07. Reza

152 6 1
                                    

Lili sedang menunggu Tama menjemputnya, ia berdiri di depan kantor sambil memperhatikan mobil ke luar dari kantor.

Perusahaan Lili tidaklah besar, berdiri di bidang properti dan desain bangunan. Pemiliknya saja barusia tiga puluh tahun, CEO muda yang merintis dari nol.

Di saat Lili melamun, ia melihat siluet orang mendekat ke arahnya. Lili menoleh, yang ternyata itu adalah pak Reza.

Bosnya ini memiliki paras yang tampan, dengan kumis tipis dan senyum manis. Kalau soal kesempurnaan, tidak akan ada yang pernah menolak untuk menjadi istrinya, tapi sayang saja Reza ini masih jomblo sampai sekarang.

Lili tersenyum tipis, karena baru sekali melihat Reza seharian ini.

"Nunggu, Om. Kamu, ya?" tanya Reza basa-basi.

Lili hanya mengangguk. "Iya, nih, Pak. Pak Reza belum pulang juga?" tanya balik Lili sebagai formalitas saja.

Aneh teman-teman Lili mengatakan kalau Reza ini suka Lili. Tapi setiap bertemu Lili tidak pernah merasakan ada hal spesial yang Reza lakukan untuk dirinya.

Seperti sekarang, setelah pertanyaan singkat itu, mereka berdua tampak canggung setelahnya.

Sampai pada akhirnya mobil Tama sudah tiba, Lili langsung berpamitan kepada Reza.

Namun, belum sempat Lili membuka pintu mobil, Reza langsung menahan tangan kanannya. Mereka tidak sengaja saling bersentuhan tepat di depan Tama.

"Hari senin, ingat, ya," ucap Reza dengan gugup, ia segera melepaskan tangan Lili dan tersenyum canggung.

Lili hanya mengangguk, lalu langsung masuk ke dalam mobil.

"Aneh," gumam Lili setelah Tama melajukam mobilnya menuju jalan raya.

Sontak Tama yang mensdengar Lili mendumel, menoleh dengan sebelah alis terangkat.

"Kayaknya atasan kamu masih muda, ganteng, lagi," ujar Tama tanpa monoleh ke samping.

"Tapi aneh tahu. Masa umur segitu nggak punya cewek, tingkahnya juga rada kaku sama aku. Kaya orang nggak nyaman." Lili menggerutu karena sudah lama memperhatikan gerak-gerik bosnya itu.

Sejak dulu Lili juga tahu kalau Reza ini agak-agak orangnya. Kadang dia lebih nyaman saat bersama rekan laki-laki. Kalau dengannya Reza malah malu-malu, dan suka gugup sendiri.

"Jangan-jangan dia GAY, lagi," pekik Lili saat menyadari sesuatu, matanya membulat sempurna, yang membuat Tama reflek menyetil jidatnya.

"Enggak pernah pacaran bukan berarti GAY, Lili." Tama klarifikasi agar pikiran istrinya itu tidak liar.

Lili yang merasa tersakiti langsung melotot tajam.

"Om ngomong gitu karena takut dibilang, Gay, kan? Atau jangan-jangan Om emang Gay?" tanya Lili bertubi-tubi.

Untungnya mobil Tama memang sudah berhenti di lampu merah. Kalau saja mereka masih jalan, Tama sudah injak rem dadakan saking kagetnya dengan pernyataan Lili.

Tama menoleh ke samping, suap siap menjetikkan jarinya untuk Lili karena kesal, tapi Lili replek meminta ampun.

"Ampun, ampun, Lili tahu Om normal. Buktinya Lili punya foto om nyewa cewek buat ohoho." Ucap Lili tersenyum jahil di akhir kalimat, menjadikan Tama makin frustasi dan mengusap wajahnya kasar.

"Itu rahasia kita, Om udah kirim tas keluaran terbaru yang harganya nggak murah buat kamu, ya."

Lili hanya cengengesan sambil melihat jalan.

Kejadian itu sudah dua tahun, Lili sudah menyadari perasaannya kepada Tama. Tapi walaupun sangat sakit hati, Lili bisa dengan mudah membalasnya dengan minta tas mahal.

***
Makan malam kali ini berjalan sangat lancar. Baik Lili maupun Tama tidak perlu masak lagi. Karena pelayan sudah kembali semua.

Hanya sopir ibu Tama saja yang tidak kembali, digantikan oleh anaknya Dimas. Maka setelah makan Tama memanggil Dimas ke ruang kerjanya.

Dimas ini masih muda, sekitar dua puluhan. Keluarga Dimas ini sangat setia, sudah dari generasinya yang dulu bekerja pada keluarga Tama. Di mana sejak keluarga leluhur Tama tinggal di desa.

Anggapan warga desa adalah keluarga Tama pelindung mereka. Kekayaan keluarga Tama selalu melimpah hingga membuat keluarganya tidak pernah berhenti membantu warga lain.

Mulai dari kakek Tama, mereka meninggalkan desan dan mulai bisnis di kota. Hingga sekarang berkat bisnis Tama, keluarganya masih berlimpah harta dan mampu mempertahankan kekayaan yang memang dikenal sebagai orang kaya di zaman dulu.

Tapi yang Tama tidak paham, kenapa orang-orang yang pernah bekerja dari keluarganya masih di desa terus bertahan hingga generasinya sekarang.

"Dimas," panggil Tama yang dengan nada biasa, sama sekali tidak sombong ataupun menakutkan.

"Iya, Tuan."

"Kamu masih punya kesempatan dibidang lain. Kalau kamu dipaksa untuk bekerja oleh ayah kamu, kamu bisa menentang. Ada masa depan yang mungkin ingin kamu tentukan sendiri," nasehat Tama yang tidak ingin memaksa pihak manapun.

Tama hanya takut jika para pekerjanya tertekan nanti. Atau punya cita-cita lain malah ditekan karena balas budi.

Tapi sayangnya Dima menjawab dengan tulus. "Saya mau karena memang sangat bersedia, jadi izinkan saya bekerja di keluarga ini menggatikan ayah telah tua."

Tama mengangguk saja. "Kalau itu memang keinginan kamu, mari kita bicarakan soal tugas kamu."


.
.
.

Tadinya mau ngelawati cast Reza, tapi merasa kasihan aja kalau orang ganteng dilewatin wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tadinya mau ngelawati cast Reza, tapi merasa kasihan aja kalau orang ganteng dilewatin wkwk. Udah ganteng, CEO perintis lagi🤣👌

Om Tama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang