09. Lembaran Baru

659 53 0
                                    

Seorang remaja menyanyi di depan kafe membawa lagu terbarunya dengan senyum manis yang mengoda. Jeritan tertahan pada pada gadis cantik yang bersatus lajang dan juga genggaman tangan sepasang kekasih mampu mendekripsikan lagu apa yang sedang dibawakan.

Pembawa lagu yaitu adalah Byantara Praja, putra dari bungsu dari keluarga Praja itu tengah menyanyi dengan penampilan barunya. Rambutnya yang hitam kini telah berubah menjadi coklat. Telinganya yang bersih dari tindikan kini terpasang apik anting kecil berbentuk bulat berwarna hitam. Tidak hanya satu tindikan, di masing-masing telinga terdapat dua.

Hanya wajah manisnya yang sedikit gembul yang masih sama. Penurunan berat badan Byan tidak membuat pipinya menjadi tirus, sepertinya memang bawaan dari lahir, ia diciptkan sangat mirip ibunya. Berbanding terbalik dengan saudara kembarnya.

Tapi itu hanya masa lalu, Byan tidak punya keluarga lagi. Marga Praja sudah lama dihilangkan, hanya nama depannya saja Byan sisakan. Itu adalah pavorit bu Sari.

Setelah satu tahun lalu Byan memutuskan kabur dari kota Jakarta, ia mendaratkan kakinya di Bandung. Ia tinggal di kos-kosan kecil yang biaya sewanya enam ratus ribu perbulan.

Bukan karena Byan miskin, dia bekerja di tiga kafe sekaligus. Belum lagi Byan terkadang menerima job di luar itu untuk menyanyi di acara tertentu.

Dan tabungan Byan saat ini juga sudah mencapai tiga milyar, hasil dari menjual apartemen ayahnya. Tapi Byan sedang merasa menjadi boronan saat ini makannya tinggal di tempat yang tidak terduga.

Memang agak gila Byan waktu itu,  melihat sertifikat tergeletak begitu saja, ide merampok Byan langsung bangkit.

Tapi Byan senang, itu adalah sedikit pelampiasan rasa kesal Byan juga.

Setelah selesai menyanyikan tiga lagu di kafe tersebut. Byan memaki masker dan baju hoodienya itu menutupi wajahnya yang mungkin saja dikenali orang.

Byan melarang pengujung memotretnya saat bekerja untuk disebarkan di sosial media. Kalau ada yang melakukannya maka Byan mengancam tidak akan pernah menyanyi di tempat itu.

Sementara saat di luar ruangan, Byan selalu menggunakan masker dan hoodie kebesaran agar tidak ada yang mengenalinya.

Bukannya tidak mungkin keluarganya mencari Byan karena telah menjual apartemen dengan entengnya. Jadi lebih baik bersembunyi.

Byan bekerja dengan membawa honda maticnya, ia akan pulang kekosan hari ini. Jam juga sudah menunjukkan waktu sore. Hari ini Byan kebetulan free sampai besok siang. Byan bekerja di kafe hanya dua kali seminggu, jadi wajar dia bisa mengambil banyak perkejaan sekaligus.

Satu tahun tinggal di daerah ini membuat Byan sudah terbiasa dengan hiruk pikuknya. Ia selalu mencari kesibukkan agar rasa rindunya kepada bu Sari dan pak Rarjo tidak membunuh Byan secara mutlak.

***
Baru saja sampai, Byan sudah melihat mobil hitam terparkir di depan kos. Byan dengan kesal memasukkan motornya ke dalam lingkungan kos. Kebetulan parkir motor ada di halaman kos.

Byan turun dari motor dan menghela napas panjang. Hal pertama yang menyambut Byan saat membuka pintu adalah Dhafin Kanawa. Seorang perawat muda yang berusia dua puluh lima tahun.

Dulu Dhafin menemukan Byan pingsan di kos-kosan, katanya dia adalah anak dokter Laka yang disuruh menengoknya. Ya, sebenarnya kaburnya Byan dibantu oleh dokter Laka, bahkan dari menjual apartemen sampai membuka kartu ATM, itu adalah bantuan dokter Laka.

Dhafin sendiri tinggal di sebuah apartemen mewah dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Sebenarnya Dhafin berkerja di rumah sakitnya sendiri. Dhafin dipindahkan ke Bandung oleh dokter Laka untuk mengurus rumah sakit yang memang dibuatkan khusus untuk Laka, hadiah atas berhasilnya lulus kuliah keperawatan.

Jelas itu bukan hal yang sulit, mengingat ayahnya sendiri seorang dokter dan ibunya adalah pengusaha sukses.

Byan memandang Dhafin yang sedang rebahan dengan mata terpejam. Mungkin juga sudah tertidur lelap, karena saat Byan membuka pintu, sang empu tidak terusik sama sekali.

Byan memutuskan mandi meninggalkan Dhafin, baru setelahnya dia makan nasi kotak yang dibawa oleh Dhafin tanpa harus izin dulu kepada sang empu.

"Eum, sudah pulang?" ucap Dhafin setengah sadar.

"Kalo capek Kak Dhafin istirahat di apartemen, bukannya kelayapan ke kosan aku," omel Byan yang sambil makan.

Dhafin hanya meringis, ia mendudukkan dirinya di bibir kasur. Menatap Dhafin yang makan dengan nikmat.

"Kakak kan kangen kamu, Adek Kaka yang gemes ini udah makan atau belum," balas Dhafin dengan wajah dibuat cemberut.

Byan hanya geleng-geleng kepala. Padahal baru juga kemarin main ke kosannya, tapi katanya kangen.

Tapi Byan tidak bisa bohong dengan perasaannya sendiri. Jujur dia merasa hangat. Setelah pindah ke Bandung dia punya keluarga baru. Keluh kesahnya didengarkan, dan bebannya terasa dibantu sangat banyak.

Byan membereskan makannya, mengambil obat yang harus diminum baru duduk di samping Dhafin.

"Mau bikin lagu, ayok!" ajak Byan yang tahu kesukaan Dhafin kalau ada waktu senggang seperti ini.

Dhafin jelas tersenyum lebar dan langsung mengangguk antusias.

Lilin Kecil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang