"Ibu kapan pulang?" tanya Nara setengah merengek, dia sedang ada di depan kampus, menunggu taksi yang akan lewat.
Nara terlihat begitu kesal saat ibunya selalu berkata untuk tinggal dengan om Brayen dulu, ya. Nara merasa seperti ditinggalkan.
Belakangan ini Nara sangat iri melihat perhatian keluarga Prajan terpecah kepada Byan. Orang yang susah-susah Nara singkirkan malah berada di dalam rumah yang sama lagi.
Kedua kakak kembarnya tidak lagi sama, mereka telah tahu kebenarannya. Jadi Nara sadar betul kalau keduanya menaruh benci secara terang-terangkan.
Nara menghela napas panjang, kembali merengek kepada ibunya. "Mereka sudah tidak sayang Nara lagi, Nara pengen ibu bantu singkirin Byan. Kali ini harus benar-benar tidak bisa kembali."
"Nara, kamu jangan bertindak gegabah, ya. Besok ibu pulang," bujuk Mentari yang tidak didengarkan oleh Nara.
Gadis cantik itu tidak menjawab apa-apa, dia malah berbalik ke belakang, dan melihat ayahnya ada di sana sambil tersenyum lebar. Nara cukup syok, karena tidak pernah bertemu ayahnya secara langsung setelah kejadian itu.
"Ayah?" panggil Nara yang binggung akan berekspresi apa.
Nara langsung memutuskan sambungan teleponnya, dia memandang Kurnia, sosok ayah yang membuat Nara hadir ke dunia. Tapi ia juga yang membuat putrinya dijauhkan dari dirinya.
Karena melihat Nara tidak bergerak, Kurnia memutuskan untuk melangkah maju.
"Maafkan Ayah selama ini, ya Nak. Ayah menyesal pernah berlaku kasar kepada kalian. Kalau bisa Ayah ingin memperbaiki semuanya," ucap Kurnia dengan wajah yang terlihat begitu bersedih.
Nara cukup tersentuh, dia membiarkan ayahnya melangkah lebih dekat.
"Kamu mau, kan, memberi Ayah kesempatan. Kita pulang ke rumah Ayah. Apapun yang kamu minta pasti Ayah berikan. Termasuk menjadikan kamu orang yang paling disayang di keluarga Praja."
Mata Nara sedikit menunjukkan keraguan, tapi setelah Kurnia memeluknya, Nara langsung patuh.
"Ayah serius, kan?"
Kurnia mengangguk, sudut bibirnya terangkat dengan senyum picik yang terulas. Sejauh ini semuanya ada di dalam kendalinya, semua yang Kurnia atur selalu tepat pada plotnya.
***
Byan sedang memandang bu Sari yang memotong buah, ini adalah makanan rutin yang Byan makan jika sudah bu Sari yang merawatnya.Kali ini Byan hanya minta makan buah melon, rasanya Byan sedikit tergiur saat melihat konten makan buah. Melon salah satu yang menarik perhatian Byan secara penuh.
Karena cukup lama Byan menunggu sambil duduk, sampai ayah Byan datang ke dapur, membuat Byan dan bu Sari seketika saling pandang. Sangat tidak mungkin seorang Brayen Praja mau masuk area dapur, sang nyonya saja sangat jarang.
Brayen tersenyum mamandang Byan, dan mengajak Byan untuk berbicara sebentar.
Karena Byan senang dengan kegiatannya sempat membuatnya ragu untuk ikut. Namun, tetap saja, menolak ajakan sang ayah belum berani Byan lakukan.
Secara tidak semangat Byan mengikuti Brayen, yang mengajaknya duduk di teras belakang rumah. Ini sudah sore, beberapa kali sejak Byan ada di rumah ini, Brayen menyempatkan untuk pulang lebih awal.
"Ayah mau bicara apa?" tanya Byan langsung ke intinya.
Byan cukup kecewa karena Byan masih belum bisa basa-basi kepadanya. Seperti pada saat Byan mengobrol kepada pak Rarjo.
Tapi tidak apa-apa, melihat Byan mau tinggal bersamanya saja adalah sebuab anugerah.
"Apa cuci darahmu masih dua kali seminggu?" Brayen memulai obrolan ringan.
Byan yang kikuk mengangguk binggung. "Memangnya kenapa?"
Brayen menghela napas panjang, memandang halaman belakangnya yang tampak hijau dengan rumput yang terawat.
"Ayah dan dokter Laka sudah diskusi, secepatnya kamu harus dapat donor ginjal."
Ya, Brayen dan dokter Laka memutuskan bekerja sama. Apalagi dokter Laka adalah seorang dokter sekaligus pemilik rumah sakit, jadi sudah pasti akan memudahkannya untuk mendapatkan ginjal.
Namun, Byan bukannya senang, dia malah menatap Brayen sedikit sedih. "Ayah kasihan, ya. Sama Byan?"
"Maksud kamu apa, sih. Jelas sebagai seorang Ayah, Ayah juga merasa sakit melihat anaknya berjuang seperti ini," ucap Brayen, yang sudah tiga kali menemani Byan cuci darah selama dirinya tidal sibuk.
Tapi melihat Byan yang malah menggeleng ribut, Brayen merasa sedikit binggung.
"Ayah juga ajak aku ke rumah ini karena kasihan, kan. Selama ini kalian menginginkan anak perempuan, makannya Ayah dulu marah banget sama aku karena celakai Nara. Aku bukan anak yang diharapkan? Nanti kalau Byan sembuh Ayah bisa jaga Nara sepenuhnya lagi, kan?"
Brayen memeluk Byan, membawa anaknya ke dalam dekapan hangat seorang ayah. Brayen bisa merasakan bajunya basah karena tangisan Byan.
Anak ini selalu kuat saat matanya memperhatikan, selama ini dia berjuang sendiri tapi tidak pernah menangis di hadapannya. Tapi kenapa Byan begitu rapuh sekarang.
"Kamu salah paham, nak," tenangkan Brayen tanpa mau melepaskan pelukannya. "Ayah sayang banget sama, maafin Ayah yang dulu terlalu larut dalam penyesalan, ya, Nak." Brayen ikut menangis, merasa sakit karena Byan mengukapkan lukanya dengan tangisan.
Brayen begitu menyesal telah membuat Byan menjadi korban lain.
"Ayah menyayangi Nara karena merasa bersalah. Gara-gara mau menyelamatkan perusahaan Tante Mentari harus putus kuliah dan mau menikah menjadi madunya Om Kurnia. Ayah juga gelap mata karena tidak bisa memenjarakan ayahnya Nara. Rasa penyesalan itu selalu ada Byan, Ayah hanya ingin menebus kesalahan Ayah dan terus melakukan yang terbaik, sampai Ayah lupa kamu yang harus terluka."
Brayen tidak berhenti mengelus kepala belakang Byan, demi meredakan sedikit tangisan sang anak.
"Tapi kalian tidak pernah menyalahkan Nara, Byan merasa tidak adil," adu Byan yang mulai meluapkan sesak di dadanya.
"Itu karena Nara selalu dalam bahaya. Ayahnya mengancam akan menyakiti Nara lagi. Makannya Ayah masih melindungi Nara semampu Ayah, tapi untuk kamu. Ayah benar-benar minta maaf, Ayah akan melakukan apapun untuk menepus kesalahan Ayah."
Brayn melepas sebentar pelukan Byan, untuk melihat wajah Byan yang penuh air mata.
"Janji sama Ayah, ya. Kamu harus mau sembuh, Ayah mau nembus luka yang pernah Ayah buat dimasa lalu," ucap Brayen mengelap air mata Byan dengan telapak tangannya. Ia juga mengosok wajahnya karena ikut menangis tadi.
Sekarang Brayen sadar, siapa yang harus diutamakan. Bukan hanya hari ini, tapi untuk ke depannya juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Teen FictionByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...