16. Anak Laki-Laki

151 7 1
                                        

Sutarman kembali memandamg jauh, ia melihat harapan di empat mata orang-orang yang cukup lama menjadi majikannya.

Tidak tega sebenarnya menghacurkan harapan mereka, tapi karena ini memang masalah utamanya, Sutarman kembali bercerita.

"Kakak Dwi lari dari desa, meninggalkan segala harta benda yang dia punya. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Nita juga sama, setelah suaminya meninggal di saat bayi sebentar lagi akan lahir, dia melarikan diri dari desa ke desa. Waktu itu saya dan beberapa pekerja setia selalu menemani." Sutarman berkata dengan sedikit kelu.

Ia bisa merasakan seberat apa perjuangan Nita, padahal awal masalah ini karena suaminya yang egois serta tidak jujur.

"Saat kedua mertua Nita meninggal dunia, Nita membawa lari ke kota amaknya yang sudah remaja. Mengetahui kutukan itu juga selalu mengejar, Nita hanya bisa berusaha mencegah. Menjual segala harta benda di desa, serta membagikan sebagain tanah kepada warga. Hal itu membuat Nita selalu didukung-dukung oleh orang-orang desa ini, walaupun sayangnya keturunan mereka tidak pernah selamat hingga tua."

Semua terdiam, merasa rumit lagi dalam sekejab. Sangat sulit menyelesaikan kutukan ini jika keturunan keluarga Dwi belum ditemukan. Apalagi jika gaunnya masih terus diwariskan untuk menyimpan kutukan.

"Ayah Tama juga sempat berusaha selama beberapa bulan. Dan petunjuknya benar-benar tidak pernah jelas." Sutarman terlihat ikut frustasi.

Sementara Tama sebagai orang yang paling disoroti dalam hal ini juga sulit berkata-kata. Siapa yang tidak takut jika nyawanya dikatakan akan hilang dalam waktu dekat. Tidak pernah ada dalam mimpinya sekalipun.

Tapi demi memberikan ketenangan untuk orang-orang, Tama mulai mengeluarkan pendapatkanya.

"Tidak ada yang tahu anak itu akan lahir sebagai perempuan dan laki-laki, jadi selama hasilnya belum keluar, kita bisa tenang lebih dulu." Tama berucap di tengah keheningan yang panjang.

Biyan juga tidak membantah, tapi hatinya tetap merasa tidak senang. "Kita tidak bisa menunggu dan hanya menebak, harus ada usaha juga jika kalau-kalau anak kamu laki-laki," ucap Biyan sambil memijit batang hidungnya.

Clarina sebagai perempuan hanya bisa terus menenangkan putrinya, mengusap bahu mulus Lili agar sedikit tenang.

"Besok kita akan meneruskan pencarian ayah, jadi kamu juga harus selalu siap," ujar Biyan lagi, yang kali ini dibalas anggukan oleh Tama.

Tidak mungkin juga untuk menentang sang kakak, orang yang paling banyak berjasa dalam hidupnya.

"Tapi resepsinya?" tanya Clarina ingin  memastikan rencana Tama yang sudah disiapkan cukup lama.

Biyan yang mendengar itu berpikir sebentar sebelum mengambil keputusan.

"Hanya resepsi yang jalan, kalau soal bulan madu, sebaiknya ditunda dulu." Keputusan mutlak Biyan menyebabkan mereka semua langsung paham, tidak ada lagi pertanyaan, hanya keputusan yang pasti sekarang mereka jalankan.


***
Seperti yang sudah diputuskan, Tama tetap akan melaksakan resepsi apapun yang terjadi. Hari ini Tama mengecek lokasinya, mencari tahu sudah sampai mana ruangannya sudah dihias.

Tama cukup senang mendapati dekorasi sesuai harapan, ia mendekati panggung dengan wajah berseri-seri.

Membayangkan kalau nanti Tama dan Lili berdiri di atas panggung, menggenakan pakaian indah dengan anaknya sudah ada di dalam perut Lili, seketika wajah Tama semakin penuh kesenangan.

"Semua sudah sesuai arahan, Pak?" jawab ketua tukang dekorasi, yang membuat Tama tersadar dari lamunannya.

Ia langsung mengangguk, dan orang itu pamit undur diri.

Tama yang merasa puas ingin pulang sekarang, besok acarnya akan berlangsung, jadi Tama harus pulang istirahat.

Belum ada selangkah Tama pergi, lampu di aula itu tiba-tiba, membuat Tama tersentak kaget dan segera memandang ke sekitar.

"Apa yang terjadi?" Tama balik badan menuju panggung, melihat lampu cahaya dari bawah panggung menyorot pada seorang wanita.

"Kamu lagi," ucap Tama melihat senyuman seorang wanita yang bernama Dwi itu. Dia menggenakan baju pegantinnya dengan hiasan tipis.

"Kenapa? Bukannya kita akan segera menikah?" tany Dwi yang untuk pertama kalinya mengeluarkan suara saat menampakan diri.

Tama hanya berdecih, entah dari mana keberaniannya timbul.

"Apa kamu berpikir anak itu perempuan, kamu berharap bahwa seorang penerus keluargamu akan lahir anak perempuan." Wanita itu tertawa, hingga suaranya menggema dan membuat teliga sakit.

Tapi, Tama sama sekali tidak akan menanggapi setan.

"Anak kalian laki-laki, dan itu juga salah satu kutukannya. Tidak akan pernah ada keturuan kalian yang berumur panjang, karena anal yang lahir sudah pasti akan laki-laki."

Om Tama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang