Menyerah? No!!

125 2 0
                                    

Jika diibaratkan kain, mungkin wajah Gea sudah mirip dengan kain katun yang super kusut. Matanya melirik galak ke makhluk di sebelah kanannya. Makhluk yang sedari tadi hanya fokus ke arah papan tulis di depan kelas. Hanya sekedar informasi, makhluk yang Gea maksud sebenarnya tidak melakukan apapun. Dia hanya duduk diam dan fokus pada materi kuliah yang disampaikan dosen di depan. Bertingkah seolah Gea tidak ada di sampingnya. Harusnya Gea senang, tapi dia terganggu dan dongkol.

Gea cuma mau bebas, tidak diganggu. Memang saat ini makhluk di sebelahnya seolah tidak mengenalnya, tapi jika dia berada di kelas Gea sejak pagi itu aneh sekali. Mereka tidak pernah punya jadwal bersama sebelumnya, tapi hari ini orang itu muncul di kelasnya bahkan sebelum Gea sampai ke kelas. Parahnya dosen cuek saja ada penyusup di kelasnya. Saat dosen menanyakan perihal keberadaannya, makhluk di sebelah Gea hanya tersenyum sambil mengatakan jika dirinya kurang paham saat kuliah kemarin dan memilih ikut kelas lain. Lebih menakjubkan lagi, hal itu terjadi pada tiga mata kuliah berturut-turut. Apakah tampang makhluk disampingnya semeyakinkan itu untuk para dosen?

Mata kuliah ke tiga selesai beberapa menit lalu. Makhluk di sebelah Gea, Niel, akhirnya beranjak dari kursinya. Pergi begitu saja tanpa melirik padanya. Gea mengerutkan dahinya, merasa takjub dengan kelakuan Niel. Mengangkat bahunya acuh, berpikir mungkin tetangganya itu sedang kurang kerjaan.

*********

Mendudukkan dirinya kasar di bangku taman, Niel menghembuskan nafas beratnya. Mengusap wajahnya kasar dan mengacak rambutnya kesal. Dia mendongak melihat langit yang cukup cerah, seperti mengejeknya.

"Lama-lama aku bisa gila." Niel mendesah panjang, hampir menyerah begitu saja dengan rencananya sendiri.

*********

"Ge, kok nggak makan?" Stevy mengembalikan fokus Gea yang tengah memandangi es lemon di depannya.

"Belum laper." Gea menjawab seadanya.

Stevy mengerutkan dahi dan mencebikkan bibir. Gea tidak seperti biasanya. Jika dalam keadaan normal justru Gea akan bertanya padanya apa yang ingin dia makan. Saat ini sepertinya Gea sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Apa penyebab buruknya suasana hati Gea membuat Stevy sedikit penasaran.

"Ge, ada masalah sama Dean? Kok mood kamu kayaknya baru nggak baik?" Stevy memberanikan diri bertanya.

"Nggak. Nggak papa. Cuma lagi badmood." Gea kembali mengaduk-aduk es lemonnya.

"Pulang aja gih." Stevy mengelus bahu Gea pelan.

"Nggak. Di rumah ada Dad." Wajah Gea makin kusut mengingat kejadian beberapa hari lalu.

"Ke apartemen lah." Stevy menjawab dengan tersenyum.

"Nggak juga. Males ketemu tetangga." Gea menghembuskan nafas kesal mengingat Niel.

"Eh, tetangga?" Stevy mengerutkan alis bingung, sejak kapan Gea peduli pada tetangganya.

"Ke apartemen kamu boleh?" Gea melirik Stevy yang memandangnya ragu.

"Nanti aku ada janji ngerjain makalah di tempat temen. Kalau kamu mau di apartemenku sih nggak papa." Stevy menggaruk pipinya tidak enak hati.

"Nggak usah. Aku pulang ke apartemen aja." Gea segera memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Iya."

"Aku pulang dulu. Nanti ati-ati. Jangan pulang malem-malem abis ngerjain makalah." Gea berdiri dari kursinya meninggalkan Stevy dan menuju kasir.

"Coba kamu cowok Ge. Pasti banyak yang naksir." Stevy menghela nafasnya lelah.

********

Arloji di tangan Niel sudah menunjukkan pukul sebelas malam tapi dia belum mendengar pintu di kamar sampingnya terbuka. Kemana perginya tetangga yang galak itu? Ah, sekarang Niel jadi mulai sedikit khawatir. Dia punya nomor ponselnya, tapi percayalah saat ini dia tidak punya alasan kenapa dia harus menelefonnya. Frustasi dengan kegiatan menunggunya di dalam apartemen, Niel memutuskan menunggu di depan pintu saja.

Separuh Matahari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang