Gea melirik ke kanan dan ke kiri. Dia merasa tidak akan ada yang bicara jika dia tidak mulai membuka mulutnya. Dua orang di depannya hanya duduk dengan tenang tanpa berniat saling menyapa. Sebenarnya jika ditanya, Gea juga malas bertemu mereka.
********
Gea memandang langit-langit kamarnya. Saat ini pukul dua pagi. Dia tidak-belum bisa tidur. Setiap memejamkan mata, selalu terlintas kejadian di depan pintu apartemennya bersama Niel dan Dean. Jika dibiarkan, maka kehidupannya tidak akan pernah tenang. Gea tidak akan pernah membiarkan orang lain membuat hidupnya yang tenang menjadi ricuh dan kacau. Masalah tidak jelas ini harus segera dihilangkan, biar semuanya kembali jelas dan hidup Gea kembali damai. Gea rindu hidupnya yang tenang.
*******
"Lo berdua dengerin gue baik-baik. Nggak ada protes sebelum gue selesai ngomong dan apapun omongan gue nggak bisa diganggu gugat." Gea melotot galak saat salah satu orang di depannya berniat membuka mulut hendak protes.
"Oke. Pertama buat Dean. Gue tau lo tunangan gue, tapi lo juga tau gimana perasaan gue ke lo. Niel, lo nggak punya hak buat ketawa." Perkataan terakhir Gea hanya membuat Niel mendecak kesal dan tidak membuat perubahan ekspresi pada Dean.
"Kedua, buat lo Niel. Lo bukan tipe gue, jadi berhenti lakuin hal-hal nggak guna yang nantinya cuma buat gue makin pusing. Gue tau, kalo gue juga bukan tipe lo. Masih banyak cewek-cewek cantik dan sexy di luaran sana yang dengan senang hati masuk ke pelukan lo, tanpa lo harus lakuin usaha yang berarti." Gea menghembuskan nafas lelah saat melirik raut pura-pura tidak mendengar dari Niel.
Niel melirik ke arah Gea sesaat setelah dia merasa Gea sudah selesai dengan perkataannya.
"Udah? Gue udah boleh ngomong?" Niel mendapat jawaban berupa anggukan kepala oleh Gea.
"Oke. Pertama, lo boleh buat keputusan Ge, tapi buat urusan gue setuju atau nggak sama keputusan yang lo buat itu jadi urusan gue. Kedua, lo emang bukan tipe gue dan sama sekali bukan. Tapi cinta itu buta, jadi dia suka jatuh tanpa lihat siapa yang ada di depannya. Ketiga, asal lo tau Ge, gue nggak suka dapet sesuatu yang murah dan tanpa usaha, rasanya kurang greget." Niel mengakhiri ucapannya dan sedikit melirik Dean yang masih adem di sampingnya.
" Yah, gue ketemu kalian berdua di sini juga nggak terlalu berharap buat kalian nurut sama omongan gue." Gea mendengus, menertawakan dirinya sendiri.
"Jadi tujuan lo apa?" Dean akhirnya menyuarakan isi pikirannya sedari tadi.
"Gue cuma berharap kalian nggak punya masalah cuma gara-gara gue. Gue yakin kalian berdua tau, Gue lebih milih Stev daripada kalian." Gea mendecak kesal karena harus membawa Stevy ke dalam masalahnya.
"Tsk. Ge, apa sih yang salah di otak lo? Gue tau lo beda kalo sama dia, tapi kalo lo udah ngomong langsung gini gue jadi kesel." Niel memasang wajah kesal yang begitu kentara.
"Ge, gue tunangan lo. Dan gue nggak akan biarin status itu berubah. Gue nggak akan larang lo sama Stev selama itu masih wajar. Tapi sekali gue tau ada yang nggak biasa, jangan harap lo bisa ketemu lagi sama temen lo itu." Dean berkata dengan tenang seolah yang dikatakannya barusan bukan ancaman.
"Wow, lo bisa marah juga De?" Niel mengangkat sebelah alisnya takjub, baru kali ini melihat kemarahan Dean yang sebenarnya.
"Diem lo Niel. De, lo juga tau kalau gue nggak akan diem aja kayak cewek penurut kalo sampe lo nyentuh Stev." Gea menatap Dean penuh emosi.
"Gini deh ya. Gue tau kalau Dean lebih suka saingan sama gue daripada Stevy. Ssstttt.... lo nggak usah protes De, itu kenyataan. Gue juga nggak akan biarin lo sama Stevy. Gue nggak sebaik Dean kalau lo pengen tau." Niel memasang senyum miring di akhir kalimatnya.
"Tsk. Gue tau ngomong sama kalian nggak akan ada gunanya. Gue cuma mau buat semuanya jelas. Kalau gue nggak suka sama kalian berdua. Jadi jangan sampe lo berdua musuhan cuma gara-gara gue. Oke?" Gea melirik kedua orang di depannya, meminta kesepakatan yang entah akan terwujud atau tidak.
"Terserah kalian aja, yang penting tugas gue buat ngomong ke kalian udah selesai. Gue balik dulu." Gea mengambil kunci mobilnya dan pergi begitu saja meninggalkan Niel dan Dean.
Selama lima menit berlalu dengan senyap, hanya musik pelan dari speaker kafe yang terdengar mengisi keterdiaman Niel dan Dean. Mereka berdua sibuk dengan pemikiran masing-masing. Enggan beranjak, tapi juga tidak ingin berbicara satu sama lain.
Niel melirik Dean yang hanya memandang cangkir kopinya datar. Hembusan nafas frustasi terdengar dari Niel setelahnya.
"Udah berapa taun lo tunangan sama Gea?" Niel memandang jauh ke depan, tidak berniat memandang orang yang diajaknya bicara.
Dean mengernyitkan dahinya, merasa aneh saat saingannya itu berusaha berbicara normal dengannya.
"Sekitar dua tahun. Sebelum gue kuliah di luar negeri, gue minta dia jadi tunangan gue." Dean memutuskan tidak peduli dengan keanehan bahwa dia akur dengan Niel.
"Pasti waktu itu dia masih cewek penurut ya? Mau-mau aja lo minta jadi tunangan." Niel terkekeh pelan.
"Asal lo tau, Gea nggak pernah jadi cewek penurut. Dia bahkan lebih pendiem dari sekarang." Dean meyesap kopinya tenang.
"Gue pengen kenal dia juga waktu SMA. Gue pengen tau dia kayak apa." Niel menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan mendapat lirikan dari Dean.
"Gue beruntung lo baru kenal dia sekarang. Kalo nggak, mungkin dia nggak akan jadi tunangan gue." Dean terkekeh pelan, ikut menyandarkan punggungnya.
"Hahaha..... Pasti gue udah ngeduluin lo minta dia jadi tunangan gue." Niel mengusap dahinya geli.
"Gue tau maksud Gea nemuin kita. Dia nggak suka keributan, apalagi gara-gara dia." Dean kembali meminum kopinya.
"Dia baik banget sih. Kan gue jadi makin suka. Gimana dia nyuruh gue nyari cewek lain yang gampangan, kalau ada cewek sebaik dia di depan mata gue?" Niel mengusak rambutnya kesal.
"Yang pasti gue nggak akan lepasin dia buat siapapun." Dean melirik Niel sengit.
"Gue juga nggak akan nyerah buat dia masuk ke pelukan gue." Niel tersenyum miring.
Sesaat kemudian mereka berdua terkekeh bersamaan. Menertawakan diri mereka yang saling memperingatkan tapi juga tahu lawan terbesar mereka justru bukan orang yang mereka hadapi saat ini. Setelah menghabiskan minuman masing-masing mereka segera pulang dan bersiap untuk mempertahankan keinginan masing-masing untuk selanjutnya.
"Gue nggak mau tau, yang penting gue udah peringatin mereka." Gea
"Biarpun gue kalah start, gue pasti bisa nyusul dan finish duluan." Niel
"Gue ngerti kalau bertahan itu lebih susah. Tapi gue nggak akan nyerah." Dean
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Matahari Senja
RomansGea, seorang mahasiswi tingkat 3 yang cueknya nggak ketulungan. Anak-anak cowok satu jurusan yang kenal dia lebih sering nyebut dia cewek jutek yang galak. Tapi jangan salah, dia itu termasuk cewek cantik di jurusannya. Yah, cuma sayang dia agak tom...