Mr. Anger

700 25 0
                                    

Senin ini adalah awal dari minggu akhir perkuliahan semester 3. Banyak tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa, tak terkecuali Gea. Sejak seminggu kemarin dia sibuk mengurung diri di perpustakaan tiap jeda jam kuliah, mencari referensi untuk makalah-makalah sialan yang membuatnya tidak bisa tidur dengan santai.

Stev yang biasanya menempel pada Gea pun sekarang jarang bersamanya. Dia lebih pusing memikirkan tugasnya, beberapa dosennya berbeda dengan Stev dan kebanyakan killer. Kali ini dia lebih sayang nilainya daripada Stev.

Melihat jam di pergelangan tangan, Gea segera membereskan bukunya. Perutnya lapar, sarapan roti tadi pagi sudah habis untuk membaca buku tebal yang kini dikembalikannya ke dalam rak. Dia melangkah santai menuju kantin, perkuliahannya sudah selesai. Saat ini dia sedang malas untuk mencari tempat makan di luar, untung-untung jika masih ada Stev di kantin.

Saat sampai di kantin matanya menjelajah seisi kantin. Tidak mendapatkan sosok yang dicarinya, Gea pun menggedikkan bahu dan memilih duduk di kursi dekat pintu.

"Pesen apa mbak?" Tanya pelayan kantin begitu sampai di samping mejanya.

"Nasi goreng telur sama lemon tea." Jawab Gea singkat.

"Tunggu sebentar ya mbak." Perkataan pelayan hanya mendapatkan jawaban berupa anggukan dari Gea.

Menunggu sekitar 10 menit, pesanannya pun datang. Ucapan selamat makan dari pelayan hanya dibalas senyum terimakasih dari Gea. Dia hanya makan dalam diam, mengamati seisi kantin.

Selesai makan, Gea memutuskan untuk pulang. Pulang ke rumah, bukan ke apatemen. Dia mau mengambil beberapa buku dan printernya untuk dibawa ke apartemen. Menurut informasi kedua orang tuanya akan ada di rumah seminggu ke depan, jadi menetap di rumah bukan pilihan yang baik. Gea tidak mau merasakan neraka lebih awal.

****

Gea memilih mandi saat sampai di rumahnya. Setelah selesai dia bergegas memasukkan beberapa buku dari rak di samping meja komputernya ke dalam tas punggung. Selesai dengan buku, dia beralih pada printer. Merasa butuh kardus, Gea memilih turun dan mencari di gudang. Masa bodoh dengan tanktop, hot pants super pendek, dan rambut basahnya yang masih dililit handuk. Toh dia di dalam rumahnya sendiri.

Mendapatkan kardus printernya di dalam gudang, Gea merasa kardus itu harus dibersihkan sebelum masuk ke kamarnya. Merasa melihat salah satu pekerja wanitanya berbelok ke ruang tamu, Gea menenteng kardus itu ke sana.

Tiba di ruang tamu, Gea hanya diam dan menatap bergantian kardus dan tamu yang duduk di kursi tepat di depannya.

"Oh, ada tamu? Kalo udah tolong ntar kardus ini dibersihin ya mbak, gue taruh deket pintu dapur." Setelah berpesan pada 'si mbak' dengan santai dan tidak melihat ekspresi tamunya, Gea melenggang begitu saja ke kamarnya.

"Kalo udah tolong bawa ke kamar ya mbak. Makasih" Gea tidak melihat senyum mengembang di wajah tamunya.

Pelayan yang masih memegang gelas pun hanya diam melihat punggung nonanya. Tidak habis pikir kalau nonanya seperti tidak menganggap tamu di depannya ada, demi apapun orang di depannya ini sangat tampan. Lamunan pelayan itu terhenti karena suara dari tamunya.

"Apa dia selalu begitu?"

"Eh?" Pelayan itu belum menangkap maksud pertanyaan sang tamu.

"Apa nonamu selalu seenaknya begitu?" Kini tamu itu menatap langsung pada pelayan.

"Seenaknya?"

"Pakaiannya itu."

"Oh....nona jarang keluar kamar, jadi kalaupun pakaiannya begitu biasanya tidak masalah." Pelayan itu tersenyum kikuk.

"Apa dia pikir orang lain tidak bisa melihatnya?" Gumam sang tamu.

"Ah, biasanya nona akan memakai kemeja putih yang besar untuk keluar jika pakaiannya seperti tadi." Pelayan itu beranjak dari ruang tamu, takut ditanya macam-macam.

"Dia bodoh atau apa? Mengenakan kemeja putih sebagai lapisan? Akan ku bakar lemari pakaiannya kapan-kapan." Tamu itu menggerutu tak jelas.

****

Setengah jam kemudian Gea turun dari kamarnya dengan tas punggung dan printer dalam kardus di tangannya. Tepat seprerti yang pelayannya bilang, dia memakai kemeja putih besar yang hampir menutupi hot pantsnya. Rambutnya digelung asal-asalan sehingga beberapa anak rambut menjuntai di sisi wajah dan tengkuknya. Dia berjalan sambil berbicara dengan seseorang dari headsetnya, tidak menyadari tatapan dari tamunya yang masih duduk di tempat yang sama.

"Sekarang sedang dimana?" Matanya sibuk menelusuri anak tangga yang akan dipijaki.

"....."

"Oh, ok. Bentar ini baru mau berangkat dari rumah." Selesai menapaki tangga, Gea berniat melewati ruang tamu.

"....."

"Tidak. Aku akan langsung ke sana, terlalu merepotkan untuk ke apartemen dulu." Gea tak menghiraukan tatapan tamunya yang makin tajam.

"....."

"Hm? Tunggu di Starbucks, paling lama 20 menit sampai." Gea berusaha membuka pintu dengan tangannya setelah mendengar sambungan telfonnya sudah diputus.

Tiba-tiba ada tangan yang membantunya membuka pintu, Gea menatap datar tamunya.

"Udah gue bantuin buka pintu, cepet sana." Sang tamu mendapat tatapan datar dari Gea.

"Thanks." Gea melenggang cuek.

Baru tiga langkah dari pintu, terdengar suara dari dalam rumah.

"Ge, kalo besok-besok gue liat lo pake baju begitu keluar rumah, gue buang semua isi lemari lo."

"Berani lo sentuh lemari gue, gue pecat lo jadi tunangan. It's so simple De." Gea melirik sekilas melalui bahunya dan kembali berjalan menuju mobilnya di teras.

"Sial! Apa nggak ada kaca di kamarnya? Astaga Ge! Apa aku harus mengikatmu agar tidak berjalan-jalan dengan pakaian begitu? Lalu siapa yang mau kau temui? Si brengsek Niel? Atau si Nenek Sihir Stev? Aku bisa gila jika begini." Tamu yang ternyata Dean itu mengacak-acak rambutnya frustasi. Pada siapa dia harus marah kalau Gea tidak pernah perduli pada penampilan dan gendernya sendiri? Entahlah.

Separuh Matahari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang