Byan baru saja membuka pintu kosannya, menghirup udara pagi untuk berangkat bekerja. Hari ini kondisinya cukup baik, walaupun kemarin habis cuci darah.
Jadwal Byan masih dua kali seminggu, mengingat dirinya pernah putus pengobatan saat melarikan diri dari Jakarta. Byan bukannya lalai, ia hanya binggung dengan tujuannya selama berminggu-minggu.
Untungnya ada Dhafin yang membantu, kalau tidak mungkin dia sudah lewat waktu itu.
Melihat di samping motornya ada orang yang berdiri. Byan tidak melihat wajahnya, karena orang itu membelakanginya. Tapi pada saat Byan ingin mendekatinya, siapa sangka orang itu sangat tajam pendengarannya, ia langsung berbalik, memandang Byan dengan tatapan rindu.
Sontak Byan mematung di tempatnya, memandang heran bagaimana bisa Alfan ada di sini. Jelas kemarin Alfa sudah berhasil dikelabuhi, kenapa sekarang malah Alfan yang datang.
Sialnya Byan tidak memakai masker ataupun apapun untuk menyembunyikan wajahnya. Byan sudah ketahuan.
"Byan?" panggil Alfan seolah tidak percaya kalau di depannya benar-benar sang adik.
Byan sendiri melangkah mundur, ingin lari tapi tangannya malah ditahan oleh Alfan. "Plis, jangan tinggalin Kakak lagi," ucapnya dengan sendu.
Tapi seperti bagaimana dulu Alfan menyakitinya, Byan tidak peduli lagi pada tatapan sendu itu, menepis tangan Alfan begitu saja.
"Maaf, kita tidak saling kenal," balasnya dengan perasaan kecewa yang dibawa dari dulu.
Kalau waktu itu Alfan bisa kecewa, kenapa dirinya tidak? Jauh dilubuk hati Byan, dia juga egois, ingin kembali merasakan bagaimana rasanya diperlakukan seperti seorang adik waktu itu, tapi ternyata yang didapatkan hanya perkataan kecewa.
Alfan mendekat lagi pada saat Byan ingin meninggalkannya, tapi Byan lebih cepat naik ke atas motornya.
"Byan, sekali ini aja. Kakak minta maaf kalau waktu itu sangat keterlaluan. Semua orang nyari kamu." Alfan berkata dengan lembut lagi, menahan tangan Byan yang sedang mengenakan maskernya.
Byan akhirnya membalas tatapan sang kakak. Namun, dengan raut kepedihan. "Kasih aja nomor rekening Kakak, besok Byan kembaliin uang hasil jual apartemennya."
Merasakan genggaman tangan Alfan mengedur, Byan dengan mudah melepaskannya tangannya. Ia mulai memutar kunci dan menghidupkan sepeda motornya, tapi malah terdengar suara hantaman di tanah.
Byan syok, melihat Alfan malah pingsan, ia dalam keadaan menggenaskan karena menghantam tanah.
"Kemarin yang masuk rumah sakit bukannya Kak Alfan, ya," batin Byan, yang tersadar akan sesuatu.
Byan buru-buru turun dari motor, melihat kondisi Byan yang tidak memungkinkan untuk menjadi jahat sekarang.
***
"Ah, gini amat kalo kebanyakan dosa. Ketimpa musibah mulu," gerutu Byan sambil mengelap keringatnya yang seperti habis maraton.Mau bagaimanapun, menggendong Alfan yang badannya terlalu besar untuk Byan angkat, adalah salah satu pengalaman terberat dalam hidupnya.
Melihat Alfan telah berhasil direbahkan di atas ranjang, Byan langsung bergegas untuk menelepon Dhafin.
"Hallo, kamu kenapa nelepon pagi-pagi? Kambuh lagi?" tanya Dhafin beruntun.
Byan yang sudah biasa melihat kekhawatiran Dhafin hanya menghela napas panjang. "Masih sehat kok. Cuma mau nanya sesuatu," jawab Byan sambil melirik Alfan yang menutup rapat matanya.
"Apa?"
"Itu kemarin kak Alfan masuk rumah sakit karena apa?" Byan menggigit bibir bawahnya, dari semua hal yang tidak harusnya Byan tanyakan, sekarang malah langsung keluar dari mulutnya.
Sampai-sampai Dhafin sempat terdiam. Mungkin dia mengira kalau Byan salah tanya, atau mungkin hal lainnya.
"Beneran mau nanya soal itu?" Dhafin bertanya dengan ragu.
Tapi Byan malah dengan cepat membenarkan. "Iya. Penasaran aja. Siapa tahu Kakak dapet info mereka tinggal berapa lama di Bandung."
"Apa hubungannya si," keluh Dhafin yang mendapati adiknya itu mulai ngelantur. Benar-benar seperti orang sekarang yang meninggal besok.
Tapi sebelum pikirannya semakin buruk, Dhafin merasa lebih baik membocorkan kondisi medis Alfan saja.
"Soal Alfan, dia cuma kegores pisau di bagian telapak tangan kirinya. Denger-denger si karena mau nyelamatin Nara dari preman."
Byan langsung berdecak, dia memutuskan sambung telepon begitu saja.
Saat Byan melihat tangan Alfan yang dibebat perban, perasaan kesal mulai bergejolak di hatinya.
"Sialan aku ditipu." Byan mengambil kertas note, menulis sesuatu di atasnya lalu menempelkannya di jidat Alfan.
Tanpa peduli apapun lagi, Byan meninggalkannya kos-kosannya.
Sang pelaku yang membuat Byan kesal akhirnya membuka matanya. Dia mendengar suara mesin motor mulai meninggalkan perkarangan rumah.
Alfan tersenyum kecil, mengambil kertas note yang ada dijidatnya. 'Pingsan yang lama aja, aku sibuk nggak ada waktu ngurusin drama orang!'. Tulis Byan di dalam kertas itu.
"Walaupun nggak ada waktu, Kakak bakal tunggu kamu pulang, deh," putuskan Alfan yang malah nyaman. berbaring di kamar sang adik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Ficção AdolescenteByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...