"Wah, buah semangka," ucap Byan dengan antusias, membuat bu Sari yang sedang menyiapkan semanganya berbentuk kotak-kotak tersenyum cerah.
Bu Sari mengelus rambut Byan dengan penuh kasih sayang, menyuapi buah semangka yang sebenarnya untuk Daniara, nyoya rumah ini.
Tapi bu Sari juga tidak pernah lupa, kalau Byan selalu ia siapkan cemilan buah agar tubuhnya selalu sehat. Daya tubuh Byan juga perlu sangat diperhatikan, maka dari itu bu Sari akan sangat protektif pada makanan yang dikomsusi oleh Byan.
Di saat mereka sedang mengobrol sambil makan buah, Daniara tiba-tiba masuk ke dapur. Tangannya menyilang di depan dada, dengan tatapan cemburu yang sangat ketara.
Sudah satu minggu keluarganya kembali. Tapi Byan seperti menolak untuk dekat dengan mereka. Bahkan, setiap kali diajak berbicara, Byan akan pergi bersama pak Rarjo selama beberapa jam. Keluarganya sendiri sudah seperti orang asing, tapi orang lain malah masuk sesuka hati.
Benar-benar tidak sopan.
"Ekhem." Daniara berdehem keras, menatap tidak suka bu Sari. Anggap saja ia tidak suka melihat kedekatan sang anak dengan seorang pembantu.
Byan menoleh, wajahnya yang penuh senyum itu berganti menjadi wajah datar. Byan tidak bertanya, melainkan pergi meningalkan dapur.
"Byan!"
Sang pemilik nama tersentak saat dipanggil dengan nada kurang bersahabat oleh ibunya.
Mau tidak mau Byan menoleh, dia tersenyum kecil walaupun sangat terpaksa. "Ada apa, Bu?"
"Temani Ibu makan buah," perintah mutlak Daniara.
Byan juga tidak tega untuk menolak, jadi hanya mengangguk dengan pasrah.
***
"Kamu dekat sekali dengan Rarjo dan Sari?" tanya Daniara sambil memandang anaknya yang hanya diam saja. Byan memang menemani Daniara makan buah, hanya menemani tidak ada obrolan.Lama-lama Daniara jengah, jadi dia memutuskan mulai bicara. Tidak menyadari kalau Byan benar-benar tidak nyaman, rasanya canggung, seperti berada dengan orang asing yang sok akrab.
"Sangat," jawab Byan singkat. "Mereka keluarga aku," lanjutkan Byan.
Daniara yang mendengar itu memegang sendok buahnya erat. Rasanya tidak suka mendengar jawaban Byan yang dengan mudahnya menyebut orang lain sebagai keluarga.
"Kenapa kamu belum memilih kampus, Nara sudah daftar kuliah kedokteran, loh." Daniara mengalihkan topik lain lagi, tapi respon Byan hanya diam tanpa menjawab.
Daniara yang merasa aneh kembali berbicara. "Kamu kalau binggung, Kak Alfa sama kak Alfan cobak kamu mintain pendapat," suruh Daniara, yang kali ini Byan mengangguk.
Daniara tersenyum tipis, dia ingin mengelus rambut Byan seperti bu Sari di dapur tadi. Tapi anak itu malah langsung menghindar.
Tangan Daniara hanya mengambang di udara, semantara Byan yang sadar dirinya reflek tidak suka sentuhan ibunya sendiri merasa sedikit bersalah. Apalagi wajah Daniara seperti merasa terluka.
"Maaf," ujar Byan merasa bersalah.
Daniara tersenyum tipis, sedikit menggeleng kecil agar Byan tidak merasa dirinya terlalu jahat.
"Sebenarnya aku suka musik, dan mungkin nggak akan kuliah," jawab Byan, menebus rasa bersalahnya di awal.
Daniara juga senang akhirnya Byan bercerita tentang kesukannya. Entah kenapa ia merasa sedikit bisa masuk ke dalam hidup Byan.
Kali ini elusan tangannya di pundak Byan juga tidak ditolak. Senyum Daniara semakin merekah lebar. "Nanti Ibu bicarakan dengan ayah, ya."
***
Setelah pulang dari cuci darah, Byan merasa badannya sedikit demam. Pak Rarjo yang akhir-akhir ini menemani cuci darah sudah meminta obat kepada perawat.Jadwal cuci darah Byan adalah seminggu dua kali, pada haru rabu dan juga sabtu. Makannya Byan jadi sering keluar tanpa memberi tahukan keluarganya.
"Byan, dari mana?" tanya Nara yang berjalan menghampiri Byan.
"Padaha udah seminggu selamat, tapi kenapa sekarang muncul, sih," batin Byan yang berjalan menuju tangga, tapi baru mengijak dua anak tangga, Nara malah menghadang.
"Kamu sakit? Kok pucet," ucap Nara dengan wajah polos.
Byan hanya mendegus sebal, ingin melewati Nara juga tidak bisa.
"Enggak usah pura-pura baik. Kalo emang beneran baik, kejadian beberapa tahun lalu harusnya sudah selesai. Kamu menjelaskan apa yang terjadi mereka pasti akan percaya, tapi dengan melihat sifat kamu dulu, aku tahu, kamu pasti akan memanfaatkan situasi, bukannya menyelesaikam konflik," Ujar Byan dengan rasa kesal.
Nara yang tadinya pura-pura polos langsung tersenyum jahat. "Benar," jawabnya tanpa ragu.
"Tapi sekarang minta kembali, ingin kamu bisa bergabung lagi sebagai anggota keluarga. Padahal kita berenam tanpa kamu, itu sudah jauh lebih dari sempurna." Nara menyilangkan tangannya di depan dada, matanya sinis, memandang Byan sebagai orang rendahan.
Jujur kalau bisa, Byan akan kembali ke masa lalu untuk membunuh gadis itu sampai mati. Maka penyesalan atas hidupnya sekarang tidak akan pernah ada.
"Sekarang apa mau kamu?" Byan dengan datar menatap Nara.
"Menyikirkan Byantara Praja untuk selamanya." Nara tersenyum sinis, melihat Byan yang tampak lemah mudah dihancurkan.
Byan masih belum mengerti jalan pikiran gadis itu hanya memandang binggung, sampai Nara tiba-tiba menjatuhkan tangannya dan menjerit kencang.
Tangan Byan ditarik ke lehernya, membuat Byan yang tidak ada persiapkan ikut condong tertarik ke depan. Posisi sempurna untuk terlihat seperti Byan sedang berusaha membunuh seseorang.
Nara sempat tersenyum penuh kemenangan sebelum berteriak kencang.
"Tolong ... tolong ... tolong !"
"Ampuni Nara, Nara tidak salah. Nara tidak mau mati!"
"Toloong!"
Byan sempat ingin menarik tangannya tapi Nara jauh lebih dominan kekuatannya untuk membuat posisi Byan tetap seperti itu.
Rasa tidak enak badan membuat Byan lemah, jadi dia ingin melepaskan tangannya dengan mendorong Nara menggunakan tangan kirinya, tapi sebelum itu Byan merasakan pipi ditinju dengan kuat hingga rasa besi menjalar di dalam mulutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Novela JuvenilByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...