Biyan dan Clarina buru-buru menghampiri Lili yang sedang duduk di depan ruang operasi. Pandangannya terlihat begitu kosong, sementara di pangkuannya terdapat buket bunga.
Mereka berdua tahu bagaimana hancur perasaan putrinya. Sebab di sini yang terpukul atas kecelakaan Tama bukan hanya Lili.
Clarina memeluk bahu Lili, membuat anak itu langsung menoleh dan meneteskan air matanya. Bunga yang dipegang tetap tergengam erat.
"Kamu tenang saja, ya. Tama pasti baik-baik saja," ucap Clarina mencoba menenangkan.
Dimas juga masih ada di sana, tadi setelah menelepon kedua orang tua Lili. Dimas ikut menemani Lili agar tidak terjadi apa-apa pada istri tuannya itu.
Biyan mendekati Dimas, untuk bertanya keadaan Tama. Sebab Lili tidak mungkin bisa ditanya-tanya sekarang.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Biyan memandang Dimas dengan mata menunjukkan kesedihan.
Kalau bisa, ia juga akan menangis, tapi melihat kondisi sekarang, Biyan harus menjadi yang terkuat.
"Kecelakaan ini terjadi karena mobil truk yang menyalip tiba-tiba. Mungkin Pak Tama juga buru-buru, sehingga kecelakaannya menjadi lebih parah," jelaskan Dimas, merasa sedikit meringis mengingat kondisi Tama waktu dibawa ke rumah sakit cukup mengenaskan.
"Lalu kondisi Tana di dalam?" Dimas yang tidak melihat ada dokter yang bisa ditanyai hanya berharap Dimas mau menjelaskan.
"Tadi dokter mengatakan akan melakukam operasi pada kepala bagian belakang pak Tama yang retak, dan terjadi sedikit pengumpalan darah. Tiga tulang rusuk yang patah, serta kaki kanan retak."
Biyan hampir menangis mendengar betapa parahnya luka-luka yang adiknya terima karena kecelakaan. Dan Biyan tahu itu hanya luka besarnya, belum termasuk dengan luka ringan akibat benturan serta pecahan kaca mobil.
Biyan kembali melihat pada Clara dan Lili. Anaknya itu masih syok, menangis tanpa suara walaupun Clarina sudah berusaha merangkul Lili serta menangkannya dengan berbagai cara.
Apa yang terjadi pada Tama, itu sepertinya memang karena ulah kutukan itu. Ini ayah Tama dulu, sehari setelah tahu jenis kelamin Tama, ayah kecelakaan tepat pada saat purnama hampir habis.
***
12 jam, waktu yang Tama lewati untuk operasi. Semua orang terus menunggu harap-harap cemas. Beruntung operasinya berhasil, tapi tidak ada yang tahu apakah Tama bisa sadar kembali.Setelah dipindahkan ke ruang ICU, para keluarga hanya bisa melihat keadaan Tama dari jarak jauh. Kondisinya sangat buruk, belum bisa dijenguk. Ada banyak selang menempel pada tubuhnya, terlihat ventilator terpasang apik menembus kerongkongan Tama. Luka-lukanya semua sudah dibalut, menjadikan Tama hampir seperti mumi hidup.
Lili yang sempat pulang dua jam buru-buru kembali ke rumah sakit. Penampilannya maaih kacau, hanya saja bajunya telah diganti.
Wajah Lili yang bengkak karena banyak menangis memandang Tama lewat kaca transparan. Lili menyetuh kaca tersebut seolah bisa menyentuh Tama langsung.
"Berapa hari lagi bulan purnama habis?" tanya Lili tiba-tiba.
"Tiga hari," jawab Biyan seadanya.
Lili menjatuhkan air matanya. Tangan yang tadinya menyetuh kaca ikut terjatuh lemah di sisi tubuhnya.
"Jadi hanya tiga hari waktu Tama bertahan?" lirih Lili, badannya mundur sedikit karena merasa tidak rela, jika tiga hari lagi Tama akan pergi untuk selamanya.
Clarina yang ikut menangis melihat putrinya terpukul, langsung mengajak Lili ke dalam pelukannya. "Kamu tidak boleh berkrcil hati, ya. Dokter kan bilang operasinya lancar, itu artinya ...."
"Kita tidak boleh punya harapan semu, Ibu," potong Lili yang sudah berada di puncak putus asa.
Semuanya diam, Lili benar, hanya saja mereka tidak bisa untuk terus khawatir seperti ini. Tidak ada yang tahu bukan, masa depan akan terjadi apa.
Biyan tidak mau hanyut dalam putaran perasaan sendiri. Dia mendekati Lili, yang masih dipeluk oleh Clarina.
"Lili, kamu ke kantin dulu makan. Anak kamu pasti lapar," suruh Biyan, yang mengingat kalau Lili sedang hamil besar.
Untungnya Lili setelah mendengar kata anak, dia langsung tersadar, mengelus bibit Tama yang ada di dalam perutnya.
Pesan Tama terus terngiang dalam otaknya, jadi Lili harus makan sekarang agar anak Tama bisa lahir nanti. Ia tidak mau mengikari janjinya kepada Tama.
"Ibu temenin, ya?" tawar Clarina setelah Lili melepas pelukannya.
Tapi Lili menggeleng. "Biar Lili sendiri, ya, Bu. Lili mau menenangkan diri dulu."
***
Saat pikiran dengan hati kacau, makanan seenak apapun ikut menjadi kacau. Rasanya lili tidak sanggup mengunyah, tapi anak di dalam perutnya pasti kelaparan.Lili juga menahan tangisnnya, agar tidak menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kantin.
Baru beberapa suap nasi yang Lili masukkan ke dalam perut, tapi rasanya Lili sudah muak untuk mengisi lagi. Perutnya ikut merasa kenyang, memikirkan nasib anak dan dirinya nanti.
Disaat Lili melamun seperti itu, seorang pria duduk di hadapan Lili dengan sangat lancang.
Senyum pria itu begitu manis, tangannya melambai di depan wajah Lili sambil berkata, "Hallo."
Lili yang tersadar reflek menyiramnya dengan segalas air.

KAMU SEDANG MEMBACA
Om Tama (END)
Horor"Om Tama, gimana kalo nanti kita nikah?" tanya Lili. Tapi Tama yang mendengar itu malah tertawa kencang sambil melihat jalanan ramai. "Iya tidak mungkin, lah. Masak Om ganteng gini nikah sama ponakan yang jelek kaya kamu." "...." Namun, bagaimana ja...