66

32.4K 4.1K 1.1K
                                    

"Bagaimana ini Dokter?"

"Yang kita lakukan sejak tadi tidak berhasil. "

"Tidak, jangan menyerah, lakukan lagi!" Dokter Matt berujar tegas, pria dewasa yang ditugaskan untuk memantau kondisi Zidane selama seminggu terakhir ini nampak mengusap wajahnya kasar.

"Detak jantungnya semakin memburuk, " sahut yang lain saat mengamati alat pendeteksi jantung yang ada di samping brankar. "Detak jantungnya hampir tidak terdeteksi. "

Dokter Matt kembali mengusap wajahnya kasar, dia tidak ingin usahanya sejauh ini gagal. Dia sudah berhasil untuk membuatnya berhenti kejang-kejang, namun masalah detak jantungnya, hal itu masih tidak berhasil. "Jangan, jangan menyerah, coba lagi. " Dia bergumam lirih. Sudah banyak nyawa yang dia selamatkan selama ini, dia tidak mungkin gagal menyelamatkan nyawa tuan mudanya sendiri kan?

Suasana di ruangan itu terasa semakin mencekam, di saat alat pendeteksi jantung itu hampir menunjukkan garis lurus. Dokter Matt benar-benar khawatir sekaligus takut, namun dia tidak menyerah ... dia masih ingin melihat tuan mudanya itu hidup lebih lama.

"Berikan saya alat itu. " Dokter Matt mengambil alih alat pacu jantung tersebut, dia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan suster itu. Dia menempelkan alat itu pada dada Zidane, dan setelahnya tubuh kurus pemuda itu terangkat ke atas.

"Zidane, ayo bertahan. "

"Kamu anak yang kuat kan?"

Dokter Matt bergumam dengan getir, dia melakukan hal yang semestinya dia lakukan. "Zidane, maafkan saya harus melakukan ini, " batinnya, dengan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.

Pertahanan Anggara benar-benar runtuh di luar, air matanya menetes tanpa henti di pelupuk matanya. Dia bisa melihat jelas keadaan di ruangan dari kaca tembus pandang ruangan itu. "Bertahan lebih lama, Zidane. Ayo, Papah akan peluk kamu sepuasnya. " Anggara berujar lirih, ribuan belati seakan berlomba-lomba menusuk jantungnya, membuatnya terasa terhimpit.

"Apa yang terjadi disini?"

Anggara menoleh sekilas, dia mendapati sosok Feri yang menghampirinya dengan terburu-buru. Pemuda itu menatap nanar ke arah kaca ruangan itu, dengan air matanya yang mulai menetes. "Zidane?" Dia menatap sepintas ke arah Anggara, kemudian kembali ke arah dalam ruangan itu. Dia melihat tubuh Zidane terangkat ke atas, yang membuat jantungnya berdetak tak karuan. "Nggak ... Zidane. "

"Ustadz Fikri?"

Suara itu membuat Fikri menoleh ke arah sumber suara, dia mengerutkan keningnya saat melihat pemuda yang nampak familiar, dia hanya tidak mengenali laki-laki yang lebih dewasa di sebelahnya. "Thala?" ujarnya ragu-ragu.

Thala mengangguk membenarkan. "A-apa yang terjadi disini? Itu ruangan Zidane kan? Kenapa, kenapa mereka semua ada di sana? Apa yang terjadi?" tanyanya tak sabar, mendengar hal itu ... Bayu yang disebelahnya menepuk bahunya untuk menenangkannya.

"Tha, tenang. "

"Gue nggak bisa tenang Bang. "

Bayu menghela nafas kasar, dia melihat ke arah Fikri yang terlihat beberapa tahun diatasnya. "Jangan panik, lo nanti kelepasan. " Dia sedikit merendahkan ucapannya, hal itu rupanya bisa membuat Thala mengontrol nafasnya yang memburu.

"Zidane tiba-tiba kejang-kejang. " Fikri membuka suara, sambil menatap ke arah kaca ruangan yang tembus pandang. "Detak jantungnya juga melemah tadi, karena itu tim medis-" Belum sempat Fikri menyelesaikan ucapannya, pemuda itu mundur selangkah yang membuat Bayu reflek menahannya.

"Tha, sadar!"

"Bang ... temen gue, " ujarnya dengan suara parau. Melihat hal itu, Fikri ikut terdiam. Mata pemuda itu terlihat berkaca-kaca, yang seolah mengingatkannya dengan kondisi pemuda itu saat mereka pertama kali bertemu. Dia rasa, pemuda di depannya memiliki trauma sendiri saat berada di Rumah Sakit, bukankah begitu? "Bang ... Zidane, gue nggak mau. "

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang