01. Dijemput

335 7 1
                                    

Lili Anastasya adalah anak tunggal dari pasangan Biyan dan Clarisa. Ia merumur dua puluh lima tahun. Bisa dikatakan kalau usia Lili sudah sangat mantang untuk menikah, ini berdasarkan omongan orang-orang indonesia.

Namun, sayangnya Lili masih menikmati karirnya sebagai seorang sekretaris di perusahaan CEO tampan yang telah membuat Lili bisa naik jabatan dengan cepat.

Ayah Lili sebenarnya punya perusahaan, tapi Lili memilih bekerja di luar, karena ia yakin kalau nanti perusahaan itu tidak akan diwariskan kepada Lili. Lili masih masih punya om yang belum menikah, satu-satunya pewaris paling sah diantara semua keluarga. Namanya Angrapatam, anak bungsu yang berusia tiga puluh lima tahun. Lima belas tahun lebih muda dari ayahnya.

Hari ini Lili akan dijemput oleh omnya itu. Walaupun menyebalkan, Lili tetap sayang.

Saat mobil hitam berhenti di depannya, Lili langsung masuk dan tersenyum lebar.

"Rajin banget, Om," ledeknya, saat melihat wajah Tama yang sepertinya lelah tapi tetap mau menjemput Lili.

Tama hanya menghela napas dan menjalankan mobilnya. Wajah Tama masih setengah lelah.

"Kalo lelah, Lili aja yang bawa mobil. Om bisa tidur," anjurkan Lili dengan maksud baiknya.

Tapi lagi, dan lagi dianggap buruk oleh tama. "Kamu mau bawa saya ke surga lebih cepat?" sarkas Tama.

"Om tidak percaya dengan Lili?" Lili malah memasang wajah cemberut, ia sangat amat tidak suka diremehkan.

Tama yang melihat Lili sudah memasang ekspresi cemberut di sampinganya hanya mendegus sebal.

"Kamu tidak bisa mengemudi Lili, nyentuh stir mobil saja tidak pernah." Tama berkata dengan kepala yang berdenyut sakit, saat menghadapi tingkah keponakan yang ajaib.

Tama yang sering dikatai menyebalkan sekarang jadi berpikir, kalau sebenarnya Lili yang selalu membuatnya kehilangan sabar.

Mereka berdua yang ada di dalam mobil sempat hening sebentar. Tapi Lili yang sejatinya tidak bisa diam alias cerewet kembali bersuara.

"Om jemput Lili terus, emang ayah ke mana?" Lili mengeluarkan suaranya sambil menatap ke luar kaca mobil.

Jujur Lili juga lelah, bekerja zaman sekarang memang harus kuat fisik dan batin. Karena itu Lili sering minta pulang tidak usah dijemput saja, kasiham omnya. Namun, sewajarnya anak tunggal yang dijaga ketat, mereka tetap menjemputnya bergantian.

"Kaya tidak tahu saja betapa sibuknya dia," balas Tama yang sudah terbiasa harus menggatikan peran kakaknya. Mungkin mentang-mentang Tama jomblo jadi tidak ada kegiatan lalu dimanfaatkan.

Lili juga paham betul itu, ayahnya sedang menjadikan adiknya babu gratis.

"Om jemput-jemput Lili gini udah kaya calon suami tahu," ujar Lili dengan raut wajah bercanda.

Tama yang mendengar itu spontan menjawab. "Dasar ngaco kamu."

"Gimana kalo kita menikah nanti?" Lili sepertinya memang sedang kelewat ngaco.

Untungnya sang om mengerti kalau keponakannya ini suka bicara apa saja. Jadi respon pertama Tama mendengar itu adalah tawa yang kencang.

Lili sampai heran sendiri mendengar omnya malah tertawa tidak jelas.

"Kamu, menikah sama, Om? Ya tidak mau lah. Masak Om ganteng gini nikah sama orang jelek," jawab Tama meledek.

Ingin rasanya Lili berkata, 'sialan' karena telah dikatai jelek, tapi Lili takut dosa.

Antara Lili dan omnya, tuaan omnya, jadi bisa-bisa durhaka mengumpat di depan orang tua.

"Ini sudah sampai, Om mau pulang dulu," ujar Tama yang masih berusaha menghentikan tawanya.

Karena Lili yang mendengar omnya akan pulang, Lili langsung bertanya khawatir. "Om yakin mau pulang, bukannya Om masih sedih soal meninggalnya nenek, ya?"

Tama menggeleng, ia mengacak rambut Lili sambil menunjukkan senyum manisnya.

Om Lili itu sangat tampan, Lili mengakui kalau model saja bisa kalah saat melihat ketampannya. Jadi tidah heran kenapa jantung Lili langsung berdetak kencang saat tanpa sadar Tama menunjukan pesonanya.

"Ini sudah seminggu, jadi tidak sedih lagi kok. Nanti kalau ayah kamu pulang langsung bilang ya, dokumen yang ditadatangi ada di rumah, Om."

Lili hanya mengangguk, ia membiarkan omnya pulang setelah Lili ke luar dari mobil dan melambaikan tangannya sebentar.

Tama merespon dengan lambaian tangan juga, lalu langsung pergi tanpa singgah ke rumah kakaknya dulu.

Om Tama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang