She is my friend, don't touch!

3.7K 70 0
                                    

Seperti biasa, dimana ada Stevy di situ ada Gea. Dua cewek yang terkenal sebagai kembar dempet dari jurusan manajemen ini sedang membereskan barang-barang seusai perkuliahan. Sebenarnya cuma Stevy yang sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas, Gea sudah standby sambil menyampirkan tas punggung di bahu sebelah kanannya. Gea sedang sibuk mengetik entah apa di handphone miliknya dengan menyandar di samping meja Stevy.

Setelah semua beres mereka berjalan beriringan menuju kantin, Stevy seperti biasa akan tebar pesona di sana. Bagaimana dengan Gea? Dia tidak akan mengikuti yang dilakukan teman satu-satunya itu, dia sangat benci ritual yang selalu dilakukan Stev di kantin setiap harinya.

Jika kalian bertanya-tanya bagaimana awal mula dua cewek beda dunia ini bisa jadi teman, mari kita kembali ke waktu satu tahun lalu saat MOS mahasiswa baru di kampus mereka.

****

Suasana hari pertama masuk kampus begitu ingin dihilangkan oleh cewek satu ini, Gea. Dia berjalan ogah-ogahan melewati gerbang kampus yang lebarnya bisa dilewati dua truk tronton sekaligus. Gea melihat begitu banyak makhluk tidak jelas yang berpenampilan sebelas dua belas dengannya. Kemeja putih dan rok hitam buat cewek atau celana pendek selutut buat cowok, kaos kaki hitam setengah betis dan sepatu pantofel hitam. Ditambah dandanan rambut dengan pita warna-warni dan topi kerucut dari kertas karton, dia merasa layak menjadi jebolan RSJ.

Gea berusaha sabar, ini cuma tiga hari. Dia nggak akan pernah mau didandani kayak orang bego macem gini kalau nggak karena males dengerin mbak-mbak hima yang resenya setengah idup. Dia males kupingnya jadi tuli dadakan karena harus dengerin ceramah nggak berbobot dari kakak angkatan super nyolot yang minta dilempar bakiak.

Akhirnya setelah jalan males-malesannya, Gea sampai ke lapangan tempat ngumpul anak-anak baru. Dia celingukan nyari tampang mas-mas yang kemarin ngaku sebagai pendampingnya, sebenarnya dia nggak yakin inget tampangnya yang kayak gimana. Dia inget kemarin sempat nyimpen nomer hp mas pendampingnya. Dengan cuek dia telfon nomer dengan id mas pendamping sambil ngamatin tiap pendamping yang berdiri di depan barisan anak-anak yang disuruh ngelesot di lapangan. Setelah nunggu beberapa saat, terdengar suara cowok dari seberang telepon.

"Hallo. Ini siapa?"

"Bisa angkat tangan nggak?"

"Ha?"

"Apa sih susahnya ngangkat tangan?"

"Eh, oh, ok."

Begitu Gea melihat salah seorang pendamping yang mengangkat tangannya, dia segera mematikan sambungan telepon dan kembali dimasukkannya ke saku rok sebelah kanan. Dia berjalan santai ke arah barisan paling belakang anak-anak di depan pendampingnya berdiri. Gea sempat melihat pendampingnya masih celingukan kayak orang bingung, dia hanya mendengus geli.

Bosan memandangi kakak pendamping yang tampangnya nggak banget, Gea mulai mengamati anak-anak yang duduk di barisan depannya. Atensinya tertuju pada seorang cewek yang dengan hebohnya membenarkan letak topi kerucut yang terlihat terlalu besar di kepalanya dan rambut panjang ikal berhias pita warna-warni yang membuatnya makin ribet.

Dengan cuek Gea berdiri dan mendekati cewek tadi, dengan tampang galak dia minta orang yang tadinya duduk di belakang cewek itu mundur ke belakang. Seperti tidak ada masalah dia segera duduk dan mengamati cewek ribet di depannya dengan hikmat. Hiburan gratis pikirnya.

Lama-kelamaan Gea kasihan juga dengan cewek lucu di depannya. Akhirnya dia putusin buat bantu anak itu. Ditepuknya bahu cewek di depannya.

"Sini." Gea segera menghadapkan badan cewek itu ke belakang dan mengikat tali topi yang berada di bawah dagunya agar topi karton jelek itu tidak merepotkan lagi.

"Eh?" Cewek yang sempat Gea lirik punya name tag bertuliskan Stevy itu hanya bengong.

"Udah." Gea memutar lagi arah duduk Stevy ke depan setelah selesai membantunya.

Sadar dari kekagetannya, Stevy menoleh ke belakang dan mengucapkan terima kasih disertai senyum manis yang membuat Gea salah tingkah lalu dengan tidak bertanggung jawab Stevy kembali menghadap ke depan. Gea cuma bisa mati kutu sambil kedap-kedip kayak orang bego. Dia kenapa? Jangan tanya Gea, dia juga bingung. Cewek bernama Stevy di depannya sangat cantik dan memiliki senyum yang manis, itu menurut standar Gea. Jantungnya berdetak abnormal, Gea mulai berpikir kalau spesies cewek di depannya bisa berbahaya untuk kesehatan jantungnya.

Sejak saat itu, Stevy selalu menempel pada Gea. Gea adalah cewek jutek, galak, irit ngomong, dan paling dijauhi baik cewek maupun cowok di jurusannya. Tapi Stevy berbeda, dia hanya tau kalau Gea temannya itu baik banget. Dia tidak pernah mempermasalahkan sifat Gea yang jarang bicara dan malas bersosialisasi, selama tidak membawa dampak negatif itu ok saja untuknya.

****

Sekarang Gea dan Stevy sudah duduk di salah satu kursi kantin kampus sambil menunggu minuman pesanan mereka datang. Stevy sibuk mengamati setiap sudut kantin, mencari pangeran idamannya. Gea hanya memutar bola matanya malas dan mendecih sesekali saat Stev membalas senyum dari cowok-cowok tengil yang duduk di pojokan ketika pandangan mereka bertemu.

Perhatian Stevy teralih saat pelayan kantin menaruh minuman di atas meja kami. Dia tersenyum sekilas dan aku hanya bergumam pendek. Dia mengaduk minumannya lemas sambil menghela nafas.

"Pangeran kudamu nggak ada hum?"

"Namanya Niel, Ge! Niel! Hish..." Dia mengaduk-aduk jusnya jengkel.

"Terserah namanya siapa." Aku mengalihkan perhatian pada hpku yang bergetar, pesan masuk.

"Kamu nyebelin Ge." Aku hanya membalasnya dengan gumaman, aku masih sibuk mengetik balasan pesan.

"Eh, mau kemana Ge?"

"Aku tinggal bentar." Aku segera berdiri dan berbalik tanpa tahu ada yang berjalan dari arah sebaliknya.

"Oopsss.... Ati-ati kalo balik arah tiba-tiba Ge." Sial, musuh besar datang.

"Minggir." Sekilas ku lirik Stev, dia malah sibuk rapiin rambutnya. Sialan.

"Galak seperti biasa Ge?" Aku hanya mendengus melihat senyum main-mainnya.

"Niel, kamu nggak papa?" Aku memutar bola mataku kesal mendengar pertanyaan Stev.

"Oh...Hai Stev! Aku nggak papa. Oh iya, dan kamu cantik hari ini."

Dia berlalu begitu saja melewatiku, setidaknya itu lebih baik daripada aku memukul wajahnya karena kesal melihat Stev yang sedang sibuk tersipu di belakangku. Berubah pikiran, segera kukeluarkan satu lembar uang lima puluh ribuan di atas meja dan memanggil pelayan kantin. Kutarik tangan Stevy dan membawanya bersamaku, kantin tidak aman untuknya jika ada pangeran kuda itu.

Separuh Matahari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang