Pagi-pagi Niel sudah berisik. Dia mengitari bangunan utama sambil lari-larian. Kepalanya sibuk tengok kanan-kiri, mirip ondel-ondel.
Dean yang baru bangun dan melihat Niel seperti orang bingung memutuskan untuk menghampirinya.
"Pagi-pagi udah berisik. Nggak usah jogging di dalem rumah dong!" Dean membuka kulkas dan membuka salah satu botol air mineral.
"Gimana gue nggak lari-larian pagi-pagi? Gea nggak ada di kasur pas gue bangun, bego!" Niel mengacak rambutnya kesal.
"Apa? Tsk. Tuh cewek satu nggak bisa kalo nggak bikin orang ribut ya?" Dean akhirnya tertular kepanikan Niel.
"Nggak usah cerewet! Bantuin nyari!" Niel segera berlari ke rumah kaca di belakang vila.
"Tungguin woi! Emang gue tau dia udah nyari ke mana aja." Dean menyusul sambil mengomel.
*
*
*
*Sinar matahari pukul tujuh pagi terasa hangat di kulit Gea. Dia berdiri di tepi pagar pembatas lantai dua rumah kaca, menghadap kebun teh yang masih menyisakan sedikit kabut. Rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja, sedikit acak-acakan, hasil menyisir dengan jari sekenanya. Dahinya sedikit mengernyit mendengar suara berisik dari lantai bawah. Dia masih sedikit mengantuk, tapi dia ogah kembali ke kamar. Dia tidak mau tidur satu ruangan dengan seekor kuda.
"Ya ampun pasien, diem bentar di kamar kenapa sih?" Niel berjalan pelan ke arah Gea.
"Takut sama lo kali." Dean berlari kecil, sampai di depan Gea terlebih dulu.
"Lo berdua ngerusak suasana liburan tau." Gea cuek kembali menghadap kebun teh.
Niel melirik gerakan tangan Gea mengusap lengannya sendiri. Berdecak kesal menyadari udara pagi di Bandung terbilang cukup dingin dan mantan pasiennya semalam malah asyik 'ngadem' di luar seperti itu.
"Suruh tunangan lo masuk." Niel segera meninggalkan rumah kaca, malas berdebat dengan orang sakit.
Dean menepuk dahinya. Dia hampir lupa cewek di depannya semalam panas tinggi. Lihat pakaiannya sekarang. Hanya kaos oblong dan celana training yang untuk orang sehat saja pasti masih dapat merasakan dinginnya udara pagi itu.
"Masuk Ge." Nada absolut tak mau dibantah Dean hanya dituruti Gea dalam diam, lagipula lama-kelamaan kepalanya mulai pusing lagi.
*
*
*
*Stevy celingukan di meja makan. Di sana sepi, tapi makanan sudah siap. Apa yang lain belum bangun? Mungkin karena di sini dingin, jadi yang lain malas bangun. Begitu pikirnya.
Berniat baik, Stev mendatangi kamar Gea. Dia ingin melihat keadaan sahabatnya itu. Semoga dia baik-baik saja.
Saat dia masuk ke kamar Gea, di sana ada Dean. Gea terlihat sedang duduk di tempat tidurnya dengan menyandar ke bantal yang diletakkan di kepala ranjang.
"Ge, boleh masuk kan?" Stevy merasa kalau Dean menatapnya galak.
"Sini Stev, masuk aja." Gea menepuk tempat di sampingnya, mempersilahkan Stevy untuk duduk.
"Kamu nggak sarapan Ge?" Stevy segera duduk di samping Gea, berusaha tidak bertemu pandang dengan Dean.
"Dean. Berenti nggak?" Dean melirik Gea sekilas dan memutuskan keluar, dia bisa kelepasan kalau diam di sana.
"Kamu kenapa Ge sama Dean? Berantem?" Stevy melirik pintu.
"Nggak papa. Kamu sarapan dulu sana." Gea sedikit meringis saat tiba-tiba denyutan di kepalanya terasa.
"Nggak mau ah. Meja makan sepi. Masak aku makan sendirian?" Stevy memasang wajah cemberut, tidak tahu situasi.
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Matahari Senja
RomanceGea, seorang mahasiswi tingkat 3 yang cueknya nggak ketulungan. Anak-anak cowok satu jurusan yang kenal dia lebih sering nyebut dia cewek jutek yang galak. Tapi jangan salah, dia itu termasuk cewek cantik di jurusannya. Yah, cuma sayang dia agak tom...