26. Kebenaran

159 1 1
                                    

Lili mengambil surat cerai yang diberikan oleh Reza dengan menunduk. Ia ragu-ragu, tapi Reza tetap menunggunya dengan sabar, karena jika terlambat, bukan dirinya juga yang rugi.

Sementara Biyan tidak bisa berbuat banyak, selain melihat putrinya tertekan atas pilihan yang harus dipilih. Semuanya begitu hening, sampai orang-orang yang ada banyak di dalam ruangan itu hanya diam tanpa bersuara.

"Kutukan itu, ini semua rencana Bapak, kan?" tanya Lili, sedikit mengakat kepalanya untuk memandang Reza.

"Apa sudah ketahuan?" Reza pura-pura kaget. "Tapi setelah kejadian hari ini, bagaiama mungkin kalian masih tidak sadar?"

"Sialan," ucap Biyan yang seakan mendapatkan sesuatu, otaknya tiba-tiba konek dengan beberapa kejadian yang sudah berlalu.

Reza hanya bisa tertawa, menyadari betapa bodohnya orang-orang ini. Selama puluhan tahun mereka tertipu dengan permainan keluarganya.

"Bagaimana? Tidak ada yang lebih menyeramkan dari manusia bukan?" Kekehan Reza yang sedang mengejek, membuat Biyan mengepalkan tangannya erat.

"Kutukan ini diucapkan oleh manusia, dendamnya berasal dari hati manusia juga, jadi mana mungkin pelaksanaan balasannya dilakukan oleh roh yang jelas-jelas tidak punya raga lagi? Mereka hanya angin, tapi keluarga kalian dengan serius mempercayainya."

Baik Biyan maupun Lili memandang Reza dengan amarah. Mereka terlalu rapi berbuat, hingga kutukan itu seperti nyata.

Padahal keluarga Reza juga selalu ada didekatnya, tapi kenapa mereka semua tidak pernah sadar. Atau bisa juga dibilang karena mereka terlalu fokus kepada kutukan, sementara kemungkinan lainnya langsung sirna begitu saja.

Lili yang tadinya menunduk mengambil surat cerai beserta penanya berdiri tegak lagi. Tatapan matanya yang tajam tepat menghunus Reza.

"Mari kita akhiri, kutukan atau dendam kalian kepada keluarga Tama," ucap Lili penuh penekanan.

"Dengan senang hati, jika kamu mau hidup bersama saya." Reza tersenyum lebar, mengulurkan tangannya kepada Lili.

Tapi bukannya membalas, Lili malah menendang tong sampah yang digunakan membakar baju tadi ke arah Reza.

"Bermimpilah sampai langit runtuh!" teriak Lili, memandang wajah Reza benci.

Melihat para pengawal menyelamatkan Reza, Lili langsung bergegas lari dengan ayahnya menuju jalan raya.

Di dekat sana, mobil Biyan terpakir, jadi mereka bisa langsung masuk dan kabur sejauh yang mereka bisa. Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya menjebloskan Reza ke penjara hingga membusuk di sana.

Kalau ditanya soal Tama, kemarin malam Biyan sudah diam-diam memindahkan perawatannya ke rumah sakit yang ada di Singapura. Selain untuk jaga-jaga jika Reza melakukan hal seperti ini, mereka juga kebetulan kenal salah satu dokter hebat di Singapura.


***
Lima bulan berbalu, siapa sangka sekarang Lili telah melahirkan bayi laki-laki. Ia sangat tampan, mirip ayahnya yang masih betah berbaring di ranjang pesakitan.

Tama masih belum sadar, dokter sempat menyatakan koma, tapi satu bulan lalu, peningkatan Tama sangat luar biasa.

Ditemani anaknya yang baru berumur satu bulan, Lili terus merawat Tama dengan sabar. Banyak doa ia ucapkan, Lili berharap masih ada sisa kehidupan dirinya bersama Tama.

"Akhirnya kita berhasil jebloskan Reza ke penjara." Biyan tiba-tiba membuka pintu. Baru saja kembali dari Indonesia, langsung pergi ke rumah sakit.

Melihat anak, istri, dan cucunya langsung menoleh kepada dirinya, Biyan tersenyum lebar.

"Semuanya sudah selesai, Reza penjara seumur hidup. Walaupun ayahnya sudah meninggal dan tidak mendapatkan tuntutan, setidaknya Reza akan mendapat ganjaran keras."

Lili mengangguk, memandang Tama yang menutup matanya rapat-rapat, dengan mesin penunjang kehidupan yang masih menempel di tubuhnya.

Dengan langkah lebar Biyan menuju samping brangkar Tama, mengelus kepala adiknya dengan lembut.

"Cepat sadar, ya. Kita menunggu," bisik Biyan di dekat wajah adiknya.

Biyan tidak lupa juga mengecup kening putrinya. "Kamu hebat, jangankan arwah, manusia seperti Reza saja kamu bisa hadapi."

Lili hanya tersenyum. Karena ini berkat buket bunga terakhir Tama, serta anak mereka yang kini sudah lahir dengan keadaan sehat serta sempurna.

Gara-gara hantu Dwi mereka sempat stres, apalagi ketenangan hidup mereka seperti terganggu. Mimpi buruk sering menghampiri Tama, hingga pria itu selalu kelelahan. Semua dihadapi penuh pilu di awal pernikahan yang tergolong sangat muda. Tapi setelah selesai, Lili akan menjalani hidup lebih bahagia dengan Tama.

Bersamaan dengan pikiran Lili yang melayang, memandang sang anak yang tertidur lelap dalam gendongannya.  Tama perlahan membuka matanya, tangannya bergerak dengan lemah.

"Tama," pekik Clari yang sampai membangunkan bayi Lili, sementara dua orang dari mereka sempat syok, terpaku, dan tidak bisa berkata apa-apa.

Biyan yang punya kesadaran penuh baru mengingat harus panggil dokter.

"Tama," lirih Lili seakan tidak percaya, bayinya langsung diambil alih oleh sang ibu, membuat Lili leluasa untuk memeluk dan menangis di hadapan Tama.

Penantiannya tidak sia-sia, Tama telah kembali. Keluarganya akan lengkap lagi mulai sekarang.

"Kamu kembali," ujar Lili menangis haru dipelukan Tama, air matanya yang menetes otomatis menganai baju Tama.

Tapi Tama juga tidak hanya diam, dia menggerakan tangannya yang lemas untuk mengelus Lili.

"Itu anak kita?" tanya Tama tidak jelas, karena masih terhalang masker oksigen.

Lili mengangguk cepat, membuat Tama tersenyum kecil. "Kamu hebat," ucap Tama sembari mengelus punggung Lili.

TAMAT

Terima kasih untuk yang sudah baca. Jujur aku nahan banget buat nggak bikin sad, tapi semoga kalian juga puas dengan endingnya. Sampai jumpa lagi di cerita selanjutnya, bay2🙃

Om Tama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang