16. LDR

1.4K 125 5
                                    

Sudah puas berlibur di Bali kini mereka pulang ke Jakarta. Selama empat hari itu mereka sangat menikmati liburan mereka, ini akan menjadi perjalanan yang sangat mengesankan untuk mereka.

"Mas kamu jadi ke Jepang?" Tanya Jeya yang kini sedang membereskan koper dengan mengeluarkan pakaian-pakaian kotor dan lain sebagainya.

Naje mengangguk, "Iya besok aku pergi." Balasnya tanpa menoleh pada Jeya karena ia memang sedang mengurus beberapa pekerjaan melewati leptopnya.

"Berapa hari Mas?"

"Dua hari aja, lusa aku udah pulang. Aku cuma ada pertemuan sama investor sama beberapa partner bisnis."

Jeya mendekati Naje dan mendudukan dirinya tepat disebelah Naje. "Kamu jangan lupa istirahat Mas, aku engga mau loh denger kamu sakit."

Naje menutup laptopnya lalu manatap Jeya dan mengangguk, "Nanti boleh tolong beresin pakaian buat aku bawa besok?"

"Boleh, nanti aku siapin."

"Makasih sayang..."

"Iya."

Ngomong-ngomong soal panggilan 'Sayang' Jeya sudah mulai terbiasa karena dua hari terakhir ini Naje selalu memanggilnya dengan panggilan tersebut. Walupun awalnya ia sempat menolak dengan panggilan itu, namun karena kegigihan Naje akhirnya Jeya membiarkan saja toh ia tidak merasa dirugikan.

"Kamu flight jam berapa Mas?"

"Besok pagi jam tujuh, kamu aku tinggal di rumah sendiri gapapa? Atau mau ikut boleh nanti aku pesenin tiket buat kamu."

Jeya menggeleng, "Cuma dua hari buat apa Mas, bikin capek aja. Toh disana kamu kerjakan, pasti nanti kamu sibuk."

"Kita bisa nambah hari disana sayang, kamu ngga lupa kan duit suamimu ini banyak."

"Aku tau, tapi engga baik juga hambur-hamburin kaya gitu. Udah ah ayo makan malem dulu abis itu istirahat biar besok kamu ada tenaga banyak."

Naje merangkul Jeya dan keduanya beriringan berjalan menuju ruang makan. Untuk hari ini pembantu di rumah yang memasak karena Jeya tidak kuat jika harus memasak.

***

Kehidupan keduanya sudah mulai harmonis, tidak seperti awal perhikahan yang diselimuti rasa canggung namun kini rasa itu telah digantikan oleh rasa nyaman. Mereka akui rasa nyaman itu memang sudah tumbuh, namun cinta? Entahlah mereka masih tidak mengeti dengan perasaan masing-masing.

Mungkin jika ditanya apakah mereka saling sayang atau tidak, jawabannya adalah iya. Tetapi untuk lebih dari itu, keduanya masih belum bisa menjawabnya.

"Mas nanti kalo udah sampe kabarin ya." Ucap Jeya yang kini berada di pelukan sang suami yang ingin pergi terbang untuk urusan kerjaan.

Naje mengangguk, "Aku langsung kabarin kamu nanti. Kamu juga selalu kasih kabar ya, mau kemana mana sama Haikal aja."

"Kal gue titip Jeya ya." Ucap Naje pada Haikal yang kini sedang menunggu keberangkatannya.

Haikal mengangguk, "Jeya aman sama gue, lu tenang aja dan urusin kerjaan disana."

Jeya melepaskan pelukan mereka lalu melirik Jendral sini, "Untung bukan si Jendral yang tinggal sini."

"Dih si Jendral si Jendral, gue juga males kali ngurusin lu." Balas Jendral tak kalah sinis.

Naje menatap Jendral tajam, "Jendral." Panggil Naje seperti memberikan peringatan.

"Siap salah." Hormat Jendral, sebelum gajinya terpotong lebih baik ia mengalah.

PERFECT HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang