23. Tak Sama Lagi

15 4 0
                                    

Proses pemakaman Almarhum Rafis, Milena, dan Venzo berlangsung dengan lancar dan aman. Vienna yang duduk diatas kursi roda menyaksikan prosesnya sampai selesai dengan hati yang lapang dan ikhlas. Namun tetap saja tidak bisa membendung air matanya ketika jenazah sudah akan ditutupi oleh tanah. Disitulah Vienna kembali menangis histeris dan langsung ditenangkan oleh Kevin. Setelah pemakaman selesai, Vienna pun kembali ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun akibat tidak nafsu makan dan terus menangis setiap waktu.

Kevin membantu Vienna untuk naik ke kasur tempat tidur di rumah sakit. Setelah Vienna berbaring, Kevin melipat kursi roda lalu menyimpannya di samping meja.

"Vien, ada seseorang yang mau menemui lo."

"Siapa?" tanya Vienna cepat.

"Raygan," sebut Kevin.

"Apa lagi yang dia inginkan?" ketus Vienna, memperbaiki posisi tubuhnya lalu membelakangi Kevin yang sedang berbicara. Kevin memaklumi sikap Vienna.

"Vien, dengar ini. Raygan tidak terlibat pada kecelakaan itu. Semuanya karena Sean. Sean benci sama lo."

"Kenapa dia benci sama gue?" Vienna pun penasaran, dia berbalik badan.

"Raygan mengeluarkan Sean dari Cakrawala. Sean pun marah besar karena itu. Karena selama ini Sean selalu setia dan ada di pihak Raygan. Lo tau kenapa Raygan bisa ngelakuin itu ke Sean?"

"Kenapa?"

"Karena Sean buat lo celaka. Raygan melakukan itu karena lo, Vienna. Makanya, biarkan dia bicara kali ini, kasih dia kesempatan."

Vienna tertegun mendengar itu dari Kevin. Vienna mulai membuka pikirannya. Apakah Raygan masih peduli setelah semua yang dia lakukan? Kenapa dia peduli? Kira-kira seperti itu pertanyaan yang memenuhi otak Vienna sekarang. Akhirnya dia pun luluh dan membiarkan Raygan masuk menemuinya.

***

Raygan'S POV

Aku sudah disini sejak tiga jam yang lalu. Namun tak berani masuk ke dalam ruang rawat gadisku. Semakin aku melihatnya sedih, semakin aku merasa bersalah telah melakukan itu semua kepadanya. Aku memang sudah menyadari semua kesalahanku, namun perbuatan yang kulakukan tentu tidak bisa terlupakan dalam satu malam. Aku benar-benar laki-laki yang bersalah atas kesedihannya. Kali ini, aku sudah berjuang untuk mendapatkan keadilan atas kecelakaan itu. Sean sudah berada dibalik jeruji besi sekarang. Sean juga sangat membenciku kini.

Fokusku pada pikiranku teralihkan ketika Kevin keluar dari ruang rawat. Aku pun buru-buru bertanya kepadanya bagaimana kondisi Vienna saat ini. Apakah dia terus menangis, apakah luka di tubuhnya masih sangat sakit, dan apakah dia masih sangat kecewa padaku. Pertanyaan terakhir itu membuat Kevin bungkam. Melihat Kevin terdiam membuatku tahu diri, Vienna tidak mau bertemu denganku. Tidak apa-apa, aku akan menjaganya dari kejauhan.

"Lo bisa masuk sekarang."

Ucapan Kevin membuatku punya harapan. Aku segera masuk dengan membuka pintu sangat pelan. Saat aku masuk, aku mendapati Vienna sedang berbaring membelakangiku. Aku sama sekali tidak sakit hati karena itu. Aku sangat bersyukur dia masih mau bicara denganku walaupun membelakangiku seperti itu. Aku belum bersuara apa-apa, namun sepertinya dia sudah tau keberadaanku di dekatnya.

"Kenapa diam saja?" Vienna bersuara lebih dulu. Nadanya tidak bersahabat namun aku sangat paham, dia pasti membenciku.

"Apa lukanya masih sangat sakit?" Aku mulai menanyakan kondisinya.

"Hati gue jauh lebih sakit," jawabnya. Suasana antara kami berdua semakin lama menjadi canggung. Aku jadi sangat merindukan momen kami berdua yang tak pernah canggung seperti saat ini. Viennaku yang manis dan kalimatku yang selalu melebarkan senyumnya. Kini keadaan tak sama lagi.

"Gue ingin jelaskan semuanya, Vien," kataku lagi.

"Nggak perlu, Raygan. Kevin udah jelasin semuanya. Gue hanya terlalu lemah untuk menerima kenyataan saat ini."

Aku terkejut, Kevin ternyata benar-benar membantuku untuk menjelaskan semuanya. Aku sudah mengambil keputusan yang berat dengan membubarkan cakrawala.

"Gue tau Vien, tidak mudah bagi lo untuk memaafkan cowok berhati iblis seperti gue ini. Dan gue juga tau, gue tidak pantas dapat maaf dari siapa pun." Mataku mulai berkaca-kaca, hanya saja Vienna tidak melihat.

"Gue udah maafin lo, Raygan. Gue nggak benci, tapi kecewa," tuturnya.

"Tidak, Vien. Gue tambah merasa bersalah kalau lo terlalu baik seperti ini."

Aku mengenal Vienna sudah lebih dari tiga tahun sejak kami memasuki masa SMA. Selama aku di dekatnya, dia tidak pernah membicarakan keburukan siapa pun, tidak pernah menyimpan dendam kepada orang yang menyakitinya, dia selalu baik pada semua orang. Aku tidak tau, hatinya terbuat dari apa. Tuhan pasti tersenyum bahagia saat menciptakannya.

***

Vienna (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang