintu dan memasukkan kode keamanan. Dean yang sedari tadi mengekorinya hanya mengernyit heran, dia tidak pernah tau Gea punya 2 apartemen. Tapi kebingungannya segera terjawab saat melihat seseorang yang ada di pelukan Gea sesaat setelah mereka sampai di ruang santai apartemen itu.
"Ssshh...udah Stev, berenti nangis ya." Gea mengusap punggung Stevy pelan.
"Ta-tapi..."
"Aku nggak marah sama kamu." Tangan kanan Gea mengacak rambut temannya itu.
"Bener ya?" Stev mendongak menatap Gea, meyakinkan ucapan yang barusan didengarnya.
"Iya." Senyum manis Stevy mengembang begitu mendapat jawaban dengan disertai anggukan dari Gea.
"Cuci muka sana, wajahmu jelek." Gea mengusap bekas air mata di pipi Stevy.
Stevy segera melompat dari sofa, berjalan riang menuju kamar mandi. Dean hanya bisa menatap tajam pintu kamar mandi yang tertutup. Dia merasa ada yang berbeda dengan sikap Gea kepada Stevy. Sial. Dia tidak mau kalau yang diperkirakannya adalah benar. Gea hanya miliknya. Sudah cukup satu makhluk tidak jelas bernama Niel yang ditemuinya di kampus pagi tadi, tidak lagi dengan ditambah seseorang yang dipanggil Stev. Parahnya Dean yakin Stev lebih sulit dikalahkan daripada Niel, karena dia harus berhadapan langsung dengan Gea-nya.
"Ge, kenapa lo begitu rumit?" Dean bergumam miris dalam hati sambil memandang punggung Gea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Matahari Senja
RomanceGea, seorang mahasiswi tingkat 3 yang cueknya nggak ketulungan. Anak-anak cowok satu jurusan yang kenal dia lebih sering nyebut dia cewek jutek yang galak. Tapi jangan salah, dia itu termasuk cewek cantik di jurusannya. Yah, cuma sayang dia agak tom...