03. Kutukan

158 7 1
                                    

"Tama!" teriak Biyan yang berusaha menyadarkan adiknya itu.

Tama yang sempat terpaku seketika sadar. Ia memandang kakaknya yang terlihat cemas sekaligus panik.

Pandangan Tama kembali lurus ke depan, melihat hal yang luar biasa sekaligus aneh. Dalam hidup Tama, ini adalah pengalaman pertamanya.

"Kita harus pergi," ujar Biyan yang tidak mau lama-lama berada di rumah ini.

"Tapi barang aku, Kak?" Tama ingin mengambil beberapa dokumen dulu jika harus menginap, tapi Biyan langsung menahannya.

"Ini bukan waktu yang tepat memikirkan perusahaan." Biyan bantu adiknya itu berdiri. Jangankan ingat dokumen, pintu saja tidak Biyan tutup.

Sekarang yang terpenting adalah membawa Tama ke tempat yang aman. Sekuat tenaga Biyan memapah Tama, membawanya masuk dari dalam mobil dan pergi dari sana.

Selama semalam, mahluk itu tidak akan menemukan Tama. Jika bertemu, Tama pasti telah menemukan cara agar tidak dicari lagi.

***

Tok ... tok ... tok ....

Biyan menggendor pintu rumah dengan keras, membuat orang-orang yang berada di dalam langsung panik dan segera membuka pintu.

Pasca kejadian di rumah, Tama masih belum bisa menopang tubuhnya sendiri dan merasa lemas. Sementata itu Clarina, istri Biyan yang membuka pintu seketika merasa cemas.

"Tama kenapa, Mas?" Clarina merasa khawatir melihat kondisi Tama. Menikah dalam keluarga yang saling meyayangi, Clarina sudah mengagap Tama sebagai adik sendiri.

Sekarang melihat wajah lemas Tama, jelas Clarina merasa amat takut.

"Kita harus bawa Tama ke ruang tengah dulu." Biyan akhirnya meminta bantuan istrinya untuk memapah tubuh Tama yang cukup berat.

Mereka mendudukan Tama di ruang tengah lalu mengambilkan air dingin. Setelah beberapa saat kondisi Tama sedikit lebih tenang dan sadar.

Beda halnya dengan Biyan yang seperti banyak pikirannya. Gerak-geriknya selalu cemas sambil memainkan jari-jari tangannya.

"Sebenarnya ini ada apas, si, Mas?" tanya Clarina yang sendari awal sudah penasaran.

Tapi Biyan hanya menghela napas panjang, memandang Tama dengan wajah sendu.

"Gadis pengantin itu kembali, dan kali ini dia ingin mengambil Tama." Biyan terlihat sangat frustasi, tidak tahu harus melakukan apa.

Berbeda dengan Clarina yang langsung ikut merasa tertekan, Tama malah sepertinya tidak tahu apa-apa.

"Bagaimana bisa? Apa karena Ibu sudah meninggal, makannya tidak ada yang melindungi Tama lagi?" Clarina bertanya dengan perasaan tidak tahu harus apa sekarang.

Apalagi jika pengatin wanita itu sudah muncul, maka waktunya tidak akan banyak lagi.

"Mas juga berpikir seperti itu." Biyan memijit pelan pangkal hidungnya.

"Tu-tunggu, sebenarnya ini ada apa?"

Biyan dan Clarina yang lupa kalau Tama belum diceritakan tentang kutakan keluarga ini, jadi mereka membahas tanpa mengingat kalau Tama harus dijelaskan lebih dulu.

Biyan yang tahu lebih banyak akhirnya menceritakan. "Keluarga kita memiliki kutukan, siapapun penerus keluarga ini harus memiliki pendamping perempuan yang lahir di bulan purnama. Selama ini kamu aman, karena ibu lahir di bulan purnama."

"Apa?" kaget Tama.

"Iya, sekarang ibu sudah meninggal, kamu tidak punya lagi pelindung." Biyan seketika merasa semakin bersalah sekarang.

Seharusnya Biyan sudah menceritakan ini sejak lama, tapi Biyan malah lupa. Kalau sudah mendesak seperti sekarang mau bagaimana cari pedamping.

"Tapi bagaimana sekarang caranya bebas dari gadis pengantin itu?" Tama akhirnya bertanya karena sedikit cemas.

Nyawanya sedang mencari taruhan.

"Kamu harus menikah dengan wanita yang lahir di bulan purnama. Waktu kamu hanya sampai besok, atau gadis itu akan menemukan kamu dan membuat kamu celaka. Setelah tidak berdaya dia akan menunggu sinar bulan purnama habis, yaitu lima belas hari dan kamu akan dibawa ke alamnya untuk diajak menikah."

Tama merasa angkat tangan sekarang. Siapa gadis yang bisa dinikahi besok, ini bukan perkara mencari hewan peliharaan, tapi jodoh untuk masa depan.

"Sebenarnya Lili lahir tepat di bulan purnama."

Om Tama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang