"Apa setiap manusia memiliki rahasia?"
Masa rehat kini telah usai. Kini mereka harus melaksanakan tugas sebagai seorang mahasiswa.
Langkah kaki dari seorang gadis yang memaksa kaos lengan panjang warna hitam dengan celana yang memiliki warna senada, terdengar di ruangan yang tampak sepi.
Aroma harum yang dapat membuat siapa saja menjadi lapar tercium di seluruh ruangan. Lagi-lagi Joy mendapati Joanna yang sedang menyiapkan makanan. Memasak adalah salah satu dari kegiatan yang dilakukan Joanna saat di rumah.
Tidak seperti kebanyakan wanita sosialita yang menghabiskan waktu mereka untuk berbelanja dan ikut arisan, berbeda dengan Joanna yang tidak menyukai kegiatan menghamburkan uang seperti itu.
Joy ada kelas pagi ini. Ia sarapan kemudian sebelum dirinya berangkat ke kampus Joanna membawakannya sekotak bekal yang berisi roti tawar dengan selai kacang.
Joy telah tiba di kampusnya, ketika hendak memasuki kelas, netranya menangkap sekelompok laki-laki yang mengenakan jaket kulit warna hitam. Walau hanya melihat punggungnya saja Joy dapat menebak bahwa itu adalah kakaknya, bahkan ia tak ingin memanggil Aaron dengan sebutan itu.
Joy bergegas mendekatinya. Matanya kini melihat seorang laki-laki yang sedang memunguti bukunya yang berserakan, sedangkan Aaron dan teman-temannya hanya menertawakannya.
Joy menarik bahu laki-laki itu. Mata mereka bertemu. Raut wajah Aaron seketika berubah.
"Jangan lakuin hal gak beretika kayak gitu," ujar Joy dengan tatapan dingin.
Aaron menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Gue lebih tua dari lo, jadi gak usah sok nasehati gue."
"Memang lo lebih tua dari gue tapi bukan berarti gue gak bisa peringati lo."
"Jangan ganggu gue. Gue bisa aja lakukan hal yang lebih parah dari kemarin." Jari telunjuknya tepat di depan Joy
"Lakukan apa saja yang mau lo lakukan." Joy menatap tajam Aaron, lalu tersenyum tipis. "Lo lemah, beraninya cuma keroyokan."
Satu kata itu membuat emosi Aaron tersulut.
Joy yang melihat itu lalu menaikkan satu sudut bibirnya. "Gak terima? Gue cuma ngomong fakta yang ada."
Aaron tersenyum tipis. "Gue pastikan Papa gak akan pernah peduli sama lo."
"Pergi dari sini sama temen-temen berandalan lo itu."
Tatapan benci itu terlihat dari wajah Aaron.
"Aaron Alexander Wiratama ... Pergi dari sini sekarang." Joy menekan setiap kata yang ia ucapkan.
Tak lama setelah itu ia melangkah menjauh diikuti oleh teman-temannya karena mata-mata lain kini menyorot ke arah mereka.
Setelah menatap kepergian kakaknya, Joy perlahan mendekati laki-laki yang mengenakan kemeja motif kotak-kotak yang telah selesai memunguti bukunya. Laki-laki itu tampak berdiri dengan kepala yang sedikit menunduk.
"Te-terima kasih," ucapnya dengan terbata-bata dengan pandangan yang masih melihat ke bawah.
Joy mengangguk. "Sama-sama."
"Ma-maaf, ka-kalo boleh tau nama kamu siapa?" tanyanya sembari membenarkan kacamatanya.
Joy mengulurkan tangannya. "Joy."
Dengan tangan gemetar laki-laki itu perlahan membalas uluran tangannya. "Willy."
Joy menganggukkan kepalanya. "Lo sendirian?" Ia menaikkan sebelah alisnya.
"I-iya, aku gak punya teman dan gak akan pernah punya," jawabnya tersenyum kecut.
"Ah, mungkin kita bisa temenan." Joy sedikit memiringkan kepalanya.
Willy tersenyum tipis dan mengangguk cepat. "Ta-tapi, apa gak akan ada yang ejek kamu kalau, kamu temenan sama aku?" Raut wajahnya tampak ragu.
"Gue gak peduli omongan orang lain. Lo tenang aja."
"JOY!"
Joy menoleh ke belakang. Terlihat Clara yang sedang melambaikan tangannya. Clara lalu berlari mendekati Joy.
"Pagi ..." Seperti biasa Clara menunjukkan senyuman termanisnya.
Joy hanya tersenyum tipis tanpa menjawab sapaan Clara.
Atensi Clara terpaku pada laki-laki yang lebih tinggi dari dirinya dan Joy. Clara seperti pernah melihat laki-laki didepannya itu sebelumnya.
"Willy?" ujarnya seraya menunjuk ke arah laki-laki itu. "Lo kuliah di sini juga?"
Laki-laki yang dipanggil Willy itu mengangguk pelan.
"Kalian udah kenal?" tanya Joy yang kebingungan.
Clara mengalihkan pandangannya ke arah sahabatnya itu. "Lo ingat kan Joy waktu gue di rumah sakit, gue sempat cerita soal geng motor yang gangguin seseorang. Nah Willy ini, laki-laki yang gue tolongin waktu itu."
Joy mengangguk paham. "Oh ... "
"Joy, gue duluan ya ke kelas." Clara menepuk pelan bahu kiri Joy.
Joy hanya mengangguk sebagai respon.
"Emmh, Joy?"
Joy memalingkan pandangannya ke arah Willy yang baru saja memanggilnya. "Iya?"
"B-boleh minta nomor nya?" tanya Willy dengan suara yang diperankan.
"Ah, tentu ... " jawab Joy diiringi dengan anggukan.
Willy kemudian mengeluarkan handphone nya dan membuka aplikasi berlogo telepon. Ia lalu mengulurkannya pada perempuan dengan bertopi hitam itu.
Jari jemari nya bergerak menekan setiap tombol nomor. Setelah 12 angka itu sudah diketikkannya, Joy lalu mengembalikan handphone Willy.
"Itu nomor gue, kalo perlu bantuan lo bisa hubungi gue," ucap Joy dengan ramah.
Senyum tipis terukir di wajah Willy. "Terima kasih Joy."
Joy mengangguk. "Kalo gitu gue duluan."
Laki-laki dengan tas backpack itu menganggukkan kepala.
🕯
Ruangan dengan pencahayaan yang tak terlalu terang, tampak beberapa dokumen yang terbengkalai di atas meja kerja. Beberapa piagam penghargaan terpajang di dinding ruangan.
Seorang laki-laki dengan setelan rapi berdiri menunduk. Di hadapannya ada seorang laki-laki memakai setelan jas warna hitam.
"M-maaf pak. Ada suatu hal yang perlu saya sampaikan kepada bapak. Beberapa rumor tak sedap terus menyebar di kalangan pegawai, mereka mulai meragukan kantor ini pak. Hal tersebut dikarenakan kematian salah satu pegawai terbaik di kantor." Laki-laki itu menghela nafas berat. "Kematian pegawai lain yang terjadi sebelum-sebelumnya juga kembali dibicarakan."
Laki-laki itu beralih memberikan tatapan tajam pada tangan kanannya itu. "Apapun yang terjadi, kamu harus bisa menghilangkan rumor-rumor itu sebelum menyebar kemana-mana. Saya tidak ingin semuanya hancur begitu saja."
"B-baik pak." Laki-laki itu mengangguk pelan. Ia bergegas pergi dari ruangan itu.
Laki-laki tersebut menatap punggung orang kepercayaannya. Kedua tangannya menopang dagu dengan jari-jari terlipat dan telapak tangan yang bersentuhan.
"Bagaimanapun caranya mereka tidak boleh mengetahui alasan dibalik kematian para karyawan itu."
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost : A Mystery
HorrorMendaki adalah salah satu kegiatan yang Joy lakukan sewaktu liburan. Namun pendakian kali ini berbeda. Dua temannya menghilang. Dalam proses pencarian ia malah menemukan sebuah rumah yang berdiri di tengah hutan tepatnya di lereng gunung, jauh dari...