Byan dimasa masuk ke dalam perkarangan rumah yang cukup menyeramkan. Rumahnya memang luas, tapi kondisinya sudah tidak terawat, seperti sebuah bangunan tua.
Selama perjalanan Byan berusaha tetap fokus, tangannya yang ada di dalam hoodie sedang mengirim pesan kepada Dhafin. Ia berharap nanti Dhafin dapat menolongnya tepat waktu.
Di saat Byan sudah turun dari mobil, ia sengaja meninggalkan ponselnya tetap di sana. Agar nanti saat diperiksa tidak ketahuan.
Mentari yang harap-harap cemas menggandeng tangan Byan dengan sedikit meremasnya. Sampai sini ia tidak tahu ini jebakan tantenya atau memang murni Mentari sedang mencari pertolongan.
Dua orang berbadan besar membawa mereka, Mentari dan Byan dipisahkan, masing-masing tangan mereka dibawa ke belakang tubuh. Keduanya tidak melawan, sama-sama berkeringat dingin saat merasakan tubuh mereka mulai diperiksa. Semua barang yang dibawa disita.
"Ayo masuk!" Mereka menyeret Byan dengan kasar, membawanya ke ruang tengah.
Berbeda dengan keadaan di luar, isi dalamnya cukup rapi. Mungkin karena Kurnia meningali sementara tempat ini.
Sesosok pria yang masih gagah dan tampan diumurnya sekarang sedang berjalan mendekati mereka. Di belakangnya ada Nara yang diseret dengan pakaian compang-camping serta wajah penuh memar.
"Nara! Kamu kenapa, Nak. Apa bajingan ini menyakitimu!" teriak Mentari terlihat histeris menyaksikan bagaimana kondisi putrinya.
Sementara yang dihina hanya menunjukkan senyum sinis.
"Lepaskan tangan mereka, agar aku bisa leluasa bermain," ucap Kurnia tidak ada beban.
Dua orang itu menjauh, tapi tetap menyuruh Mentari ada di tempatnya. Pasalnya Mentari hampir berlari untul menerjang putrinya itu tadi.
Melihat dua orang yang diharapkan datang sudah di depan mata, Kurnia menatap sejenak sebelum memberi kode kepada bawahannya untuk mengambil dua pistol. Satu pistol untuknya, dan yang kedua diberikan kepada Mentari.
"Apa ini?" tanya Mentari binggung.
Tapi Kurnia hanya tersenyum miring. "Kamu ingi nyawa putrimu selamat, kan? Tukar dengan nyawa Byan." Kurnia menunjuk Byan dengan moncong pistolnya.
Jelas Mentari tidak mau, dia menggeleng keras dengan air mata bercucuran.
"Kamu hanya minta membawa Byan. Tolong jangan minta itu, aku sudah melalukan segalanya yang kamu mau selama ini, apa itu belum cukup?" tanya Mentari sembari terisak.
"Kamu pikir melihat mayat adikku tergantung di kamarnya membuat kakakmu menyesal? Bahkan di hari kematiannya Brayen mengadakan pesta mewah, menari-nari di atas luka adikku tanpa peduli apapun!" Kurnia balik membentak.
Matanya penuh dendam, jiwanya hanya ada untuk membalas luka yang sangat pelik selama ini adiknya derita. Dia ingin membalas luka dengan luka yang lebih setimpal.
Nyatanya setelah membuat adik bungsu Brayen menderita, ia belum puas. Saat beralih kepada Byan, Kurnia malah semakin haus. Inilah puncaknya, dia ingin melihat darah Byantara Praja, anak bungsu Brayen menggenang di atas lantai ini.
"Bunuh anak itu, arahkan moncong pistol kepada kepalanya!" perintah Kurnia. Akan tetapi Mentari tidak bergeming.
Kurnia marah, dia memukul Nara menggunakan batang pistolnya hingga gadis itu menjerit kesakitan. Dia tidak bisa mengelak, karena badannya yang munggil dipegangi dua orang.
"Cepat lakukan?"
Setelah melihat putrinya diperlakukan begitu, Mentari perlahan mengarahkan moncong pistolnya ke kepala Byan. Tangannya gemetar, badannya juga ikut lemas, sementara air matanya tidak mau berhenti mengalir.
Ia seorang ibu, mana bisa membunuh anak lainnya. Hatinya terlalu sakit untuk melakukan perintah itu, apalagi saat memandang bagaimana Byan yang banyak terluka selama ini.
"Aku mohon Kurnia, minta hal lain saja," mohon Mentari yang hampir bersimpuh, tapi Kurnia memohon.
"Tarik peletuk pistolnya lalu lepaskan!" Kurnia memandang tajam Mentari.
"Tapi ...."
"Baik, aku akan membunuh anak tersayangmu," balasnya dengan mengarahkan moncong pistol ke kepala Nara.
Mentari syok, dia menangis hebat sambil melakukan apa yang Kurnia arahkan. Walaupun hatinya terus membrontak.
"Maafkan Tante," ucapnya menekan pelatuknya keras.
Kurnia tersenyum menang, menurunkan pistolnya dari kepala Nara untuk melihat pertunjukkan yang menyenangkan.
Akhirnya setelah ini adiknya akan tenang.
"Maaf," ucap Mentari lagi, lalu melepaskan pelatuknya.
Suara tembakan pistol menggema, Mentari langsung jatuh tertunduk meleparkan pistol yang habis dia pakai untuk membunuh. Dirinya seorang pembunuh sekarang.
Mentari meraung menangis, membuat Byan yang tadinya syok ikut tertunduk.
"Apa Tante berhasil, dia sudah mati, kan?" tanya Mentari yang masih menangis sambil bersimpuh.
Byan langsung memandang ke arah Kurnia tadi, pria itu telah tergeletak berdarah di atas lantai. Para pengawalnya sudah melarikan diri setelah mendengar suara sirine polisi.
Byan juga berdiri, ingin mencari pertolongan keluar, tapi sebuah peluru menebus dadanya. Byan mematung, badannya ambruk begitu saja dengan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Nara, apa yang kamu lakukan?!" Mentari marah, berdiri dengan tergesa-gesa menghampiri Byan yang sudah ambruk dengan darah menggenang.
Sang pelaku tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun, Nara hanya memandang dingin.
"Kita akan memanfaatkan situasi ini untuk menyingkirkan Byan. Sejak pria itu sakit keluarga Praja tidak sayang Nara lagi!" ucap Nara dengan lantang.
Mentari tidak mendengarkan putrinya, Nara sudah gila. Dia hanya membantu Byan untuk menutupi luka tembak di lengan atasnya yang terus mengeluarkan darah.
.
.
.
.
.
Orang yang paling nggak tahu diri di novel ini cuma Nara. Pengen tak pites nggak sih😪
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilin Kecil (END)
Teen FictionByan memutuskan kabur dari rumah dengan sebutan anak pembunuh tidak bertanggung jawab dari keluarganya. Namun, setelah Byan lari sejauh mungkin, mereka malah mencarinya ke ujung bumi manapun Byan bersembunyi. Sialnya lagi, hati Byan kembali tergores...