20. Hanya Perjodohan

51 2 0
                                    

Reza yang mendapat siraman air tentu syok, ia mengusap wajahnya yang basah dengan kasar. Tatapan Reza langsung pada Lili, dengan ekspresi tanya yang ketara.

"Pak Raza bisa berhenti ganggu saya, tidak?" tanya Lili dengan menggebu-gebu.

Lili menaruh bukti rekaman di atas meja. Itu adalah tangakapan CCTV saat Reza menyelinap masuk ke dalam rumah, lalu menaruh bunga mawar di teras rumah.

Waktu melakukan itu Reza sama sekali tidak menutupi wajahnya. Seolah sengaja agar Lili tahu perbuatannya.

Tapi Reza bukannya merasa takut ketahuan, tapi ia malah tersenyum kecil. "Akhirnya kamu lihat usaha saya."

Lili berdecih, entah kanapa Tuhan mempertemukan Lili dengan manusia seaneh Reza.

"Sekarang Bapak berhenti lakuin ini, atau Bapak saya laporin ke polisi!" ancam Lili dengan tegas.

"Tapi Lili, saya cuma mau nyelamatin kamu dari perjodohan keluarga kamu. Saya tahu kamu dipaksa kan menikah dengan Tama? Kamu tidak suka tapi harus menerima pernikahan ini, kan?" Reza berusaha meraih tangan Lili, tapi langsung ditepis oleh sang empu.

"Jangan bercanda, ya, Pak. Saya dan Tama saling mencitai. Dan saat ini saya hamil anak Tama!"

Reza membalalakkan matanya, ia memandang perut Lili yang memang sudah terlihat sedikit buncit. Namun, Reza tetap menyangkal, dan menggeleng tidak percaya.

"Bapak kayaknya sakit, dan harus psikiater." Lili mengambil ponselnya yang ada di atas meja dengan perasaan jengkel. "Kalau sekali lagi Bapak berusaha dekatin saya, polisi yang akan bertindak!"

Lili pergi dari sana dengan keadaan marah. Ia meninggalkan Reza yang tampak mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Kamu mau lepas? Tidak mudah?" guman Reza yang ikut menyusul kepergian Lili.

Beruntung Reza telah menyewa satu restoran, jadi tidak ada yang tahu bagaimana memalukannya Reza dihina oleh gadis yang sangat Reza cintai.

***
"Aku benar-benar tidak tahu harus mencari ke mana lagi?" ucap Tama di ruangan kakaknya, mereka sedang membahas tentang gaun pengatin yang harus mereka musnahkan sebelum jenis kelamin bayi yang dikandung Lili terkuak.

Biyan ikut memijit pelipisnya yang terasa pening. Benar-benar tidak ada titik terang dari keturuan keluarga Dwi yang masih hidup sampai sekarang.

Belum lagi, ternyata pencarian ayahnya sama saja. Tidak ada yang bisa dilanjutkan, karena ayahnya juga tidak menemukan apapun.

"Hah, apa kita harus mencari satu-persatu orang yang pindah dari desa?" usul Tama.

"Tidak mungkin, waktunya tidak akan cukup," tolak Biyan.

Mereka kembali mengetuk kepala untuk berpikir, sampai keheningan itu membuang suara ponsel Tama terdengar berdering sangat jelas

Tama melihat kalau itu adalah Dimas, sopir pribadi Lili.

"Hallo, ada apa?" tanya Tama setelah mengakat telepon dengan santai.

"Hallo, Pak. Bu Lili tadi pingsan, dan sekarang ada di rumah sakit."

Tama sedikit membalalakkan matanya saat mendengar kabar buruk dari Dimas.

Dengan segera Tama meminta Dimas mengirimi alamat rumah sakit, karena Tama akan menyusul pergi ke sana sekarang.

"Kamu duluan saja, Kak Biyan akan menjempur Kak Clarina dulu."

Tama mengangguk, ia meninggalkan ruangan Biyan dengan sangat buru-buru.


***
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Tama kepada Dimas, setelah sampai di rumah sakit.

Lili belum selesai diperiksa, masih ada di ruang UGD. Sementara Dimas dan Tama menunggu di depan ruangan UGD.

"Tadi pagi Bu Lili menemui Reza. Ia ingin menyelesaikan masalah bunga yang setiap hari Reza kirim ke rumah. Tapi sepulang dari sana, Bu Lili malah pingsan di ruang tengah, para pelayan yang menemukannya."

Mendengar penjelasan Dimas, Tama hanya terdiam memandang pintu UGD yang tidak kunjung terbuka.

Tama bukannya tidal tahu masalah ini, hanya saja Tama baru saja ingin menyelesaikan hari ini dengan melapor ke kantor polisi agar cepat selesai. Namun, Lili sudah mengambil tindakan duluan.

Alasan Tama pura-pura tidak tahu dan menyembunyikan pelaku agar Lili tidak terlalu stres saat tahu kalau Reza pelakunya.

Sekarang kalau Lili sudah memberi pelajaran lebih dulu Tama bisa apa.

Reza memandang lagi pintu UGD, terlihat seorang bidan ke luar dengan raut wajah binggung, karena tidak tahu yang mana anggota keluarga.

"Bapak Tama?" ragu bidan, memandang Tama yang tampak khawatir.

Tama langsung menyatuh dan mendekat kepada bidan.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, pasien baik-baik saja. Tapi bapak perlu ikut adil untuk menjaga pola pikir pasien, ya. Ibu hamil memang rentan stres, menyebabkan lemah fisik. Jika sering terjadi itu akan sangat mempengaruhi ibu dan anak."

Tama memgangguk, mendengarkan nasehat bidan dengan cermat.

"Setelah infus habis pasien boleh pulang, saya akan meresepkan beberapa pitamin."

"Baik, Bu Bidan, terima kasih banyak," ucap Tama sedikit menundukan kepala sebentar untuk rasa terima kasih.

Bidan pun hanya mengangguk dan membiarkan Tama menemani Lili di dalam UGD.

Om Tama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang