17. Kenyataan

633 52 0
                                    

Byan hanya patuh hingga dirinya sampai di rumah. Sudah tidak ada siapa-siapa di ruang tengah, ruangan ini sepi lantaran hari yang sudah larut malam.

Alfa dan Alfan yang melihat itu santai saja, mereka sudah menduganya.

"Ayo ke kamar kak Alfan, kemarin kamu kan sudah tidur di kamar kak Alfa," ajak Alfan, menarik tangan Byan untuk naik tangga menuju lantai dua.

Tapi yang ditarik hanya diam saja, tidak bergeming sedikitpun saat tarikan Alfan mulai menjauh.

"Pak Rarjo sama bu Sari mana?" Byan memusatkan tujuannya. Karena memang itu yang menyebabkan Byan mau kemari.

Alfa menghela napas panjang, dia berjalan meninggalkan Alfan dan Byan. Dia tidak pandai membujuk, kalau soal ini biar menjadi urusan adiknya saja.

"Kamu tidur dulu, besok pagi baru ketemu mereka," sarankan Alfan, menarik tangan Byan kembali agar mau tidur.

Tapi bukannya menurut Byan malah semakin menggeleng. "Aku kangen banget mereka, bisa nggak dianterin ke kamar mereka sekarang juga?" Byan yang sebenarnya tidak mau tidur dengan Alfan mencari alasan.

Berbeda halnya saat bersama Alfa, waktu itu Byan sudah tidur. Sebab jika bersama orang yang tidak terlalu dikenal, itu terasa cukup tidak nyaman.

Karena Alfan sabar, maka Byan masih aman sekarang tidak kena seret paksa. Alfan saja sudah menatap tajam, memperhatikan dari dasar tangga.

"Dengerin Kakak, ya. Kali ini aja kamu nurut dulu. Biar bu Sari sama pak Rarjo istirahat dulu."

"Tapi ...."

Bantahan Byan terputus saat badannya malah diangkat seperti karung beras. Pelakunya sudah pasti Alfa, dia jengah mendengar perdebatan. Kesabarannya itu hanya setipis tisu.

"Kamu nggak berhasil bujuk, jadi Byan tidur dikamar Kak Alfa," putuskan Alfa sepihak.

Di belakangnya Alfan hanya merengut, ia gagal tidur bersama adiknya hari ini.



***
Seperti janji mereka, setelah sarapan Byan diizinkan untuk bertemu dengan pak Rarjo dan bu sari. Mereka bertiga sedang duduk di taman belakang sambil memakan buah.

Byan cukup lega mengetahui pak Rarjo hanya kecelakaan kecil. Sediki keseleo saat mau membeli sayur untuk bu Sari.

Mereka bertiga tampak hangat, membuat orang-orang yang mengitip dari dalam rumah merasa sangat iri. Ada banyak kata andai yang tertulis dalam benak mereka.

"Waktu Byan pergi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Byan dengan wajah sedikit menyiratkan kesedihan.

Ada banyak tanya di dalam benaknya, dan ia ingin mengutarakan lebih banyak demi keingin tahuannya.

Pak Rarjo yang merasa harus bertanggung jawab untuk bercerita, mulai mengatakan semuanya.

"Waktu itu Bu sari dan Pak Rarjo tidak sengaja membicarakan tentang kamu. Beberapa kesulitan kamu, termasuk penyakit yang sedang kamu idap," awal cerita pak Rarjo yang membuat Byan anteng mendengarkan.

"Maafin Bu Sari yang waktu itu khawatir, sampai tidak sadar sudah bercerita sambil menangis di dapur bersama Pak Rarjo," ucap bu Sari menyesal.

Byan tidak pernah menyalahkan siapapun atas rahasianya yang diketahui. Karena dalam benaknya, dia juga ingin orang lain tahu.

"Bu Sari nggak salah apa-apa," jawab Byan, sedikit ingin menghilangkan rasa bersalah Bu Sari.

Untungnya bu Sari kembali bisa tersenyum, memegang pipi Byan dengan elusan lembut tangan Bu Sari yang sedikit sudah keriput itu.

"Tapi bu Sari benar-benar sedih waktu itu, saat si kembar mengatakan  apartemen tempat kamu tinggal sudah dijual, dan kamu tidak ada di sana," cerita Bu Sari sambil membawa Byan ke dalam pelukannya.

Mereka berdua berbagi rindu dalam waktu lama, hingga hari semakin siang. Byan terus betah berada di teras rumah.

Mengenang hari yang buruk memang menyesakkan, tapi mengingat sampai sekarang semuanya belum baik-baik saja membuat Byan memilih jalan yang lain.

"Manjat tembok ini bisa bikin Byan tembus jalan raya, kan?" pastikan Byan, sebelum menjalankan aksi kaburnya yang kedua kali.

Pak Rarjo yang sedang duduk senderan di kursi seketika menegangkan badannya.

"Kamu mau peri lagi?" tanya pak Rarjo tidak rela.

Byan mengangguk, kepalanya sudah penuh dengan perhitungan. "Kalau Byan di msini, nggak ada jaminannya besok atau nanti Byan tidak akan terusir. Atau ... mungkin depresi itu kembali," jawab Byan sedikit tidak rela di dalam hatinya.

Dia tidak ingin pergi, penopangnya dulu ada di sini. Tapi keadaan memaksanya kuat, sampai sekarang Byan harus terbiasa walaupun berat.

Memandang lekat mata kedua orang tua pegantinya, Byan semakin merasa tidak rela.

"Mereka masih belum tahu semuanya, Alfa dan Alfan hanya kasihan. Takutnya Nara nanti malah fitnah Byan lagi."

Pak Rarjo akhirnya mengangguk paham. Beliau berdiri dari duduknya dengan kaki dalam keadaan sedikit pinjang.

Pak Rarjo juga tersenyum, mengulurkan tangannya kepada Byan. "Ayo, Pak Rarjo selalu ada untuk bantu kamu."

Senyum Byan merekah, ia mengambil tangan pak Rarjo untuk digenggam. Sementara bu Sari hanya bisa ikhas, memeluk kedua orang itu dalam kehangatan hati seorang perempuan.

Mereka terlihat sempurna saat bersama, tapi kenapa Tuhan tidak mengirimkan Byan untuk menjadi anak pak Rarjo dan bu Sari saja?

Lilin Kecil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang