Latif sudah meninggalkan mini cafe setelah menyampaikan apa yang dia inginkan sebelum memenuhi permintaan dua orang anggota Platoz itu. Venzo dan Jio sekarang berada di parkiran cafe. Tepatnya di dalam mobil Venzo. Permintaan Latif sebenarnya tidak terlalu berat jika Platoz adalah geng berandal. Tapi Platoz bukan geng seperti itu. Apalagi Venzo sudah mendapatkan ancaman dari Rafis jika gengnya terlibat lagi dalam perbuatan kriminal.
Kepala Venzo seolah diberi pilihan yang cukup berat untuk dia pikirkan. Antara menyelamatkan adiknya atau menjaga gengnya. Dua hal itu sama-sama ingin Venzo lakukan.
"Venzo, gue akan ikut balapan itu." Jio sudah menganggap Venzo seperti keluarga dekatnya sendiri. Venzo sudah melakukan banyak untuknya, kali ini, Jio yang ingin berkorban.
"Jangan gila," celetuk Venzo.
"Gue serius. Nggak apa-apa. Lo tau kan gue jago balapan dari pada lo." Jio menaik turunkan kedua alisnya mencoba berlagak sombong. Memang kenyataannya dia sering memenangkan balapan, tapi bukan balap liar.
"Masalahnya adalah itu balapan liar. Geng kita nggak mungkin ikut balapan itu. Apalagi bokap gue ngawasin Platoz diam-diam. Gue benar-benar kacau sekarang."
"Vienna lebih penting kan, Zo. Lo selama ini selalu jagain adik lo," ucap Jio membujuk Venzo agar menyetujuinya.
"Lo bisa cari cara buat bokap lo sibuk besok malam. Udahh, gue aja yang ikut." Jio berbicara lagi.
"Lo mau patah tulang? Luka lo aja belum dibuka jahitannya," tentang Venzo.
"Venzo. Venzo. Keras kepala banget sih, lo."
"Lo yang kepala batu! Lo pikir gue tega liat lo cepet mati?"
Jio membalasnya dengan tawa. Venzo tidak mungkin ikut balapan karena traumanya belum sembuh total. Namun, ia malu mengatakannya pada sahabatnya itu.
***
Vienna menatap mobil Raygan yang baru saja berlalu dari hadapannya. Tangannya berhenti melambai saat mobil itu sudah menghilang dari pandangan matanya. Sebelum melangkah menuju rumah, Vienna sekarang jadi kepikiran dengan sikap Alita yang berubah. Ia tidak menyangka mendapati orang seperti itu, semuanya baik-baik saja kemarin, kemudian dalam satu malam setelah saling mengenal sikapnya langsung berubah. Vienna masih belum menyadari kesalahan kecil yang ia lakukan berdampak kebencian dari Alita.
Vienna mulai berjalan untuk membuka pagar rumahnya. Saat sudah membuka, lalu hendak melangkah masuk, ia merasa seperti ada orang yang memperhatikannya dari jauh. Vienna membalikkan badan, ekor matanya menyapu area sekeliling rumahnya. Ia tak menemukan siapa pun.
Sementara itu berada tak jauh dari jangkauan Vienna, berdiri sosok laki-laki berkulit putih dengan memakai topi berwarna cream sedang mengamati Vienna dari jauh. Di lehernya menggantung sebuah kamera berwarna maroon. Sepertinya itu kamera yang sudah berusia lama. Desainnya pun model kuno.
Laki-laki itu memilih duduk sebentar di rumput luas yang subur, sekitar 200 meter dari rumah Vienna. Ia melepaskan gantungan kamera tersebut dari lehernya lalu mulai mengamati satu persatu foto yang baru saja dia potret.
"Memang selalu cantik."
Selanjutnya, ia menyunggingkan senyum sempurna di bibirnya seraya berucap, "Dan selalu menggoda."
*Lokasi Pemotretan.
Vienna berada di ruang fitting model sekarang. Ia mendapat tawaran mendadak dari teman Milena yang merupakan seorang direktur perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Sebenarnya dia menolak dan ingin menjaga Mamanya di rumah yang belum sembuh total setelah pulang dari rumah sakit. Tapi karena perintah Milena, Vienna berubah pikiran dan mau melakukannya.
Kegiatan pemotretan berlangsung dengan lancar tanpa kendala apa pun. Vienna asik mengobrol dengan beberapa staf perusahaan yang bertugas. Teman Mamanya itu memang menyukai Vienna. Ia menyuruh stafnya untuk memperlakukan Vienna dengan baik serta nyaman sampai selesai.
"Ada kiriman paket untuk Bu Vienna."
Vienna langsung menoleh ke sumber suara begitu namanya disebut.
"Makasih," sebutnya saat menerima paket tersebut.
Vienna menduga kiriman tersebut dari pacarnya. Ia pun meminta gunting kepada staf lalu membukanya dengan senyum yang lebar. Rasa penatnya langsung tergantikan begitu saja dengan rasa bahagia. Vienna mengambil sebuah kertas kecil di dalam kotak. Kotaknya yang besar dan isinya yang hanya selembar kertas membuat dahi Vienna berkerut lama.
"Hati-hati dengan orang yang sangat kamu percaya. Karena dia, tidak lebih dari seorang penipu."
Vienna membaca tulisan yang ada di kertas itu dengan suara sangat pelan agar orang-orang di sekitarnya tidak perlu mendengar.
"Hubungi nomor ini sekarang," sebutnya lagi. Itu semacam perintah. Vienna tanpa berpikir panjang, langsung memasukkan nomor telepon tersebut ke hpnya. Vienna cukup takut untuk menelepon nomor tersebut, ia memilih mengirim pesan lewat WhatsApp.
Nomor Tak Dikenal
Siapa lo? Mau apa?
Pengagummu sejak lama.
Saya mau melindungimu.
Orang yang paling kamu
percaya itu, adalah seorang pembohong.Saya tidak asal bicara.
Telepon Raygan sekarang
tanya dia sedang dimana.Vienna buru-buru mencari nomor telepon Raygan lalu memencet tombol 'call'. Bukannya ia mempercayai orang tak dikenal itu, tapi ia ingin membuktikan bahwa yang dikatakan orang tersebut salah.
"Kenapa, Vien?"
"Lo dimana sekarang, Ray?"
"Kenapa? Lo baik-baik aja?"
Vienna samar-samar mendengar suara kebisingan dari telepon.
"Gue tanya, dimana?"
"Di rumah."
Vienna ingin berbicara lagi namun sedetik kemudian sebuah pesan berisi foto yang dikirim oleh orang asing itu menampilkan sosok Raygan yang sedang berada di arena balapan. Vienna menutup mulutnya dengan tangan, tak percaya. Raygan berbohong padanya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Vienna (Completed)
Ficção AdolescenteIni tentang kehidupan Vienna, memiliki saudara bernama Venzo, ketua geng motor Platoz. Semuanya menjadi tidak baik-baik saja saat Vienna selalu ikut campur pada kehidupan kakaknya. Terlebih, geng Cakrawala yang merupakan musuh geng Platoz mengincar...