Byan baru saja tertidur beberapa menit karena lemas, tapi suara ketukan pintu malah membangunkannya.
Ini sudah jam setengah delapan malam. Keluarganya datang jam enam sore, dan mungkin si pengetuk pintu ingin mengajak makan malam. Byan malas, ia ingin menghidari keluarganya, yang sudah seperti orang asing di matanya.
Tapi suara ketukan pintu lebih keras membuat Byan mau tidak mau langsung beranjak dari kasurnya. Itu sepertinya kak Alfa, siapa lagi yang punya watak keras, tidak sabaran, gampang emosi, disulut sedikit langsung meledak. Sifat kakaknya itu menuruni ayahnya, terutama tatapan dan kata tegasnya.
Alfan sendiri berbanding terbalik dengan kakaknya itu. Dia adalah orang yang lembut dan sabar. Sebenarnya karakter keduanya sudah terlihat dari hobi mereka masing-masing. Alfa lebih suka olahraga, dan ilmu bela diri, sementara Alfan akan menimbun dirinya di dalam tumpukan buku-buku.
Saat Byan membuka pintu, terlihat wajah kakak kembarannya yang sedikit tepramental. Memandang Byan dengan tatapan menilai, yang pada akhirnya Byan hanya mendegus sebal dan ingin menutup pintu kembali.
"Aku nggak makan malam, Kak Alfa," ucap Byan sebelum benar-benar menutup pintu.
Alfa menahannya, dengan mendorong pintu hanya dengan satu tangan. Jelas tenaga Byan tidak ada bandingannya. Kakak satunya ini memiliki tinggi 181 cm. Belum lagi badannya kekar karena penyuka olahraga. Sementara Byan hanya 165 cm. Padahal Nara saja 170 cm. tingginya.
Kalau Alfan jangan ditanya. Walaupun kutu buku tingginya setara dengan sang kakak kembaran, belum lagi badannya juga kekar karena sering ikut gym dengan Alfa.
Dengan sekali dorong, pintu kamar Byan terbuka lebar. "Ayo makan bersama, sudah lama kita tidak melakukannya, kan?"
Byan menggeleng, kembali ingin menutup pintu dengan tenaga penuh.
"Tante Mentari nggak ikut ke Indonesia, kok. Jaga nenek sama kakek di Singapura," bujuk Alfa yang tumben sabar, biasanya akan main seret.
Byan hanya menghela napas kasar. "Aku kenyang. Lagian ada atau enggaknya tante Mentari, hubungannya apa?" Byan menatap jengah Alfa yang memasang raut wajah keras di depannya.
Waktu itu adalah kecelakaan. Mereka hanya anak-anak, kalaupun dorongan Byan tidak membuat Nara jatuh duluan, mungkin Byan yang akan tergelinding. Hanya saja pertanyaannya, jika posisi itu tertukar, apakah keluarganya akan melakukan hal yang sama kepada Nara, seperti Byan yang ditinggalkan bertahun-tahun?
"Kamu kenyang makan angin? Kita ini keluarga, jadi makan harus bersama." Alfa habis kesabaran, ia menarik tangan Byan agar mau turun makan bersama.
"Keluarga, ya?" lirih Byan, dengan tatapan sendu. Apa arti mereka dalam hidup Byan sampai harus disebut keluarga?
Bukannya bu Sari, pak Rarjo, dan dokter Laka lebih pantas?
***
Selama makan malam Byan tidak ada komentar apa-apa. Hanya duduk, makan, lalu tujuan terakhirnya adalah membantu bu Sari di dapur.Melihat ayah dan ibunya berbaur dengan si kembar, lalu perhatian keempatnya yang selalu berpusat kepada Nara membuat Byan merasa seperti orang asing yang menyusup dalam keluarga cemara.
Menyedihkan sekali.
Di suapan terakhir Byan mendorong agak jauh piringnya, ia meminum segelas air putih dengan perasaan haus.
"Byan permisi." Dengan sedikit menunjukkan rasa hormat, Byan ingin pergi dari ruangan yang terasa mengikat itu. Ia tidak bisa terus menjadi badut di sana.
"Mau ke mana?" tanya sang kepala keluarga dengan nada heran. "Duduk lagi, kita mengobrol sebentar. Bukankah kamu rindu dengan kami?"
Byan berdecih dalam hati menatap antesi orang-orang yang mengarah kepadanya. Byan memupuk rindu kepada mereka? Bukankah lukanya belum sembuh hingga berani lancang seperti itu?
Byan mengangguk, itu adalah jawaban yang paling aman. Lalu tidak ada lagi percakapan, karena Byan enggan berbicara.
Cukup menjadi udara di sekitar orang-orang, walaupun tidak terlihat, setidaknya dia diinginkan tetap ada.
Canda tawa kelimanya menguar, Byan hanya memperhatikan. Atau lebih tepatnya mengangumi kakak-kakanya yang terlihat sempurna.
Alfan si paling sabar, menuruni sifat ibunya sedikit sadar diperhatikan. Jadi dia langsung menoleh, kebetulan Alfa, dan Alfan duduk berhadapan dengan Byan, serta Nara di sampingnya.
"Kamu nggak nanya apa gitu?" Alfan buka suara uhtuk Byan.
Anak yang ditanya terdiam sebentar, kepalanya mulai memunculkan satu pertanyaan. "Kapaan kalian pergi?"
Semua mendadak hening, Nara yang bercanda gurau dengan Daniara sampai berhenti mendadak.
"Kedua kakak kamu telah lulus kuliah, dan Nara juga akan kuliah. Jadi kami memutuskan tinggal di Indonesia secara permanen." Brayen yang akhirnya menjawab
"Kenapa kalian kembali?" Byan dengan tatapan kosong mengarahkan pandangannya kepada sang ayah.
Semua orang kembali terdiam, tapi dengan perasaan panas. Bagaimana mungkin Byan malah menanyakan hal seperti itu kepada keluarganya yang baru kembali.
Kali ini Brayen juga tidak mau menjawab, dia mengalihkan topik pembicaraan. "Nara ingin kuliah kedokteran katanya, kamu sudah memilih kampus dan jurusan?"
Byan menghela napas, berdiri dari duduknya secara tiba-tiba."Byan lelah, jadi istirahat duluan." Pamit Byan dengan sopan santun.
Ia tidak pernah nyaman membicarakan tujuannya kepada orang yang tidak dekat dengannya. Jadi lebih baik pergi saja dari sana dengan alasan mengantuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Ficção AdolescenteByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...