Tak terasa kandungan Jeya sudah menginjak usia 9 bulan, Naje pun menjadi lebih protektif. Jeya sudah tidak diperbolehkan oleh Naje untuk berkebun dan berenang atau kegiatan berat lainnya, mengingat perut Jeya yang sudah semakin besar dan tentunya akan membuat wanita itu kesulitan bergerak.
"Kamu ngapain sih sayang." Naje menghampiri Jeya yang sedang mengepel ruang tamu.
"Ih, kata dokter harus banyak gerak tau! Kamu dari kemarin aku suruh ngepel, engga di kerja-kerjain juga."
"Iya maaf sayang, kerjaan lagi banyak." Naje mengambil alih alat pel dari tangan Jeya. "Udah aku aja yang ngepel."
Jeya menyerahkan alat pel tersebut lalu ia naik ke atas sofa dan juga menaikan kedua kakinya agar memudahkan suaminya mengepel.
"Ayang besok kita ke gallery art yu, udah lama loh kita engga jalan-jalan."
"Emangnya kamu bisa jalannya hm, kamu kalo jalan pagi baru lima langkah aja udah ngeluh capek."
"Engga ikhlas banget kayanya bantu istrinya, kaya perhitungan gitu." Ketus Jeya.
Naje terkekeh, "Kamu minta keliling dunia sambil di gendong juga aku kasih."
"Lebay!" Jeya beranjak dari sofa, "Udah ah aku mau makan. Spaghetti tadi masih ada kan."
"Masih, habisin aja kalo bisa. Takut kalo nanti-nanti lagi nanti jadi basi."
"Okay."
***
Malam harinya seperti biasa Naje akan memijit kaki Jeya yang sudah bengkak dengan dibalur minyak angin.
"Mas besok tolong guntingin kuku aku ya, kayanya itu udah panjang deh."
"Iya, besok kita gunting ya. Gimana hari ini, baby engga ganggu kamu kan." Setiap malam Naje juga selalu menanyakan kabar sang anak.
"Baby hari ini engga banyak tingkah, kalo nendang juga engga sekenceng kemarin-kemarin. Terus tadi siang juga aku nyenyak tidurnya, baby kayanya ngerti kalo Mamanya ngantuk banget. Terus apa lagi ya.. Oh iya! Tadi pagi kayanya aku kontraksi palsu deh Mas, soalnya aku mules gitu tapi pas ke kamar mandi engga keluar apa-apa terus engga lama setelah itu sakitnya ilang." Jelas Jeya panjang kali lebar.
Naje mengerut kan alisnya, "Kamu kenapa engga kasih tau aku tadi pagi?"
"Aku lupa, tadi pagi habis dari itu perut aku laper banget jadinya engga inget deh."
"Kamu mah ingetnya makan aja." Celetuk Naje niat bercanda.
"Emang kenapa sih kalo makan terus! Engga suka ya kalo istrinya gendut."
Sepertinya Naje salah, akhir-akhir ini Jeya memang menjadi semakin sensitif jika membahas soal berat badan. Ya seperti pada perempuan pada umumnya, sangat sentif kalau sudah bahas berat badan.
"Engga sayang, kamu nih suka banget langsung simpulin sendiri. Aku tetep sayang kanu walaupun bentuk kamu kaua apapun itu sayang, aku cinta kamu itu karena hati kamu bukan karena fisik kamu."
"Iki cinti kimi kirini hiti kimi bikin kirini fisik kimi." Cibir Jeya, "Template banget kayanya tuh kata-kata, engga kreatif banget kayanya."
Naje menghela nafasnya, ini dia mau bagaimana pun juga akan tetap mendapatkan semprot dari istrinya.
"Maaf ya sayang, tidur yuk udah malem banget ini engga baik begadang."
Jeya menurut, ia membaringkan tubuhnya setelah iti disusul oleh Naje. Keduanya berpelukan dengan Naje yang terus mengusap punggung Jeya agar rasa sakitnya berkurang.
***
Tangan kekar mencari keberadaan istrinya dengan meraba sebelah tempat tidurnya yang ternyata nihil. Istrinya tidak ada di sampingnya, seketika dirinya khawatir karena biasanya istrinya selalu membangunkannya saat butuh apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT HUSBAND [END]
Fiksi PenggemarGadis yang baru saja menginjak umur 21 tahun itu harus bergelut dengan permintaan orang tuanya yang sudah diluar angkasa. Bagaimana bisa seorang gadis yang masih memiliki hasrat bermain menggebu gebu harus terjebak di suatu hubungan sakral? Apa ia...