Lili akhirnya bisa sedikit tenang melihat baju pengantin yang telah dicari selama bertahun-tahun akhirnya ditemukan. Bahkan, sekarang ini sudah hampir menjadi abu.
"Bagaimana, serahkan surat perjanjiannya sekarang," ucap Reza, memecah lamunan Lili yang sedang mengamati gaun.
Lili sedikit mendongak, menatap Reza dengan helaan napas panjang terdengar dari bibir tipisnya.
"Ada apa? Saya sudah menepati janji, tidak ada salahnya juga kamu melakukan hal yang sama," ujar Reza mengartikan tatapan Lili.
Namun, bukan itu yang ingin bicarakan. "Di masa lalu keluarga Tama memang membuat kesalahan, tapi selain sudah mendapatkan ganjarannya, setiap generasi juga menjadi tumbal dari kesalahan di masa lalu. Apa pak Reza tidak memikirkan kalau memang sudah sepantasnya kutukan itu berakhir?"
Mendengar itu Reza hanya mangut-mangut, ia tersenyum kecil sebelum pada akhirnya padangannya menunduk. "Bukankah kamu sadar, kalau di masa lalu hingga sekarang, keluarga kami selalu terlibat konflik masalah hati?" Reza balik bertanya.
Jujur Lili membenarkan ucapan Reza, antar dua keluarga memiliki konflik yang hampir sama. Bedanya dulu salah satu ditinggalkan, dan sekarang keduanya harus berebut cinta.
Lili menggeleng lemah, mencoba membujuk Reza secara halus. "Bukannya ingin mengatakan Pak Reza kalah, tapi apa Pak Reza tidak sadar, kalau seharusnya Pak Reza harus melepaskan saya. Tama sudah menikahi saya, bahkan buah hati kami sudah mau lahir," ucap Lili dengan hati-hati.
Tapi Reza yang disinggung masalah itu memandang tajam. Ia menyiram api yang sudah besar dengan bensin.
"Lihat, api itu masih tetap bisa menerima bensin walaupun gaun itu adalah sumber bahan bakarnya." Reza menjuk bensin, lalu mendekati Lili yang sedikit agak takut.
"Api milik gaun itu sekarang, menyatu hingga menjadi debu. Tapi saat bensin masuk, api masih bisa berkorban menerima bensin demi menghidupkan api dibaju yang hampir padam."
Mata Lili membulat sempurna, saat Reza menggegam tangannya dengan kasar. "Bukankah kamu mau menjadi api itu?"
Lili berdecih, dia dengan jijik mendorong Reza menjauh.
"Saya sudah berusaha memberi pengertian baik-baik. Bahwa saya tidak bisa meninggalkan Tama, ada anaknya di dalam kandungan saya. Saya rasa cinta Bapak sudah masuk ke dalam obsesi. Melakukan apapun untuk memiliki saya."
Reza menyeringai, mendekati Lili lagi, lalu berbisik tepat di telinganya. "Kamu benar."
"Kurang ajar, beraninya Bapak!"
Lili menampar wajah Reza, membuatnya mundur kebelakang. Kesempatan itu Lili ambil untuk membakar surat perjanjian hingga ludes menjadi abu.
Reza jelas marah, ia sudah cukup sabar menghadapi Lili selama ini. Semakin dibiarkan, semakin Lili suka berbuat sesuka hati.
"Lihat bayaran apa yang akan suamimu dapatkan setelah ini!" Reza menunjuk wajah Lili dengan jari tangan bergetar. Urat-urat lehernya tampak menonjol karena amarah.
"Apa maksud, Bapak?" Lili menatap Reza binggung, walaupun dengan keberanian yang telah pudar sedikit demi sedikit.
Melihat ketidak tahuan Lili, Reza kembali mendekati Lili, tapi kali ini wanita itu lebih waspada. Dia mundur beberapa langkah.
Selain dirinya, masih ada anak di dalam perutnya yang harus dijaga.
"Hentikan Reza!" Ayah Lili tiba-tiba muncul, menengahi antara Lili dengan Reza. "Jangan pernah ganggu putri saya lagi!"
"Tapi kecantikan putri Bapak yang menganggu saya," balas Reza dengan berani di depan ayah Lili.
"Benar-benar tidak waras," hina Biyan, dengan segera menarik tangan Lili untuk pergi dari sana.
Namun, langkahnya malah dihalangi oleh beberapa orang berbaju hitam. Mereka semua berjumlah banyak, hingga Biyan mulai mundur lagi menatap Reza.
"Saya hanya ingin kalian menunggu pertunjukan," ucap Reza menghidupkan televisi yang terpasang apik di ruangan itu.
Terlihat ditayangan itu, terdapat nuansa ruangan rumah sakit. Rekaman itu terus berjalan menunjukkan kalau ini adalah siaran langsung.
"Lakukan!" perintah Reza lewat telepon yang terhubung dengan sang pemegang kamera.
Lili dan Biyan semakin binggung, sedikit demi sedikit mereka mengenali ruangan itu. Tempat di mana Tama dirawat.
Kedua orang itu saling pandang, sebelum rasa ketakutan memenuhi sarap otak keduanya.
"Apa yang kamu lakukan?" Dengan nada lemah Lili bertanya, pikiran buruknya mulai melayang ke mana-mana.
Tapi Reza senang, ia melemparkan surat cerai antara Lili dan Tama, yang ternyata sudah disiapkan, tentunya perlu membayar banyak untuk mendapatkan itu.
"Suruhanku sudah mulai menjalankan tugas, sebentar lagi dia sampai di tempat Tama berbaring, dan setelahnya kamu sudah tahu apa yang akan terjadi." Reza tersenyum sinis, menatap Lili yang sedang kebingungan sekarang.
Sayangnya dalam permainan lingkaran kutukan ini, selalu keluarga Reza yang menang.
Kalian pikir kutukan itu benar-benar ada? Sayangnya tidak ada hantu yang bisa menyentuh manusia, apalagi sampai membunuh. Dwi hanya getayangan, layaknya setan yang butuh ketenangan, dia bertahun-tahun mengikuti keluarga Tama, mencari tahu caranya agar terbebas dari dunia.
Hanya gaun yang hangus bisa membebaskan mereka. Setelah gaun hangus arwah Dwi bisa tenang. Namun, kutukan bukannya musnah, maka akan terlihat dibalik kutukan ada dendam manusia yang turun-temurun selalu ada.
Apa yang kalian pikirkan setelah ini, kesimpulan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Om Tama (END)
Horror"Om Tama, gimana kalo nanti kita nikah?" tanya Lili. Tapi Tama yang mendengar itu malah tertawa kencang sambil melihat jalanan ramai. "Iya tidak mungkin, lah. Masak Om ganteng gini nikah sama ponakan yang jelek kaya kamu." "...." Namun, bagaimana ja...