My 911

999 78 16
                                    

Seorang laki-laki memandang lekat wajah wanita yang terbaring di sebuah kamar rumah sakit. Kantong berisi darah di alirkan ke dalam tubuhnya. Bibir milik wanita bernama Diandra itu pucat memutih. Di sekitar matanya menghitam. Ia kehilangan banyak darah hari itu.

Butuh sehari semalam, Diandra mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Ia langsung sadar, namun masih lemah. Tentu saja Nathan setia ada di sampingnya. Hanya tiga hari Diandra berada di rumah sakit, dia terus meminta untuk pulang.

Dan dirumah rasa perih itu makin menjadi, pergelangan tangannya terasa begitu nyeri. Betul saja karena beberapa jahitan harus ia terima. Nathan berjaga dan tidur di sofa, karena Diandra terus bermimpi buruk. Terkadang di tengah malam yang larut, Diandra menangis setelah terbangun dari tidur lelapnya. Peristiwa-peristiwa sedih dalam hidupnya seperti berjajar untuk di putar bergantian di pikirannya. Dan kenyataan bahwa ia sudah kehilangan Thom yang paling pahit untuk ia terima.

Dalam teriakan mimpi buruknya, Nathan datang mendekap. Menenangkan dalam setiap tangisan wanita itu, wanita yang bahkan menangisi laki-laki lain. Tapi Nathan tak peduli, yang ia lihat hanya Diandra sedang bersedih. Ia melakukan upaya apapun agar Diandra bisa pulih kembali.

Pada satu malam dini hari menuju pagi, Diandra terbangun dan rasa sedih dan sesak membuatnya menangis menderu. Entah sudah keberapa kalinya malam itu Nathan kembali ke kamar Diandra, ia berlari saat mendengar tangisan itu. Nathan menarik kepala Diandra ke dalam pelukannya. Membelainya pelan.

"Please don't cry, Di. Kamu pengen apa? Aku harus apa? "
Tanya Nathan saat mendekap Diandra.

"I want to be happy"
Jawab Diandra lirih.

Kehilangan adalah hal terberat bagi Diandra. Ia bisa mengurus Lino seorang diri sampai kuliah. Namun, rasa kehilangan membawanya kembali ke masa-masa berduka saat kedua orang tuanya tiada. Ia tidak pernah siap pada setiap perpisahan.

"Okay, liat saya"
Nathan menggenggam erat tangan Diandra, menatapnya tajam dengan matanya yang indah.

Dengan kedua matanya yang berkaca-kaca Diandra menatap Nathan yang bersimpuh di hadapannya.

"I am here. And as long as I am by your side, I will make sure you are happy"
Nathan meyakinkan dan menghapus air mata di pipi Diandra.

Diandra lalu memeluk Nathan erat, lalu terlelap dalam dekapan Nathan yang hangat. Mereka larut dalam rasa nyaman hingga pagi menjelang. Dan saling berpelukan berbagi selimut beludru berwarna marun.

***


Hari berganti hari, Diandra mulai pulih. Ia sudah bisa menjalani hidupnya seperti sebelumnya. Walaupun belum sempurna. Bayang-bayang luka masih mengganggunya.

Hari itu ia mengumpulkan niat untuk membuang semua kenangan Thom. Ia tidak mau melihat barang apapun yang mengingatkannya pada lelaki yang telah menyakitinya itu. Api yang di buat Diandra melahap semua kenangan.
Matilah semua cintanya, dalam panas yang menjadikannya abu. Tangan Diandra meraba lehernya, ia menarik kalung hadiah Thom. Melemparkannya ke dalam kobaran yang ganas.

Lamunan Diandra pada api di hadapannya, tiba-tiba pecah saat sebuah bunyi bel pintu rumahnya berbunyi. Ia bergegas membukanya. Sebuah buket bunga besar menutupi wajah seorang laki-laki.
Dan dia datang lagi, membawa seluruh yang ia miliki untuk tetap ada di samping Diandra. Seribu kalimat menyakitkan dari Diandra bukanlah apa-apa untuknya. Walupun Diandra bilang hatinya sudan mati rasa, pun laki-laki yang lebih muda 9 tahun dari Diandra itu seakan tidak tahu artinya 'mati rasa'. Ia tetap datang lagi untuk menyirami yang mati dan berharap bisa hidup lagi.
Laki-laki dengan hunter eyesnya berwarna abu-abu yang wajahnya di dewasakan karena jenggot dan kumis tipis.
Tentu saja dia adalah penggemar Diandra nomor satu, Nathan Noel Tjoe A On.

MinefielsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang