Pura-Pura

604 14 0
                                    

Setelah berkeliling sekitar satu jam, akhirnya Gea, Stevy, dan Dean kembali ke vila. Bukan karena Stevy sudah puas. Tentu saja bukan. Dean yang memaksa pulang setelah beberapa kali mendapati Gea memijat keningnya.

Saat mereka sampai di vila, Niel tidak terlihat di ruang santai. Dia sedang sibuk menyusun rencana perangnya. Dia ogah kalah dengan nenek sihir menyebalkan yang selalu memonopoli gebetannya.

"Aku ke kamar dulu Stev. Kamu kalau perlu apa-apa bilang aja ke Dean." Gea menekankan kata Dean pada kalimatnya.

"Eum. Iya Ge." Stevy ingin menolak, tapi diurungkan melihat wajah Gea yang agak pucat.

"Lo nggak usah pikirin orang lain. Balik ke kamar sana." Dean melirik Stevy datar.

*
*
*
*

Di kamar, Niel sibuk memutar otak. Sikap apa yang harus diambil untuk menyaingi sikap galak Gea.

"Ok. Gue samperin aja ke kamarnya." Niel bergegas menuju kamar Gea.

Meskipun sudah membulatkan tekad, Niel masih ragu untuk masuk ke kamar Gea. Ditatapnya pintu kayu yang tertutup. Tidak ada suara dari dalam saat dia menempelkan telinga ke pintu. Mungkinkah mereka belum pulang berkeliling? Tadi dia mendengar suara pintu kamar Dean dibuka dan ditutup saat masih di dalam kamar.

Merasa percuma berdiri saja, Niel memberanikan diri mengetuk pintu di hadapannya. Namun, tidak didapati jawaban. Mencoba memutar kenop pintu dan tidak dikunci, dia memilih untuk masuk.

"Permisi nih. Gue masuk ya?" Niel berbisik sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar.

Niel memutuskan untuk membuka pintu lebar-lebar. Dia takut dituduh yang macam-macam. Padahal dia hanya ingin yang satu macam, semacam Gea.

Begitu masuk, dia mendapati Gea yang sedang berbaring dengan mata yang ditutupi lengan. Niel berjalan mendekati tempat tidur, memastikan apakah sang pemilik kamar sedang beristirahat.

"Ge, lo baru tidur?" Niel memanggil pelan.

"....."

"Ge, lo nggak papa kan?" Niel memutuskan menggoncang lengan Gea, memastikan Gea baik-baik saja.

"Sialan!" Niel segera mengumpat saat mendapati badan Gea kembali panas.

Niel mengomel keras-keras saat mendapati obat yang masih terbungkus rapi di dalam plastik berada di atas meja nakas.

"Lo bisa nggak sih kalo pikirin diri lo sendiri dulu? Nggak usah mikirin si nenek sihir melulu?" Niel segera melepas sepatu yang dipakai tidur oleh Gea.

Mendengar suara Niel yang berisik akhirnya Gea bicara juga meski masih sambil memejamkan mata.

"Lo berisik. Keluar sana. Ini kamar gue." Gea mengusir Niel tanpa basa-basi.

"Gue nggak bakal keluar sebelum lo minum obat." Niel mengambil gelas di samping obat dan mengeluarkan satu obat dari bungkusnya, kemudian duduk di tepi ranjang.

Merasa ada yang duduk di ranjangnya, Gea membuka matanya. Dia melirik sadis Niel yang sudah duduk manis dengan segelas air dan obat di tangannya.

"Nanti gue minum sendiri obatnya. Sana lo keluar. Gue mau tidur." Gea malas berdebat. Kepalanya berdenyut sakit setiap dia berbicara.

"Minum obatnya sekarang." Niel menjawab datar.

"Udah gue bil- Hish." Gea hendak bangun, tapi pandangannya berputar begitu dia mengangkat kepalanya.

Niel dengan tanggap segera meletakkan gelasnya. Dia menahan badan Gea dan menata bantal di kepala ranjang. Niel tidak mau tahu. Dia ingin Gea meminum obat di depan matanya. Dia tidak mau Gea menghabiskan liburannya dengan sakit hanya gara-gara nenek sihir satu itu.

Separuh Matahari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang