"Lili," panggil Tama, setelah masuk ke dalam ruangan Lili berbaring. Walaupun masih di UGD, tempat tidur Lili masih memiliki skat dengan pasien lain.
Lili tampak pucat, ia menoleh ke arah Tama. Terdapat senyum kecil di wajahnya, walaupun terlihat dipaksakan.
Tama bersykur Lili dan anaknya baik-baik saja. Ia segera mendekat dan memeluk Lili dengan hati-hati. Karena masih ada infus yang menempel di tangan istrinya.
"Lili kenapa sampai seperti ini. Kalau ada masalsah, cerita sama aku, ya." Tama berbicara dengan nada lembut, agar Lili tidak merasa tertekan.
Tapi Lili tetap saja merasa bersalah, memeluk Tama semakin erat. "Maaf, maafin Lili tidak becus jaga bayi kita," ujar Lili sedikit berkaca-kaca.
"Bukan aku menyalahkan, hanya saja aku ingin Lili lebih banyak cerita. Aku mau kamu dan bayi kita sehat, bukan Lili harus mempriositaskan bayi kita." Tama mengelus kepala Lili dengan lembut.
Akhirnya tangisan Lili pecah, ia menangis di dada bidang Tama tanpa ragu.
"Keluarin semuanya, aku ingin kamu berhenti memendam sendiri. Kita akan terus berjuang berdua," ucap Tama dengan ucapan penenangnya.
Lama-kelamaan Lili juga lega. Baru setelahnya mereka saling nenumpakahkan masalah. Hingga orang tua Lili datang dan mereka berdua selesai curhat.
***
Seperti waktu yang terus berdetak, setiap langkag juga berjalan dengan menggebu. Tidak ada yang bisa menghentikan jam berputar, siang malam berubah sesuai ketentuan.Lili ingin menangis bahagia sekaligus sedih. Hari yang ditunggu telah tiba. Setelah satu bulan lalu dokter kandungan gagal melihat jenis kelamin bayinya, sekarang jantung Lili semakin berdebar.
Usia kandungan Lili yang telah memasuki usia enam bulan terlihat lebih menonjol. Tapi dokter mengatakan kalau perut Lili akan jauh lebih besar saat bertambah usia hingga sembilan bukan kehamilan.
Lili bercemin sambil melamun, tidal sadar kalau Tama sudah ada di belakangnya dan memeluk Lili dengan wajah sumringah.
"Kenapa wajahnya tidak bahagia, si?" tanya Tama, sambil menoel pipi Lili yang ikut mengembung seperti perutnya.
Tapi Tama tidak masalah, ia tetap suka.
"Kalau anak kita laki-laki, bagaimana?" Lili bergumam dengan kalimat yang masih jelas didengar oleh Tama.
Suaminya itu hanya tersenyum kecil, ikut mengelus perut Lili yang tersembunyi di dalam baju.
"Bukannya bagus, kita langsung dapat penerus," canda Tama yang mendapat hadiah cubitan dari Lili.
Karena sepertinya itu sedang serius, khawatir denga nasib Tama jika kutukan itu benar. "Jangan khawatir," ucap Tama pada akhirnya.
"Laki-laki atau perempuan tidak masalah. Lagi pula, rencana Tuhan tidak ada yang tahu, apalagi soal kelahiran dan kematian."
Tama memandang Lili lewat pantulan cermin, tampak Lili juga sedang memandangnya.
"Yang penting aku cuma minta satu hal. Nanti apapun yang terjadi utamakan anak kita ya. Jaga dia, lebih dari apapun, kamu juga jaga diri, ya. Kalian berdua harus saling melindungi," pesan Tama.
Lili yang mendengar itu semakin berpikir buruk, tidak dengan Tama yang terus-menerua memberikan dorongan posifit kepada istrinya.
"Jangan banyak berpikir, nanti siang aku temenin kamu kontrol kandungan." Tama membalik badan Lili, hingga berdua saling berhadapan.
Mata Lili jadi berbinar, dia mengakat wajahnya dengan senyum lebar. "Beneran?"
"Iya, tapi kamu pergi duluan sama sopir, nanti aku nyusul." Tama mengecup kening Lili, dan pamit pergi ke kantor.
Tama ingin buru-buru pergi ke kantor, ingin menyelesaikan pekerjaan lebih dulu, agar bisa menemani Lili kontrol nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Om Tama (END)
Horror"Om Tama, gimana kalo nanti kita nikah?" tanya Lili. Tapi Tama yang mendengar itu malah tertawa kencang sambil melihat jalanan ramai. "Iya tidak mungkin, lah. Masak Om ganteng gini nikah sama ponakan yang jelek kaya kamu." "...." Namun, bagaimana ja...