Brayen tampak begitu lesu menemui Mentari di sel tahanan. Wajahnya murung, dan hatinya selalu was-was cemas. Brayen selalu memantau ponselnya, untuk mengetahui perkembangan Byan hari ini, yang harus tetap melalukan cuci darah.
Brayem duduk di kursi yang telah disediakan di ruang jenguk, melihat Mentari yang tak kalah kacau. Wajahnya begitu pucat, penampilannya tidak lagi seindah dulu.
Hati Brayen benar-benar merasa terpukul
"Vidio yang akan dikirim Kurnia ke kakak telah sampai pada jaksa. Kakak yakin kamu bisa bebas secepatnya," yakinkan Brayen, agar Mentari tidak cemas.
"Soal Nara ...."
"Kakak tidak membantu," potong Brayen cepat. "Dia sudah kelewatan batas, perbuatannya dulu saja sudah kriminal, tapi Kakak berusaha maklum saat ingat bagaimana dia tumbuh. Sayangnya kesalahan sama terulang berulang kali. Kakak terpaksa memenjarakannya, karena Kakak takut nanti dia berbuat jahat lagi kepada Byan."
Mentari tidak berkomentar, di diam dalam waktu yang sangat lama. Brayen sampai mengira kalau Mentari marah mendengar keputusannya.
Tapi Brayen telah melihat rekaman itu, gara-gara Nara, Byan juga sangat menderita di rumah sakit.
Namun, dugaan Brayen kalau Mentari marah itu salah. Mentari malah mengangguk setuju.
"Aku telah salah mendidik Nara. Dia tumbuh menjadi gadis yang haus kasih sayang dan jahat. Aku setuju kalau Nara tetap mendapatkan hukuman pidana." Mentari berkata dengan tatapan berat, bibirnya kelu setelah itu.
Keduanya sama-sama orang tua, dan jujur ini adalah pembicaraan yang paling menyakitkan.
"Kak Brayen, selain masalah ini, aku sudah mendaftarkan diri aku sebagai pendonor ginjal Byan. Nanti kalau penyakitku kambuh, kedua ginjalku adalah milik Byan." Mentari memulai percakapan lagi.
Namun, Brayen dengan berat hati menolak. "Tidak, kamu pasti sembuh. Kakak akan mencari dokter terbaik setelah ini."
Mentari menggeleng, air matanya tanpa sadar meluruh. Sudah empat tahun berjuang, nyatanya kanker payudara yang Mentari derita tidak pernah sembuh.
Terakhir kali sebelum ke Indonesia, dokter di Singapura mengatakan kalau kankernya sudah menyebar. Harapan sembuh hanya lima persen, ditambah dengan kondisi tubuh Mentari yang terus turun.
Mentari menepuk kedua tangan Brayen yang ada di atas meja. "Sebagai bayarannya, aku hanya minta tolong perhatikan Nara sesekali, ya. Aku tidak tahu umurku masih panjang atau tidak." Mentari menghapus air matanya dengan sebelah tangan.
Melihat kesedihan Brayen, Mentari hanya bisa menyemangati kecil. "Byan anak yang baik, dia adalah malaikat yang hatinya tulus. Byan pantas menerima donor ginjalku, jadi jangan berusaha menolak, ya."
***
Brayen kembali ke rumah sakit dengan perasaan yang berat, membuka kamar Byan yang terlihat kios karena ternyata Byan mengalami demam tinggi.Selain karena cuci darah, Byan juga terus meringis kesakitannya. Luka tembak di bagian bahu Byan seakan tidak pernah bisa sembuh, anak itu selalu mengeluh kesakitan.
Dhafin, selaku orang yang merawat Byan satu tahun belakangan mengatakan kalau fungsi ginjal Byan semakin buruk. Mengingat luka parah Byan sempat membuatnya kehilangan sangat banyak.
Tindakan terberat yang bisa dilakukan adalah melakukan cuci darah tiga kali seminggu. Rasanya sangat berat harus melihat Byan kesakitan, dan terkurung di rumah sakit dalam waktu lama.
"Ayah," panggil Byan, dengan mata yang sayu.
Brayen langsung mendekat, mengelus rambut Byan yang lepek karena Byan terus mengeluarkan keringat dingin.
Ingin rasanya Brayen menangis di hadapan putranya detik itu juga.
"Kalau secepatnya kamu operasi, mau, kan?" Brayen tiba-tiba bertanya, membuat Dhafin dan istrinya yang ada di kamar Brayen ikut memandanganya kaget.
"Ayah sudah dapat donor?" Byan bertanya dengan wajah tidak percaya.
Brayen langsung mengangguk. Ia terus mengelus wajah Byan yang pucat.
"Byan takut," jawabnya jujur.
Tapi Brayen tetap meyakinkan. melihat kondisi putranya semakin buruk, Brayen harus mencari solusi terbaik secepatnya.
"Ada Ayah, ibu, kakak kembar kamu, dokter Laka, Dhafin, dan Bimo, bu Sari, pak Rarjo, dan banyak lagi. Kamu tidak boleh takut, kamu punya banyak orang-orang yang berharap cepat sembuh."
Byan ragu, dia menatap mata ayahnya dengan rasa sulit dibaca. Dan Brayen tetap tidak menyerah.
"Kamu boleh nyanyi lagi setelah ini, terserah di berapa kafe dan menerima berapa tawaran job," bujuk Brayen dengan senyum tulus.
"Aku tidak mau kuliah."
"Boleh," jawab Brayen cepat.
"Kalian jangan pernah benci Byan, lagi."
Brayen langsung memeluk Byan, dia menangangguk dengan cepat agar anaknya tidak berpikir seperti itu lagi.
"Ayah selalu sayang kamu, Nak."
![](https://img.wattpad.com/cover/372106405-288-k766934.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Teen FictionByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...