Jangan kira bahwa Naje adalah pengangguran sekarang, nyatanya ia adalah seorang pemilik hotel mewah dikawasan elite Milan dan juga seorang pengusaha sukses pada bidang industri. Ditambah adanya aset yang sudah ada dimana mana menjadi daya tarik seorang Najendra Dirgantara.
Itu semua berkat kerja kerasnya sejak umur 18 tahun yang telah belajar bisnis bersama sang ayah. Berkat kegigihannya sekarang Najendra sudah menjadi salah satu pengusaha muda sukses pada masa kini.
Selama Jeya hamil, Naje memang memutuskan untuk kerja di rumah atau bisa disebut work from home. Naje juga sudah memindahkan meja kerjanya pada kamar mereka agar ia bisa bekerja sekaligus memantau sang istri.
Jeya berbaring di kasur mereka menghadap ke sang suami yang sibuk pada laptop dan juga berkas-berkas sialannya di meja kerjanya.
"Aduh Mas kayanya perut aku keram deh." Keluh Jeya memegang perutnya.
"Jangan banyak drama, dari tadi kamu ngeluh sakit mulu giliran disuruh ke dokter bilangnya udah sembuh." Balas Naje tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.
Sejak awal Jeya memang selalu mencari-cari perhatian sang suami dengan berpura-pura sakit, tetapi niatnya selalu saja ketahuan.
"Ish! Kamu dari tadi kerja mulu sih! Percuma di rumah tapi istrinya dianggurin." Ketus Jeya.
"Dari tadi aku udah nemenin kamu berkebun sama berenang." Balas Naje yang masih fokus pada laptopnya.
"Terus udah gitu, abis itu engga mau temenin aku lagi."
"Bukannya engga mau sayang, tapi ini kerjaannya emang lagi engga bisa ditunda. Kasian Jendral udah nunggu ini."
Jeya kembali menghadapkan tubuhnya pada sang suami, "Mas, kamu masih kerja bareng Jendral Haikal ya?"
"Masih, bisnis aku yang di Jakarta mereka yang handle. Aku disini cuma urus hotel aja."
"Bisnis apalagi? Kamu punya bisnis baru?" Jeya semakin penasaran.
"Aku buka bisnis properti di Jakarta, udah 2 tahun aku bangunnya. Itu bisnis kedua aku setelah hotel disini."
"Kamu bangun sendiri? Papa Mama engga tau?"
Naje menggeleng, "Aku bangun pake uangku sendiri. Sampai detik ini mereka cuma tau aku bangun hotel disini."
"Terus yang hotel ini juga kamu bangun sendiri?"
"Iya, mereka baru tau juga waktu kemarin kita pamit mau pindah itu. Temen-temenku juga baru tau sekitar dua minggu yang lalu."
"Kamu bangun semuanya sendiri?"
Naje mengangguk, "Lebih baik sendiri dari pada banyak campur tangan orang lain, nanti kerjaannya bisa jadi engga sesuai sama apa yang aku mau."
Jeya membulatkan mulutnya, arti ia mengerti.
"Kamu emang udah siapin semuanya buat pergi dari mereka ya."
"Iya... begitulah."
"Mas keren!" Jeya memberikan senyum bangganya pada sang suami.
Ia benar-benar tak menyangka kalau suaminya mempersiapkan sedemikian rupanya hanya untuk lepas dari kedua orang tuanya, itu artinya rasa marah dalam dirinya memang sudah tak mampu untuk dibendung.
Naje beranjak dari kursi kerjanya kemudian membaringkan tubuhnya disamping sang istri. Ia mengangkat istrinya dan membaringkan kepala sang istru tepat di atas lengannya menjadikan lengannya sebagai bantal.
"Kamu demam?" Ucap Naje terkejut saat tangannya bersentuhan dengan tubuh sang istri.
Jeya menggeleng pelan kamudian memegang keningnya, "Engga ah."
Naje ikut memegang kening Jeya, "Ini demam sayang. Kamu emang engga ngerasa?"
"Engga tuh, kayanya ini baru deh soalnya dari tadi masih biasa aja."
Naje menghela nafasnya, "Kamu nih dari tadi kebanyakan bercandain sakit-sakit, jadi sakit beneran kan."
"Abisnya kamu cuekin aku terus, makannya jangan kerja terus."
Naje menoel hidung Jeya gemas, "Kamu dikasih tau jawab terus ya."
"Biarin wle." Jeya menjulurkan lidahnya kemudian memeluk Naje erat dengan menenggelamkan tubuhnya pada tubuh besar sang suami.
"Kalo gini makan dulu yuk, habis itu minum obat terus istirahat."
Jeya menggeleng, "Aku engga suka obat, pasti susah masuknya."
"Nanti aku larutin pake air, kamu tinggal minum aja nanti."
"Nanti tambah pahit Mas."
"Habis itu langsung minum susu, nanti pahitnya bisa hilang."
Merasa tak mendapatkan jawaban, Naje pun menarik Jeya agar menatapnya.
"Kasian Dedenya nanti ikut sakit kalo kamu engga mau minum obat. Kalo kamu sakit gini, nanti yang rugi kamu juga, kamu jadi engga bisa tidur nyanyak nanti, makannya juga bisa pahit, aktivitas kamu yang lain bisa ikut tergangu." Naje tetap mencoba membujuk Jeya.
"Tapi obatnya pahit..." Cicit Jeya dan bibir yang mulai melengkung kebawah.
"Sebentar aja pahitnya, nanti aku cium deh bibirnya supaya pahitnya tambah cepet hilang."
"Itu mah mau kamu!"
Naje terkekeh, "Iya makannya ayo makan dulu habis itu minum obat."
Dengan setengah semangat Jeya pun menuruti perintah sang suami. Tak ada pilihan lagi selain ini, mengingat bahwa kini dirinya sedang membawa nyawa lain yang perlu ia jaga.
***
Setelah melewati beribu satu macam drama makan obat, akhirnya obat deman tersebut sudah masuk kedalam mulut Jeya.
"Pahit Mas..." Rengek Jeya dengan air mata yang sudah mengalir membasahi pipi tembamnya.
Naje memberikan segelas susu coklat yang sudah hangat, "Iya sayang ini diminum ayo."
Jeya meneguk susu tersebut hingga habis tanpa tersusah satu tetes pun.
"Udah? Masih pahit engga mulutnya."
Jeya menggeleng, "Aku ngantuk Mas."
"Yaudah tidur yuk supaya cepet sembuh." Naje membantu Jeya turun dari kursi meja pantry.
"Gendong." Jeya merentangkan kedua tangannya meminta untuk digendong.
Dengan segera Naje mengangkat tubuh sang istri lalu membawanya menuju kamar mereka.
***
Hari baru menunjukan pukul 1 pagi tetapi Naje sudah diganggu dengan suara ngigau dari sang istri, efek dari deman yang datang pada tubuh Jeya.
"Mami..."
"Papi..."
Jeya terus memanggil kedua orang tuanya, tanpa sadar Naje meneteskan air matanya.
Naje menarik Jeya kedalam pelukannya lalu mengecup puncuk kepala Jeya, "Kamu kangen ya sama Mami Papi? Makannya kamu sakit sekarang."
"Sayang, cepat sembuh yaa. Mami sama Papi pasti sedih lihat kamu sakit kaya gini."
Benar adanya bahwa demam yang datang akibat rasa rindu Jeya pada kedua orang tuanya. Ikhlas itu masih belum sepenuhnya mengusai hatinya. Jeya masih mengharapkan bahwa kedua orang tuanya datang kepadanya.
─── ⋆ ˚。⋆୨♡୧⋆ ˚。⋆ ───
jangan lupa vote + komen!!
terima kasih.
— bee ʚɞ
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT HUSBAND [END]
FanfictionGadis yang baru saja menginjak umur 21 tahun itu harus bergelut dengan permintaan orang tuanya yang sudah diluar angkasa. Bagaimana bisa seorang gadis yang masih memiliki hasrat bermain menggebu gebu harus terjebak di suatu hubungan sakral? Apa ia...