Akhirnya hari Jumat datang. Pukul sembilan tadi Gea, Stev, dan Dean berangkat bersama dengan mobil Dean. Dean sengaja tidak menggunakan jasa sopir, dia malas berbasa-basi dengan sopir di dalam mobil sendirian. Gea yang juteknya setinggi langit tidak mungkin mau berbicara dengan supir yang tidak dikenal, apalagi Stevy yang heboh sendiri melihat pemandangan kanan-kiri.
Mulai dari apartemen Stevy sampai sekarang, yang tinggal setengah jam lagi sampai di villanya, Dean hanya sibuk mengomel dalam hati. Gea cuma fokus pada tingkah heboh cenderung absurd Stevy, dia hanya seperti supir sewaan yang tidak bisa bicara. Dean jadi sempat berpikir untuk sengaja menabrakkan mobil mereka, hanya saja dia masih sayang nyawanya.
Sepertinya ada peserta piknik yang terlupakan. Oh iya, Niel. Bukan di bagasi mobil. Dia mengendarai mobilnya sendiri, di belakang mobil Dean. Dia ingin menabrak mobil di depannya dengan keras seandainya tidak ingat ada Gea di dalam sana. Dia merasa seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Dia sudah gatal ingin menyalip sebenarnya, tapi dia tidak tahu dimana villa Dean. Kini level kebenciannya pada saingannya itu naik beberapa level.
Setelah sekitar lima menit memasuki komplek villa-villa mewah, mobil mereka berbelok di salah satu villa yang cukup unik. Villa Dean tidak seperti villa lain yang bernuansa Eropa dengan kemewahannya. Tema villanya lebih sederhana tapi nyaman. Bangunan utama terletak di tengah, hanya bangunan berlantai satu yang terdiri dari ruang santai yang cukup besar, ruang keluarga, ruang makan, dan dapur. Di bagian belakang ada lima buah kamar yang terdiri dari satu kamar utama yang super besar untuk ukuran kamar dan empat kamar normal lain. Semua kamar dihubungkan oleh sebuah koridor beralas batu alam. Oh, satu lagi koridor yang menghubungkan bangunan utama dengan sebuah bangunan berlantai dua di bagian belakang villa. Bangunan mini itu berfungsi sebagai green house pada lantai satu dan lantai dua hanya berupa ruang kosong berdinding kaca dengan balkon menghadap kebun teh.
Gea tersenyum puas melihat villa Dean. Dia belum pernah berkunjung ke villa yang satu ini, Dean memang tau keinginannya.
"Kapan villa yang ini dibuat?" Gea geleng-geleng melihat tingkah Stev yang sibuk memotret sana-sini.
"Setahun yang lalu." Dean mengambil alih tas Stev yang ada di tangan Gea.
"Thanks. Desainnya unik." Gea menyamankan tas punggungnya.
"Tsk. Drama romantis lagi." Niel berdecak kesal di belakang.
"Lo boleh pulang kalo nggak suka." Gea menoleh ke Niel sambil mengangkat salah satu tangannya dengan gestur mengusir.
"Hahaha.... Nggak usah didengerin lah Ge. Oh iya, gue yang atur desain villa ini. Gue seneng kalo lo suka." Dean melirik ke arah Niel, meremehkan.
"Sombong." Niel menggerutu.
"Lo nggak usah nginep sini kalo nggak suka. Sana balik Jakarta." Gea segera berlalu menyusul Stev yang sudah jelalatan memeriksa isi kulkas di dapur.
"Lo niat banget pamer." Niel melangkah di samping Dean menuju dua cewek di dapur sana.
"Pamer nggak dosa deh kayaknya." Dean tersenyum melihat Gea dipaksa Stev untuk berfoto di pantry.
Niel memutar bola matanya malas. Dia lebih malas lagi melihat Gea diseret kesana-kemari untuk berfoto dengan Stev. Di dalam hatinya mengomel kesal. Bisa nggak tuh cewek rempong dipulangin ke rumahnya dulu?
Setelah berhasil membuat Stev berhenti berfoto heboh, Dean menunjukkan kamar mereka masing-masing. Mereka mendapat satu kamar untuk satu orang, kamar utama tidak digunakan. Gea dan Stev menggunakan dua kamar di sebelah kanan bangunan, sedangkan Dean dan Niel menggunakan dua kamar lain di sebelah kiri bangunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Matahari Senja
RomansaGea, seorang mahasiswi tingkat 3 yang cueknya nggak ketulungan. Anak-anak cowok satu jurusan yang kenal dia lebih sering nyebut dia cewek jutek yang galak. Tapi jangan salah, dia itu termasuk cewek cantik di jurusannya. Yah, cuma sayang dia agak tom...