14. Mereka Sudah Tahu

671 49 0
                                    

Byan terbangun dari tidurnya saat mendengar suara ponselnya berdering. Byan dengan terpaksa duduk di bibir kasur sambil mengucek matanya. Melihat ponselnya di atas nakas berisi panggilan tidak terjawab dari Dhafin puluhan kali, Byan langsung mengambilnya.

Dhafin pasti khawatir dengannya, mengingat kemarin malam Byan sempat bilang ingin menginap tapi malah tidak datang-datang. Kakak kembarnya malah menculik Byan, dan entah ada di mana sekarang dirinya ini.

"Hallo," ucap Byan, setelah panggilan teleponnya langsung diterima.

"Kamu dari mana saja, sih. Kemarin malam Kakak tunggu sampe jam dua pagi nggak dateng. Terus pas Kakak cari ke tempat acara cuma ada motor kamu dengan kunci yang jatuh. Kakak panik tau," omel Dhafin panjang lebar. Sudah mirip emak-emak pemilik kontrakan.

Tapi walaupun begitu Byan hanya punya Dhafin yang sekhawatir itu. Jadi dalam hati Byan merasa sangat bahagia.

"Ini kenapa diam lagi, kamu diculik. Minta tebusan berapa orangnya?" enteng Dhafin.

Byan malah semakin geleng-geleng kepala. Dia tersenyum senang mendengat omelan Dhafin. "Kirain belum selesai ngomel," jawab Byan seadanya.

"Sekarang kamu di mana?" Dhafin bertanya lagi.

Byan seketika memandang sekitar. Dia berjalan mendekati pintu kamar, hendak coba dibuka. Tapi setelah dicoba beberapa kali, Byan sadar kalau kamar ini telah dikunci.

Mendengar Dhafin protes lagi lewat seberang telepon, Byan hanya menghela napas panjang. "Panjang ceritanya, Kak. Motor Byan udah diamanin, kan?"

Dhafin terdengar berdecak kesal, tapi tetap membalas pertanyaan Byan. "Kakak sudah suruh orang buat bawain ke apartemen."

Byan mengangguk, walaupun Dhafin tidak melihatnya. Tapi setelah mendengar pintu kamar mandi dibuka, Byan buru-buru mengakhiri percakapan.

"Nanti aku ambil motornya sambil cerita. Aku tutup dulu, ya."

Setelah Byan memutuskan panggilan. Baru dirinya berbalik memandang Alfa yang sudah segar dengan pakaian jas rapi.

Mata Byan memicing, melihat Alfa yang ekspresinya biasa saja. Seolah menculik Byan kemarin malam bukan apa-apa.

"Bukain pintunya!" ucap Byan dengan nada memerintah, tapi Alfa hanya diam saja di tempatnya.

"Bukain, aku mau pulang. Ada kerjaan hari ini, nggak usah main-main kaya gini," lanjutkan Byan setelah permintaannya tidak digubris.

Sepertinya Alfa memang tidak ada niatan untuk membuka pintu. Alfa malah dengan santai mengambil beberapa berkas di meja kerjanya yang menjadi satu dengan kamar.

"Kak," panggil Byan jengah.

"Kamu mau pulang ke mana? Ini rumag kita. Semua orang pindah ke sini buat kamu. Terus soal kerjaan, nggak usah," jawab Alfa tidak peduli dengan adiknya yang sudah mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Byan marah, tentu saja. Dia sudah berusaha lari sejauh mungkin untuk lepas dari keluarga tocix seperti mereka, tapi sekarang seenak jidatnya ingin Byan kembali?

Dengan helaan napas jengah, Byan menarik setiap laci yang ada di ruangan itu. Guna mencari kunci kamar yang sepertinya Alfa sembunyikan.

Sementara kakaknya hanya diam memastikan, seolah tidak peduli dengan apa yang Byan lalukan.

"Berarti tidak ada di sini," batin Byan, yang kembali mendekati Alfa.

"Kak Alfa, sarapan sudah siap!"

Baru saja Byan ingin mengajak Alfa berdebat, suara Nara memanggil untuk sarapan malah memotong.

Byan merasa seperti dipermainkan. Kalau saja Nara masih ada di rumah, bagaimana Byan juga bisa menjalani kehidupan dengan keluarganya.

Tanpa sadar Byan yang melamun malah diseret turun oleh kakaknya untuk ikut sarapan. Byan paling malas di acara ini.



***
Baru saja sampai di meja makan, Byan malah dipelum erat oleh Daniara. Wanita yang telah melahirkannya itu terdengar terisak pelan dipelukannya.

Byan yang kaku, tidak bisa membalas pelukan Daniara. Malahan tangannya tetap berada di samping badannya, enggan untuk terangkat.

"Kamu ke mana aja, kenapa kamu kabur dalam keadaan yang sakit?" Daniara menangkup pipi Byan lembut, mengelusnya beberapa kali dengan mata sedih.

Byan hanya memandang datar semua perlakuan itu.

"Ibu sudah tahu?" Hanya satu pertanyaan itu yang keluar.

Daniara langsung mengangguk, dia memeluk Byan lebih erat lagi. Sang kepala yang menyaksikan juga sampai memasang wajah sedih.

"Setelah sarapan kita pergi sama Ayah ke rumah sakit, ya. Ayah ingin tahu perkembangan pengobatan kamu." Brayen membujuk dengan lembut, tidak seperti dulu yang sering berkata kasar kepadanya.

"Selama ini aku rutin menjalani pengobatan. Semua hasilnya sudah ada di kosan, jadi tidak perlu cek ulang," jawab Byan, yang tentunya menghindari untuk dekat-dekat Brayen.

Rasa takut itu masih ada, saat di mana Brayen memukulkan tanpa ampun di kamar mandi. Melihat matanya saja, Byan sudah seperti akan tenggelam di lautan.

Tapi Daniara juga akhirnya membujuk. "Kami hanya ingin melakukan pengobatan terbaik untuk kamu, Nak," jawab Daniara yang melepas pelukannya, untuk memudahkan komunikasi.

Tapi Byan masih tetap menggeleng. "Nanti Byan ke kosan aja ambil pemeriksaan yang sudah lengkap," kekeh Byan, membuat Brayen juga pasrah akhirnya.

Brayen mengizinkan, tapi Byan harus pergi bersama Alfan untuk mengambilnya. Dia takut kalau sampai Byan kabur lagi.

Untungnya kali ini Byan juga tidak protes. Byan ikut sarapan lebih dulu, dengan obat yang telah disiapkan oleh bu Sari.

Omong-omong saat melihat wanita itu, Byan merasakan ada rindu yang mencekik. Tapi sayangnya Byan belum bisa menyalurkan itu.

Lilin Kecil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang