Part 22

18 1 0
                                    

Ekspektasi nya tolong di turunin buat part ini okey!! selamat membaca kisah Arlen 🙌
















































Suara musik yang terdengar cukup keras di dalam sebuah kamar yang kini terlihat cukup berantakan, banyak sekali potongan kertas berserakan di lantai. Sisca yang tengah fokus mengerjakan tugas prakarya nya di temani dengan musik itu tak sadar jika sendari tadi seseorang tengah mengetuk pintu kamarnya.

"Sisca," panggil seseorang sambil terus mengetuk pintu kamar Sisca.

"Sisca kamu dengar ayah ngga?"

"Ayah masuk ya?" tanya Rean sekali lagi, namun masih tak ada sautan sama sekali dari si pemilik kamar.

Habis sudah kesabaran Rean saat Sisca tak kunjung membuka pintunya, akhirnya Rean pun membuka pintu kamar Sisca dengan kasar.

"Sisca Denix Alexandra!!!" panggil Rean dengan nada cukup tinggi.

Hal itu pun sontak membuat Sisca yang tengah fokus terpelonjak kaget mendapati ayahnya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.

"Ayah ngangetin aja," Sisca sambil mengelus dadanya menatap Rean yang kini tengah menatap sekeliling kamar Sisca.

"Kamu ya, dari tadi ayah panggil-panggil ngga jawab, ayah ngga larang kamu nyalain musik. Tapi jangan full volume juga nak, jadi ngga denger kan ayah panggil tadi tadi?" Jelas Rean masuk ke dalam kamar Sisca.

Sisca hanya mengangkat bahu nya acuh, lalu kembali fokus terhadap prakarya nya. Melihat hal itu membuat hati Rean cukup sakit, anak gadis semata wayangnya kini terasa sangat jauh darinya.

"Kamu masih marah sama ayah?" Tanya Rean sambil duduk tepat di depan Sisca .

Rean menatap anak gadisnya yang kini telah beranjak dewasa, mengamati setiap inci wajah Sisca. Mata cantik nya, hidung mancungnya dan bibir kecilnya benar-benar Sisca dapatkan dari sang bunda.

"Jawab ayah Sisca."

Sisca mendongakkan kepalanya menatap sang ayah yang tengah tersenyum teduh ke arahnya, tak berbohong jika sebenarnya Sisca pun sangat rindu dengan sosok di depannya ini.

"Engga," jawab Sisca singkat.

"Kamu ngga pernah ahli buat bohong nak, coba sekarang tatap ayah sebentar aja," pinta Rean sambil mengelus puncak kepala Sisca.

"Menurut ayah aja gimana," nada suara Sisca sangat ketus membuat hati Rean semakin sakit mendengar nya.

"Sisca sayangnya ayah coba liat ayah sebentar, ayah lagi ngajak Sisca ngobrol," pinta Rean sekali lagi.

Satu tetes air mata Sisca lolos begitu saja, panggilan yang sudah lama tak pernah Sisca dengar kini kembali menyapa indra pendengarannya dengan sangat lembut. Sesegera mungkin Sisca menghapus air matanya mengatur emosi nya, kini Sisca menatap ayahnya.

Tak menyia-nyiakan waktu Rean pun menggeser pelan prakarya yang Sisca kerjakan ke samping, Rean menggeser tubuhnya mendekati Sisca. Perlahan Rean menarik tangan Sisca dengan lembut.

"Maafin ayah ya nak."

"Maaf ayah udah berani marahin anak kecil ayah ini, bahkan sampai berani nampar, padahal ayah sendiri tahu betul kalo anak kecil ayah ini benci yang namanya di bentak," ucap Rean sambil mengusap pelan telapak tangan Sisca.

Demi apapun Sisca tengah mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar, hati Sisca sangat lembut.

"Pipi nya masih sakit ngga? Coba ayah liat," tanya Rean sambil mengelus pipi kanan Sisca dimana kemarin lusa dia menampar pipi halus anaknya sendiri.

My Psikopat BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang