Raygan menuntun tangan Vienna yang terdiam membisu sejak ia turun dari mobil. Vienna tidak tau harus berkata apa selain mengikuti Raygan kemana membawanya pergi. Mereka berdua berjalan memasuki pemakaman sampai Raygan sudah tiba di dekat kuburan kedua orang tuanya.
"Ini orang tua gue." Raygan menyentuh papan nisan kuburan orang tuanya.
"Maaf Ray. Gue turut berduka."
"Lo nggak tau apa-apa Vien. Nggak perlu merasa begitu." Raygan menggenggam tangan Vienna untuk menenangkannya.
Pemakaman itu cukup ramai orang yang datang berziarah, mungkin karena hari ini hari minggu. Ada empat sampai enam mobil yang terparkir di depan beserta satu motor. Itu motor milik bapak tua yang sering dibayar untuk membersihkan makam yang tak diurus oleh keluarganya. Bahkan berbulan-bulan tidak kunjung datang berziarah.
Raygan kenal baik dengan bapak tua itu. Raygan selalu meluangkan waktunya untuk mengunjungi makam orang tuanya setiap akhir bulan. Juga, karena ia merasa tak banyak waktu yang dia habiskan bersama kedua orang tuanya. Ia cukup merasakan penyesalan, tapi semua memang bukan kehendaknya. Sampai kapan pun, dia tidak akan rela penyebab kematian orang tuanya hidup bahagia bersama orang-orang yang disayanginya.
Raygan kembali ke mobil sebentar mengambil bunga untuk ditaburkan. Sementara Vienna jongkok memandang lebih dekat papan nisan kedua orang tua pacarnya itu. Ia tak menyangka, Raygan ternyata kesepian selama ini. Raygan pun juga tak punya saudara yang tinggal di Indonesia.
Vienna membaca tulisan yang ada di hadapannya. "Yumna Asari Binti Jaka Umar."
"Hantara Haib Smith Bin Margen Maven Smith."
Vienna sedikit terkejut mengetahui Raygan punya garis keturunan dari Inggris. Marga 'Smith' jelas populer dan tidak asing bagi banyak orang. Namun marga itu hanya berhenti pada nama Ayahnya. Vienna bertanya dalam hati 'Kenapa marga itu tidak ada pada nama Raygan?'. Vienna kemudian melafalkan nama lengkap Raygan yang ia tahu, "Raygan Arta Hantara."
Vienna sesaat menunduk sedih, ternyata ia tidak banyak mengetahui tentang keluarga dan kehidupan Raygan selama ini. Ia bahkan seperti tidak tahu apa-apa.
Vienna mengendalikan emosinya. Raygan sudah berjalan menuju ke arahnya dengan sekeranjang kecil kelopak bunga mekar. Raygan terus tersenyum pada Vienna sejak tadi, padahal dalam hatinya ia menahan rasa sesak yang menumpuk. Setiap berziarah seorang diri, ia tidak pernah bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.
"Gue baru bisa cerita karena gue baru siap sekarang. Dan gue rasa lo, Vienna, adalah orang yang bisa gue percaya dari pada siapa pun. Hanya lo yang gue punya saat ini," tuturnya pelan. Raygan ikut jongkok di samping Vienna.
Kedua mata mereka bertemu. "Dan gue harap Vien, lo juga bisa terbuka apa pun sama gue. Kita bisa saling terbuka untuk masalah apa pun ke depannya," ucap Raygan lagi. Vienna hampir meneteskan air matanya, namun ia tahan. Matanya berkaca-kaca lalu memeluk Raygan erat. Ia merasa sangat beruntung memiliki Raygan yang tulus mencintainya.
Raygan tersenyum lalu menangkup kedua pipi Vienna. Sedetik kemudian, mendarat sebuah ciuman singkat di dahi Vienna. Vienna menjadi sangat malu sekarang.
"Gue bisa paham, Ray. Gue harap lo benar-benar orang yang mencintai gue dengan tulus, sampai kapan pun. Masalah mungkin selalu ada, tapi jangan pernah berubah. Tolong, jangan buat gue kecewa. Gue selalu ada disini, jangan merasa sendirian mulai sekarang."
Raygan mengangguk lalu berkata. "Gue selalu berusaha untuk itu." Vienna memeluknya lagi.
"Ayo kita pulang." Vienna mengiyakan, lalu melepaskan pelukannya. Raygan dan Vienna pun kembali ke mobil untuk pulang.
Raygan membukakan pintu mobil untuk Vienna. "Makasih, pacar," ucap Vienna, lalu naik ke kursi penumpang di sebelah Raygan. Raygan selalu membukakan pintu mobil untuknya, kalau tidak lupa. Sebelum naik ke tempatnya, Raygan memasukkan kembali keranjang kecil tempat bunga tadi, ke kursi di belakang Vienna.
Vienna menunggu Raygan masuk ke dalam mobil, karena seseorang menelponnya. Samar-samar Vienna mendengar percakapan mereka. Itu Alita yang menelpon.
Telepon terhubung
"Kenapa, Ta?"
"Lo sibuk, Ray?"
"Gue di jalan ini. Gue sama Vienna. Kenapa?"
"Di jalan mana?"
"Jalan Merpati II."
"Yes! Kebetulan banget! Gue nebeng bareng kalian, ya. Duit gue habis. Gue share lock sekarang."
"Oke."
Telepon berakhir
***
Alita menghentakkan kakinya kesal. Itu memang hobinya. Ia merasa kesal hpnya tiba-tiba mati sebab baterainya habis. Untung saja dia sudah mengabari Raygan untuk menjemputnya. Ia menunggu sekitar dua puluh menit lamanya, sampai mobil Raygan tiba dan memarkirnya di halaman samping pusat perbelanjaan. Alita memang suka pergi berbelanja saat hari libur sekolah, memburu barang-barang trendi yang sedang diskon saat weekend.
Senyumnya langsung terbit saat Raygan turun dari mobil kemudian menunggu Raygan berjalan ke arahnya. Namun seketika senyumnya hilang lagi ketika melihat Raygan membukakan pintu mobil lalu Vienna juga ikut turun menyapanya. Wajah cemberutnya makin mendominasi melihat kedua pasangan didepannya bergandengan tangan.
Gue masih nggak terima ya sama perbuatan lo ke gue kemarin, Vienna. Lo memang dari luar terlihat polos dan baik hati. Nyatanya, nggak! gerutu Vienna dalam hati.
Raygan membawakan barang belanjaan Alita untuk memasukannya ke dalam bagasi. Raygan pergi ke mobil duluan. Sementara Vienna menyapa Alita dan mengobrol sebentar sebelum mereka ke mobil.
"Lo habis belanja, ya?" tanya Vienna.
"Iya."
"Lo sering belanja di Mall ini?"
"Iya." Alita hanya menjawab seadanya. Itu membuat Vienna menjadi tidak nyaman mengobrol lebih lanjut. Ia cukup heran, biasanya Alita cerewet dan mengobrol banyak kepadanya. Vienna teringat dengan urusan Alita kemarin dengan guru wali kelas mereka. Ia pun ingin menanyakannya.
"Urusan lo kemarin udah beres sama Bu Wati?"
"Gue duluan ke mobil. Gue capek banget." Alita melangkah meninggalkan Vienna yang menantikan jawaban pertanyaannya.
Raygan pun memanggil Vienna untuk segera ke mobil juga. "Vienna, ayo kita pulang." Vienna mengangguk lalu menyusul Alita.
Raygan membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Alita ketika Alita lebih dulu sampai ke Mobil. Tapi bukannya malah duduk di kursi penumpang belakang, Alita dengan wajah santainya membuka pintu kursi menumpang bagian depan kemudian masuk. Setiap Raygan menjemputnya, memang itu adalah tempatnya. Ia sama sekali tidak mengerti keadaan kalau Vienna ada bersama mereka saat ini yang selaku pacar Raygan.
Raygan pun hanya terdiam ketika Vienna menyaksikan kejadian itu. Raygan masih dalam posisi memegang pintu mobil yang ia buka. Sekarang, Vienna yang masuk duduk ke kursi penumpang belakang.
"Ayo, Ray. Jalan," ucap Vienna.
"Nggak apa-apa?" Raygan bertanya. Vienna mengiyakan dengan senyuman. Jujur saja, Vienna menganggap biasa hal itu. Lagi pula, ia tau kalau Alita dan Raygan sudah bersahabat sejak lama. Ia tidak tersinggung sama sekali. Ia juga menduga bahwa Alita sedang dalam keadaan badmood atau sedang menstruasi makanya cuek pada dirinya.
***
Ada yang kesal sama Alita?
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Vote and KomenSupaya author makin semangat 🩷
HeheTerima kasih sudah membacaaa
10 Juli 2024,
Marentiya
![](https://img.wattpad.com/cover/245595701-288-k268025.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vienna (Completed)
Teen FictionIni tentang kehidupan Vienna, memiliki saudara bernama Venzo, ketua geng motor Platoz. Semuanya menjadi tidak baik-baik saja saat Vienna selalu ikut campur pada kehidupan kakaknya. Terlebih, geng Cakrawala yang merupakan musuh geng Platoz mengincar...