Dean dan Niel panik seketika. Mereka jauh dari rumah sakit. Pukul sembilan malam pasti dokter sudah tidak membuka praktek. Dua cowok itu jadi tulalit, hanya mondar-mandir di dalam kamar Gea. Mungkin kalau Gea sehat, dia akan memutar bola matanya sampai sarafnya terpelintir.
Tiba-tiba Dean lari ke dapur, Niel mengikuti. Dengan gerakan brutal, Dean membongkar laci di dapur, mencari baskom untuk air dingin. Niel dengan sigap membantu, tidak peduli dapur mirip kapal pecah.
"Villa lo nggak guna banget sih? Nyari baskom aja musti bongkar dapur kayak gini!" Niel dongkol setengah mati.
"Nggak usah banyak ngomong, cepetan cari baskomnya." Dean mendengus dongkol.
Dean akan mengingat ini, baskom adalah benda yang penting.
Setelah menghancurkan dapur, Dean dan Niel kembali ke kamar Gea dengan membawa sebaskom air dingin. Mereka tidak menemukan es di dalam kulkas. Bukan handuk kecil yang tercelup di dalam air, hanya sebuah sapu tangan. Sapu tangan milik Niel.
Jangan pikir mereka tidak menggeledah kotak obat untuk mencari pengompres demam. Mereka sudah melakukannya, namun lagi-lagi nihil. Karena itu mereka pasrah menggunakan air dingin saja.
Mereka makin panik ketika mendapati Gea menggigil saat mereka memasuki kamar. Astaga, keringat mulai membasahi tubuh Gea. Badannya panas, tapi dia menggigil. Dua cowok itu makin linglung. Bingung harus bagaimana. Mereka lupa kalau ada satu orang yang bisa mereka minta bantuan.
"Enggg... " Mereka langsung menoleh kompak begitu mendengar gumaman dari mulut Gea.
"Kenapa nggak lo kompres biar turun panasnya?" Niel bertanya kepada Dean.
"Dia menggigil. Apa nggak masalah?" Dean bingung. Dia tidak pernah mengurus orang sakit.
"Ternyata lo bego soal beginian. Dia menggigil soalnya badannya terlalu panas." Niel merebut baskom dari tangan Dean.
Niel segera duduk di tepian tempat tidur dan memeras sapu tangannya. Dia berdecak kesal saat menyadari sapu tangannya terlalu tipis untuk mengompres. Niel menyingkirkan anak rambut yang berada di dahi Gea dan menempelkan sapu tangan basahnya di sana.
"Enggg.... " Gea kembali bergumam saat merasakan dingin di dahinya yang panas.
"Ada obat penurun panas nggak?" Niel menoleh ke arah Dean.
"Lo di sini aja. Gue cari ke bawah." Dean segera keluar saat mendapat anggukan dari Niel.
Khusus malam ini saja, mereka sepakat untuk bekerjasama. Berdamai sementara.
Dean kembali ke kamar Gea dengan tangan kosong. Dia berniat pamit ke Niel untuk pergi ke mini market terdekat. Membeli obat dan konpres penurun panas. Oh, ternyata Dean sudah mulai tenang. Dia sudah dalam mode bisa berpikir jernih.
"Nggak ada obat. Gue beli dulu." Dean hampir berteriak kalau tidak ingat ini sudah malam dan Gea sedang sakit. Di sana, Niel sedang mengelus kepala Gea sayang.
Niel menoleh saat mendengar suara Dean. Dia segera menarik tangannya. Ini bukan saatnya memulai persaingan. Gea yang paling penting sekarang.
"Gue aja yang beli, lo di sini temenin Gea." Niel sudah berdiri dari duduknya, tapi dia mendapati Dean mengernyit.
"Gue udah hafal dimana mini marketnya. Lebih cepet kalo gue yang berangkat. Gue titip Gea bentar." Dean sempat melirik ke belakang saat sudah melewati pintu kamar Gea.
Niel masih sibuk menyentuh sapu tangan di dahi Gea. Sesekali dia mencelupkan kembali ke dalam air. Dia mendengus saat mendapati air di dalam baskom sudah tidak dingin lagi. Dia berniat mengganti airnya dengan yang baru.
Niel berdiri dan pergerakannya terhenti. Tangannya digenggam erat oleh Gea. Niel tidak tega melepasnya, tapi air di baskom harus segera diganti. Niel dilema.
"Stev." Niel melotot kesal, yang diucapkan Gea bukan namanya.
"Ge, kenapa sih lo nggak pernah nganggep gue?" Niel kembali duduk.
"Lo itu cewek aneh. Ada dua cowok ganteng di deket lo, lo malah nyari ulet bulu." Niel merenggangkan genggaman Gea kepadanya.
"Gue ganti air bentar aja. Oke?" Niel bicara sendiri seperti orang gila.
Dean baru memasuki pintu depan saat Niel membuka pintu kulkas, mencari botol berisi air dingin. Dean menghampiri dan menepuk bahunya. Niel hampir memukulkan botol di tangannya, tapi urung saat mendapati wajah mengantuk Dean.
"Ada?" Pertanyaan Niel hanya dijawab sodoran plastik oleh Dean.
"Lo boleh tidur kalo ngantuk. Tadi lo nyetir sendiri kan?" Niel tertawa dalam hati. Sejak kapan dia jadi perhatian kepada Dean? Hiii.....
"Lo juga nyetir sendiri." Dean mendengus.
"Ngaca coba. Liat tampang lo yang udah muka bantal." Niel mengambil segelas air dan menyambar plastik di tangan Dean.
Niel segera mengambil sapu tangan di dahi Gea, mengelap jejak basah setelahnya. Membuka plester pengompres demam dan menempelkannya hati-hati. Dirinya menoleh pada Dean.
"Gue nggak mau ngurusin kalo lo yang sakit. Jadi mending lo tidur sekarang. Gue janji nggak bakal ngapa-ngapain Gea." Dean mengerjap beberapa kali, matanya sulit diajak kompromi. Begitu juga otaknya. Dia akhirnya setuju dengan usul Niel. Dia perlu tidur.
"Gue percaya sama lo." Pernyataan Dean sebelum keluar dari kamar Gea membuat Niel nyengir kaku.
"Doain gue nggak dibisikin setan aja De. Pasti gue tepatin." Niel membatin edan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Matahari Senja
RomanceGea, seorang mahasiswi tingkat 3 yang cueknya nggak ketulungan. Anak-anak cowok satu jurusan yang kenal dia lebih sering nyebut dia cewek jutek yang galak. Tapi jangan salah, dia itu termasuk cewek cantik di jurusannya. Yah, cuma sayang dia agak tom...