Akhirnya liburan selama empat hari selesai juga. Senin depan, Gea akan menjalani tes semester empatnya. Dia berencana tidur hari ini dan besok. Badannya belum sembuh benar. Sialan sekali hujan waktu itu, dia hanya bisa menikmati dua hari liburannya tanpa badan yang panas. Selama perjalan pulang dari Bandung-Jakarta dia hanya memejamkan matanya dengan kepala bersandar pada jok mobil, kepalanya terasa berputar saat matanya terbuka.
Dean baru saja pulang setelah mengomel dan memenuhi kulkasnya dengan beberapa snack, biskuit, dan makanan kaleng. Dia tahu kalau Dean kesal padanya selama di Bandung, tapi dia pura-pura tidak peduli. Kepalanya sudah cukup pusing hanya untuk ditambah dengan mencari tahu kenapa tunangannya itu kesal.
Ting.
Gea melirik ponselnya malas. Pesan masuk dengan nama Niel. Dengusan pelan terdengar dari mulut Gea, dia malas sekali jika harus berurusan dengan orang itu saat dia hanya ingin tidur.
'Bukakan pintunya'
Baru saja Gea akan melempar ponselnya ke sofa diseberangnya, bel apartemennya berbunyi. Dia menggeretakkan giginya emosi, dia hanya butuh tidur. Kenapa orang-orang suka sekali mengganggunya?
'Gue nggak terima tamu.'
Gea beranjak dari sofa setelah membalas pesan pada Niel. Dia mau tidur di kamar saja.Ting tong ting tong ting tong.
"Kudanil sialan!" Gea memutar tubuhnya setelah mendengar bel apartemennya tidak berhenti berbunyi. Bergegas membuka pintu dengan emosi.
"Gu-" Gea menelan lagi teriakannya, Niel tidak ada di depan pintunya.
"Lama banget buka pintu." Niel yang bersandar di dinding samping pintu kamar berjalan dengan santai melewati Gea.
Malas menghabiskan energi, Gea memilih masuk sambil menutup pintu keras-keras. Dia melewati Niel yang duduk di ruang tamu begitu saja. Gea berencana tidur saja di kamar, masa bodoh dengan tamu tak diundangnya.
Niel mengangkat satu alisnya saat melihat Gea berjalan menuju kamarnya tanpa berniat menemaninya duduk di sofa ruang tamu. Dia mengangkat bahunya dan bergegas mengikuti Gea.
"Gue baru tau, sekarang lo kalo terima tamu di dalem kamar." Niel menyandarkan bahunya di pintu kamar Gea.
"Nggak usah berisik. Pulang sana! Kepala gue makin pusing denger omelan lo." Gea menyamankan posisi tidurnya.
"Perlu gue beliin obat?" Niel berjalan mendekati ranjang lalu duduk di tepiannya.
"Nggak. Gue cuma butuh tidur." Gea keras kepala menutup matanya, masa bodoh saat tau Niel sudah duduk di sampingnya. Dia hanya ingin tidur. Titik.
Niel meletakkan tangannya pada dahi Gea. Reflek Gea menampik tangan Niel, dia tidak suka disentuh orang lain.
"Untung lo nggak panas lagi." Niel menghembuskan nafas lega.
"Terakhir nih gue ngomong. Gue mau tidur. Lo pulang sono, apa kalo nggak jangan di dalem kamar gue." Gea melirik Niel galak.
"Udah makan?" Niel memutuskan masa bodoh dengan peringatan Gea.
"Kalo belom, gue beliin atau buatin sesuatu."
Gea yang sama keras kepalanya memilih bungkam. Berpikir jika tamunya itu didiamkan akan pergi dengan sendirinya.
"Kalo lo diemin gue, gue bakal diem di kamar lo sampe lo bangun."
"Sialan lo." Gea menyerah. Dia mengubah posisinya menjadi duduk.
"Mau lo apaan sih? Gue udah bebasin lo mau ngapain di rumah gue asal nggak di sini. Ganggu gue mau tidur!" Gea sudah tidak tahan, kepalanya terasa mau meledak saat dia berteriak.
"Abis lo makan, gue pulang." Niel hanya memberikan jawaban singkat yang membuat Gea makin dongkol.
Niel memutuskan mencari makanan di dapur. Tapi nihil. Dia hanya mendapati beberapa snack, biskuit serta makanan kaleng, yang dia tahu pasti Dean yang membelikannya.
Kadang Niel tidak paham pada Dean. Bagaimana mungkin dia membiarkan Gea yang sedang sakit sendirian di apartemennya? Yah, meskipun dia paham sikap Gea yang tidak mau dianggap lemah itu. Jika Niel menjadi Dean, maka dia akan mengurus Gea sepanjang hari. Mengomelinya untuk makan dan minum obat. Sayangnya dia bukan tunangan Gea, dia hanya tetangganya saja.
"Gue nggak nemuin bahan makanan di kulkas lo. Gue turun bentar ke bawah. Lo diem aja di situ. Jangan tidur sebelum makan." Niel memperingati Gea. Bukan apa-apa, dia benci melihat Gea sakit seperti ini.
Begitu mendengar suara pintu tertutup, Gea segera melangkah ke ruang tamu. Langkahnya kadang terhenti untuk menahan denyut di kepalanya yang menggila. Dia memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di sofa.
Saat Niel kembali, dia menemukan Gea yang tertidur di sofa. Dia menghembuskan napas dengan berat. Diletakkannya plastik berisi belanjaan. Dia berjongkok menghadap wajah Gea.
"Lo harus cepet sembuh ya." Niel tersenyum sambil menunjuk ke dahi Gea.
Niel segera bergegas menuju dapur. Berniat membuat bubur atau sup. Sayangnya dia mendengar suara Gea dari ruang tamu.
"Buatin gue telur mata sapi sama sanwich. Gue ogah makan makanan orang sakit." Yah, sang ratu, Gea memberi titah.
"Iya."
Niel sibuk berkutat di dapur, menjalankan titah sang ratu sebaik-baiknya. Sekitar limabelas menit kemudian Niel selesai dengan telur mata sapi dan sanwichnya. Dia membawa dua piring di tangannya dan menuju ruang tamu, menghampiri Gea yang masih merebahkan tubuhnya di sofa. Niel memutuskan kembali ke dapur untuk mengambil segelas air dan saat kembali dia melihat Gea sudah mengubah posisinya menjadi duduk.
"Sanwichnya lumayan." Gea menggigit kembali sanwichnya.
"Cepet abisin. Itu gue beliin obat sakit kepala." Niel meletakkan obat di samping gelas.
"Ogah. Obat nggak enak. Abis gue makan lo musti pulang." Gea memelirik Niel dengan galak, kepalanya sedikit membaik setelah tidur. Dia hanya butuh tidur, bukan diganggu Niel.
"Iya. Gue tau."
Gea menghentikan makannya. Dia menatap Niel heran. Ada apa dengan cowok gila itu? Kenapa dia begitu penurut hari ini? Entahlah. Gea malas berpikir. Dia hanya akan segera menghabiskan makanannya agar Niel segera pergi.
Kring.....
Tiba-tiba telefon yang ada di samping Niel berbunyi. Gea masih sibuk dengan makanannya saat dering ke dua terdengar. Niel memutuskan mengangkatnya.
"Halo."
"....." Tidak terdengar jawaban dari penelefon.
"Kalo nggak mau bicara gue tutup." Niel kesal acaranya menemani Gea makan diganggu oleh orang tidak jelas.
"Siapa?" Gea menoleh pada Niel yang masih menempelkan gagang telefon di telinganya.
"Nggak tau. Nggak ngomong." Niel menyodorkan air melihat Gea kesulitan menelan makanannya.
"Apaan sih. Nggak usah disodorin depan mulut gue juga." Gea menyambar gelas yang diarahkan ke depan mulutnya oleh Niel.
"Oke. Pegang sendiri."
Tut tut tut
Mendengar bunyi sambungan telefon diputus, Niel mengernyitkan dahinya. Jadi dari tadi si penelefon mendengarkan pembicaraannya dengan Gea dan memilih diam saja. Siapa penelefon kurang kerjaan itu? Ah, masa bodoh. Jika penting pasti nanti telefon lagi.
*******
"Apa yang dilakukannya di apartemen dengan seorang pria? Dia sudah kelewatan." Seseorang terlihat begitu marah setelah mematikan ponselnya.
Orang itu segera menghubungi seseorang dengan ponsel yang masih ada di genggamannya.
"Dean, segera ke apartemen tunanganmu dan bawa dia bersamamu untuk menemuiku." Tanpa menunggu jawaban dari seberang, telefon segera diputus.
Dean hanya dapat melihat layar ponselnya dengan heran. Ada apa sampai orang itu memintanya ke apartemen Gea? Dean mengacak-acak rambutnya gemas. Orang itu tidak akan menelefonnya langsung jika tidak ada masalah. Kepala Dean mendadak terasa sakit. Dia segera menyambar kunci mobilnya dan bergegas ke apartemen Gea.
Masalah apa lagi yang lo buat Ge?
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Matahari Senja
RomansaGea, seorang mahasiswi tingkat 3 yang cueknya nggak ketulungan. Anak-anak cowok satu jurusan yang kenal dia lebih sering nyebut dia cewek jutek yang galak. Tapi jangan salah, dia itu termasuk cewek cantik di jurusannya. Yah, cuma sayang dia agak tom...