Byan menutup matanya hampir selama sebulan. Dia begitu lelap dalam tidurnya hingga mata indah itu tetap mau terpejam lama.
Orang tuanya yang tidak tahu apa-apa memutuskan pergi ke Singapura untuk melakukan pengobatan kepada Nara. Bukan hanya mereka berempat, bahkan Alfa dan Alfan ikut diboyong ke sana. Katanya agar bisa melanjutkan sekolahnya di sekolah yang memadai untuk kepintaran mereka.
Hanya Byan yang ditinggal, mereka tidak peduli pada Byan yang sakit. Saat bu Sari melapor, Brayen tidak merespon banyak dan transfer uang dalam jumlah besar.
Bu Sari menangis melihat nasib anak yang telah dia anggap pemgganti dari Tuhan. Beliau selalu berpikir Byan sengaja dilahirkan dalam keluarga Praja untuk memberikan cahaya kepada semua orang, termasuk Bu Sari.
"Kasihan Byan, nanti kalau sudah membuka mata, kita rawat sama-sama. Kalau bisa sampai Byan lupa kalau orang tuanya bukan mereka." Pak Rarjo tiba-tiba muncul, menggegam tangan mungil Byan dengan erat.
"Kalau bisa Byan harusnya lupa ingatan saja. Kasihan Byan harus trauma seumur hidupnya."
Mereka berdua mengangguk. Walaupun tidak punya materi, Byan masih bisa diberi kasih sayang berlimpah.
Sejak mereka berdua memutuskan untuk merawat anak dari majikannya, Byan sadar pada keesokan harinya. Mereka cukup kecewa, karena yang dicari pertama tetaplah orang tuanya.
Sebisa mungkin bu Sari membuat Byan tidak terluka, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Byan tetap bungkam dengan tatapan kosong.
Kejadian itu berlangsung lama. Trauma Byan tidak bisa hilang begitu saja. Ia harus sampai berobat ke psikiater bertahun-tahun. Sering kali Byan melukai dirinya sendiri ataupun overdosis obat penenang yang diberikan oleh dokternya.
Byan benar-benar pendiam, suka mengurung diri di kamar sambil bermain gitar dan bernyanyi acak. Tidak ada satupun teman yang Byan miliki. Walaupun untungnya Byan tidak pernah mendapat bully dengan sifatnya yang seperti itu. Sebab Byan penyendiri kadang dijadikan sasaran empuk para penguasa di sekolahnya.
***
Di saat umur Byan mengijak tujuh belas tahun, untuk pertama kalinya Daniara selaku ibu dari Byan menyakan tentang anaknya.Bu Sari tentu sangat bahagia. Dia ingin menceritakan segalanya, agar majikannya itu mau pulang sekedar membantu Byan sembuh dari sakit mentalnya. Namun, tiba-tiba ponselnya direbut, memutuskan sambungan telepon begitu saja.
"Byan?" heran Bu Sari, melihat Byan berdiri di belakangnya dengan raut wajah datar.
"Tidak perlu," ucap Byan dengan nada lirih. "Mereka tidak perlu tahu, sudah ada kalian yang bersama Byan selama ini," lanjut Byan dengan mata berkaca-kaca.
Bu Sari mendekat, memeluk Byan seperti seorang ibu yang sedang merasakan luka anaknya hingga hatinya ikut perih.
"Byan cukup punya kalian, orang tua Byan yang menemani di titik terendah hidup Byan. Kalian adalah pedamping Byan, wali Byan, dan peganti orang tua Byan." Dengan tangisannya yang makin deras, Byan memeluk bu Sari.
Byan sadar siapa yang berarti dalam hidupnya, setelah kemarin bu Sari dan pak Rarjo memberikan kejutan dihari ulang tahunnya.
Disaat orang tuanya sendiri membuangnya, pak Rarjo dan bu Sari malah mati-matian menjadi sosok orang tua untuk Byan. Menemaninya didalam kondisi apapun.
Bu Sari yang terharu tidak bisa berkata-kata, selain dengan memeluk erat Byan sambil mengelus pundaknya dengan lembut.
"Tidak perlu mengatakan apapun. Hidup Byan hanya boleh dicampuri oleh kalian."
"Iya Bu Sari tidak akan pernah cerita kepada orang tua Byan," ucap bu Sari agar Byan tenang.
Setelah mereka selesai berpelukan, pak Rarjo yang baru saja pulang disambut dengan bahagia. Byan juga memeluk pak Rarjo, menyalurkan segala kerinduannya terhapat sang ayah yang kini posisinya telah Byan ganti kepada Rarjo.
Byan juga mulai cerita tentang kejadian waktu itu. Byan percaya diantara ribuan yang orang yang tidak pernah percaya ataupun mau mendengarkan Byan, pak Rarjo dan bu Sari bukanlah salah satunya.
"Byan mengaku kalau telah mendorong Nara, tapi tidak semata hanya karena Byan iri," cerita Byan yang diajak ke ruang tamu untuk cerita oleh pak Rarjo.
Pak Rarjo mengelus pundak Byan, menenangkan agar trauma Byan tidak terlalu menyakitinya lagi.
"Nara menjatuhkan piala pertama Byan, kami beberapa kali saling dorong sampai ...."
"Kami mengerti," potong pak Rarjo memeluk Byan yang kembali menangis dalam pelukan pak Rarjo.
Mereka semua tahu ada yang aneh dengan Nara, gadis itu semakin diperhatikan, semakin terlihat jika sedang mengincar Byan untuk dijadikan objek kebencian orang-orang dengan memanfaatkan keadaan.
Sayangnya pak Rarjo dan bu Sari tidak punya kekuasaan apa-apa untuk menyampaikan itu. Hanya bisa mendampingi Byan untuk menghadapi segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Teen FictionByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...