What's Wrong?

808 27 0
                                    

Niel mengaduk-aduk minumannya tak berminat. Dia hanya duduk sendiri di kursi cafe yang didatanginya dan sengaja duduk di pojokan. Haah.... Entah sudah berapa kali terdengar helaan napas keluar dari mulut Niel. Dihempaskannya punggung ke sandaran kursi, tangannya beringas mengacak-acak rambut. Diliriknya sinis pelayan yang berbisik-bisik sambil melihatnya dari sudut cafe yang lain.

Sekarang Niel sedang kesal, kesal, dan kesal. Dia ingin sekali marah-marah, tapi bingung harus ke siapa. Ah, mungkin ke seseorang bernama Dean. Ya, ya, orang itu yang harusnya dia marahi. Tapi, salah apa dia? Bahkan Niel baru bertemu dengannya kemarin, hanya tahu namanya yang itupun karena mendengar panggilannya dari Gea. Huuh...Gea.

Niel tak terlihat lebih baik dari orang gila yang nyasar masuk ke dalam cafe. Jika saja pemilik cafe ini bukan temannya dan dia baru pertama kali kesana, pasti dia sudah dilempar keluar karena meresahkan para pekerja dan pengunjung. Jengah ditatap aneh dari tadi, akhirnya Niel memutuskan pergi dari cafe itu.

Sampai di parkiran Niel tak langsung masuk ke mobilnya, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone-nya. Dia terlihat menimbang-nimbang untuk menghubungi seseorang.

"Gue mau ngomong."

"......."

"Gue maunya kita ketemuan."

"......."

"Terserah, gue tunggu di apartemen."

Setelah menutup telfonnya Niel segera masuk ke mobil dan menginjak gas dalam-dalam.

*****
Gea sedang menuruni tangga rumahnya. Dia mendengar suara dua orang yang sedang beradu mulut, saling lempar tuduhan. Tak berminat ikut campur, Gea berjalan santai melewati ruang tengah.

"Apa kau sudah puas jalan-jalan ha?"

"Bagaimana denganmu sendiri? Sudah puas dengan bisnismu?"

Gea yang sedang melewati dua orang itu berdecak saat namanya dipanggil.

"Gea, mau kemana?" Suara ayahnya menginterupsi.

"Keluar Dad, di sini berisik." Dia tersenyum mengejek.

"Lihat, anak itu tidak punya aturan!" Ibu Gea menunjuk Gea sambil berteriak pada ayahnya.

"Kau bodoh atau apa? Ibu yang bertugas mendidik anaknya." Ayah Gea balas mencemooh.

"Ah, kalian boleh melanjutkan acara kalian. Aku pergi dulu, Mom Dad!" Gea melambaikan tangannya sambil berbalik.

Gea hanya menggedikkan bahunya saat masih bisa mendengar suara ribut dari pintu masuk. Dia memanggil tukang kebun yang sedang memotong tanaman sebelum masuk ke garasi.

"Bilang ke orang rumah kalau aku menginap di tempat temanku nanti malam. Ah, itupun kalau ada yang bertanya."
Gea menepuk bahu tukang kebunnya dan berlalu begitu saja.

"B-baik non."

Gea mengendarai mobil menuju apartemen miliknya, dia sudah ada janji. Ekspresinya tak lagi sedatar tadi, rahangnya mengeras. Cengkraman di stirnya mengerat, suasana hatinya menjadi sangat buruk.

Dari basement apartemen sampai ke lantai 9 setiap orang yang berpapasan dengan Gea memilih menghindar. Yah, aura disekitarnya begitu buruk. Seseorang sudah berdiri di depan pintu saat Gea sampai di kamarnya. Tak banyak bicara Gea membuka pintu dan memerintah orang itu masuk.

"Masuk." Orang yang diminta hanya diam, tidak protes.

Mereka berjalan menuju ruang santai tanpa ada pembicaraan. Jika saja tamu Gea tidak menyadari aura buruk yang dikeluarkan dari tuan rumah, dia sudah berkomentar ini itu tentang suasana di sana.

"Ada apa." Pertanyaan bernada datar meluncur begitu saja dari Gea sesaat setelah mereka duduk.

"Lo nggak apa-apa?" Sang tamu bertanya dengan ragu.

"Kenapa lo mau ketemu gue?" Lagi-lagi suara yang keluar dari Gea masih datar-datar saja.

"Gue serius. Lo nggak apa-apa kan?" Orang itu beringsut dan duduk lebih dekat dengan Gea.

"Lo boleh balik kalo nggak ada keperluan sama gue Niel." Sekarang terdengar suara lelah dari Gea, dia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan mata.

"Apa yang tadinya mau gue omongin nggak penting. Sekarang gue cuma mau tau lo kenapa." Niel memandang wajah Gea intens.

"Gue nggak apa-apa. Sekarang lo boleh pulang." Gea membuka matanya dan membalas tatapan Niel.

"Semarah-marahnya lo sama gue karena Stev, lo nggak akan sekacau ini." Niel menghela nafasnya.

"Apa gue keliatan sejelek itu sekarang?" Gea menengokkan kepalanya agar dapat menatap langsung ke Niel.

"Lo nggak jelek. Lo nggak pernah jelek." Sekarang Niel yang menyandarkan punggungnya.

"Gue bukan fangirls lo yang bisa lumer kalo denger gombalan macem gitu." Gea berdiri, berjalan ke kulkas dan mengambil satu-satunya botol minuman bersoda yang ada di sana.

"Sorry, nggak ada yang lain." Gea menyodorkan botol itu ke Niel.

"Gue cuma jawab pertanyaan lo, bukan ngegombal." Dibukanya tutup botol dan menenggak sedikit minuman di dalamnya.

"Ok, whatever. Jadi lo tadinya mau apa ketemu gue?" Gea terlihat sudah membaik.

"Dean."

"Huh?" Gea tidak paham maksud Niel.

"Dia siapa lo?" Niel pasang tampang serius.

"Kemarin udah gue jawab kan?" Gea menjawab santai.

"Gue serius Ge." Niel menaruh minumannya di meja dengan agak keras, gemas dengan orang di depannya.

"Lo kira jawaban gue kemarin bercanda?" Gea kembali bersandar ke sofa.

"Gue tau itu mustahil." Niel menggeleng tidak percaya.

"Dean tunangan gue, begitu lulus gue sama dia udah dipastiin nikah." Gea melirik ekspresi Niel.

"......"

"Terus apa pentingnya lo tau soal Dean?"

"......" Niel masih diam.

"Lo nggak naksir sama Dean kan?" Gea mengangkat bahunya geli.

"Apa?" Akhirnya Niel merespon juga.

"Kalo iya, mending lo nyerah. Dean itu freak, dia ngestalking gue dari dulu sampe sekarang. Biarpun dia nggak lagi di negara ini." Sedikit senyum muncul di wajah Gea.

"Lo satu-satunya orang yang bisa mikir kalo gue naksir cowok." Niel mendengus, kalau bukan Gea pasti dia sudah mengusak kepala anak itu.

"Nothing is impossible Niel." Gea memperlihatkan senyum, tapi Niel tidak menyukainya. Disana Niel melihat kesedihan.

"But, I'm sure that everything is gonna be allright Ge." Tangan Niel bergerak dan mengacak rambut Gea yang menghasilkan tepisan dan pelototan kepadanya.

"You're still a girl Ge." Niel tersenyum senang.

Gea menyambar minuman Niel dan meminumnya kasar. Niel yang melihat sisi lain Gea hanya bisa tertawa. Dia begitu senang bisa bicara dengan Gea. Pikirannya tentang Gea selama ini sedikit berubah, Gea bukan seorang gadis yang hanya memiliki sikap cuek dan galak. Dia ingin tau lebih banyak tentang Gea.

"Ge, kamu seperti matahari senja yang hanya bisa ku lihat sebagian dan bagian lainnya tersembunyi. Tapi kamu tau, matahari itu tetap terlihat indah." Niel berbicara dalam hati sambil memandang Gea yang mengomel tidak jelas.

"Ngapain liat-liat? Balik sana!" Gea beranjak dan mengisyaratkan Niel mengikutinya. Dia membuka pintu dan mengusir Niel.

"Gue ada di sebelah kalo lo butuh." Kata Niel sebelum keluar.

"Gue punya Dean." Gea segera menutup pintu sebelum Niel membalas ucapannya.

"Ck. Sial." Niel segera masuk ke apartemennya sambil membanting pintu.

Separuh Matahari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang