14. Pengakuan

20 5 2
                                    

"Venzo Abraham masih di IGD, Sus? Di kamar mana?" tanya Vienna terburu-buru menantikan jawaban sang suster.

Rafis dan Vienna berada di rumah sakit sekarang setelah menempuh perjalanan jauh untuk bisa sampai ke tempat dimana Venzo dirawat. Milena tidak ikut karena merasa kurang sehat. Setelah suster menjawab, ia dan Ayahnya berlari menyusuri lorong rumah sakit hingga sampai ke depan ruang IGD dan menemukan Alita tertidur di sana. Vienna memperhatikan baju Alita yang terkena darah Venzo saat menolongnya.

"Alita!" serunya.

Vienna langsung duduk lalu memegang kedua tangan Alita. Alita yang masih mengumpulkan energinya itu hanya menatap Vienna dengan tatapan sayu.

"Bagaimana keadaan anak saya?" tanya Rafis, berusaha mengontrol dirinya karena terlalu cemas.

Alita menatap Rafis yang berdiri di hadapannya. Ia menatap Rafis dengan seksama. Lalu menyebutkan sebuah kalimat dalam hati. 'Dia sangat mirip dengan ayahnya. Dia memang ganteng kalau ayahnya juga ganteng.' Alita melepaskan tangan Vienna yang masih memegang tangannya, lalu hanya menjawab pertanyaan Rafis saja. Vienna jadi semakin tidak nyaman dengan sikap Alita yang dingin kepadanya.

"Masih kritis Om." Alita pun mulai menjelaskan bagaimana ia bisa menemukan Venzo di jalan dan sampai ia membawanya ke rumah sakit yang jauh dari pusat kota ini. Bahkan ia sempat menyebutkan adiknya juga.

"Saya tidak tau lagi harus berterima kasih bagaimana ke kamu, Nak." Rafis berucap sambil menahan tangis di pelupuk matanya.

Setelah itu, Alita pamit untuk pulang karena sudah semalaman ia menunggu di depan ruang IGD. Alita tidak berbicara apa pun kepada Vienna. Dan Vienna pun menjadi tahu diri sekarang, apa pun yang dia coba lakukan, Alita tidak mau berinteraksi dengannya.

"Semoga lo cepat sadar, Venzo Abraham. Gue pergi," sebutnya pelan sebelum pergi meninggalkan dua orang di sana yang menggantikannya menjaga Venzo.

Satu jam berlalu, di depan ruangan Venzo terbaring pun menjadi sangat ramai dengan para anggota Platoz yang berkumpul di rumah sakit menunggu sang
Ketua mereka sadarkan diri. Sekitar lima puluh orang yang hadir di sana, sebagian kecil duduk dilantai, sebagian besar hanya berdiri. Namun dua orang teman dekat Venzo yaitu Bambang dan Jio tidak bergabung di sana. Karena Jio dirawat di rumah sakit di kota. Sebagian besar anggota Platoz juga ada di sana.

***

Vienna terus mengintip dari luar jendela ruang IGD. Dari tadi pihak keluarga belum juga diizinkan masuk oleh dokter. Karena keadaan Venzo yang masih kritis. Jam menunjukkan pukul dua belas lewat sedikit, suara adzan pun terdengar dari salah satu masjid agung yang berada tak jauh dari rumah sakit ini. Vienna tiba-tiba mengingat seseorang. Ia belum mengabari Raygan tentang dirinya yang tak hadir di sekolah karena masalah ini.

Vienna cukup heran, karena Raygan sama sekali tidak menghubunginya sejak pagi. Ia pun memegang kepalanya, rasanya kepalanya sangat berat memikirkan semua ini, Venzo yang sekarat, Pertengkaran orang tuanya, Alita yang dingin, dan Raygan yang tak ada kabar. Hari ini Vienna merasa energinya tak sekuat hari-hari sebelumnya.

Melihat putrinya yang pucat, Rafis menyuruhnya pulang ke rumah untuk istirahat. Vienna pun bicara kepada anggota Platoz yang baru saja kembali dari mushola rumah sakit setelah melaksanakan sholat duhur berjamaah. Rabbu yang memimpin sholat mereka.

"Bang Rabbu, bisa antarkan gue pulang, nggak?" Rabbu memang memasang jaketnya untuk pamit pulang, karena ia sedang menjalani magang di sebuah perusahaan di kota dan tak bisa meminta izin banyak.

"Boleh-boleh, Vien."

Vienna pun memberikan senyumnya walau tak banyak lalu berterima kasih kepada Rabbu, kemudian mereka berdua berpamitan pada Rafis untuk pulang sebentar.

***

Vienna langsung menghamburkan dirinya ke kasur setelah sampai di rumah. Baru saja ia ingin memejamkan mata, ia teringat sesuatu hal dan langsung terduduk di atas kasur dan mengecek jam berapa sekarang. Orang misterius itu. Dia harus menemuinya. Rupanya ada chat yang masuk dari orang itu dan belum ia baca.

+62852346*****

Ayo ketemu di jembatan sarawi dekat rumah kamu. Saya tungguin sampai kamu datang.

Vienna bangkit dari tempat tidur lalu ke kamar mandi membasahi wajahnya. Ia memakai sabun cuci mukanya bertuliskan scora berwarna ungu itu, mengoleskan tipis-tipis pada wajahnya. Ia menatap cermin kaca di depannya sambil memikirkan apakah ia harus menemui orang itu atau tidak. Ia penasaran dan sedikit takut.

"Gue harus temuin. Gue harus tau siapa dia," tekadnya membuat keputusan yang menurutnya tepat. Setelah mengatakan itu, ia kemudian membilas sabun di wajahnya lalu bersiap-siap menuju tempat itu.

Jembatan Sarawi
02.00 Siang

Dari kejauhan, hampir sampai di jembatan itu, indera Vienna sudah bisa menangkap seseorang berjaket anggota geng yang tidak asing ia lihat. Tulisannya Cakrawala. Ia langsung mengingat geng itu adalah musuh geng kakaknya, Venzo. Laki-laki tersebut memakai topinya sambil memandang air di bawah jembatan yang mengalir deras. Vienna pelan-pelan mendekat padanya.

"Siapa lo?" ucap Vienna gugup.

Cowok itu berbalik lalu membuka topinya. Ia memberikan senyum lebarnya pada Vienna.

"Jangan kaget," tuturnya saat melihat reaksi Vienna.

"Kevin!!" seru Vienna, menutup mulutnya kaget.

"Iya gue," akunya.

"Vienna. Gue udah lama naksir sama lo. Tapi setiap gue mau mencoba berada di dekat lo, gue tahan. Karena gue liat lo udah jatuh cinta sama orang lain, yaitu Raygan. Gue memilih menjauh, kebahagiaan Lo ternyata ada di orang lain."

Vienna masih menyimak. Kevin melanjutkan kalimatnya kembali,

"Tapi sekarang setelah gue tau Lo bersama orang yang salah, gue nggak akan biarkan itu. Hidup lo akan dipertaruhkan karena orang itu. Lo dalam bahaya meskipun selama ini Lo merasa bahagia sama dia. Lo harus tau kalau, ..."

"Cukup!" Vienna berteriak. Kevin tidak melanjutkan ucapannya melihat Vienna tiba-tiba berteriak seperti itu. Kevin memaklumi, karena tidak mudah untuk menerima kenyataan tentang orang yang dicintai.

"Berhenti bicara omong kosong!" Vienna menutup kedua telinganya sebelum kembali membentak Kevin.

"Vien, please. Percaya ucapan gue. Gue nggak mau liat lo terluka," tutur Kevin mencoba meyakinkan Vienna lagi.

"Lo pikir gue bisa percaya sama lo? Lo suka sama gue bukan berarti lo bisa mengarang bebas tentang orang lain. Lo pengecut tau, nggak. Kevin please jangan ganggu hidup gue. Gue udah banyak masalah sekarang."

Vienna ingin meninggalkan Kevin, namun tangannya ditahan oleh Kevin.

"Vien, Gue nggak mau nambah masalah lo. Gue hanya mau lo selamat dari hal yang tidak Lo sadari selama ini."

"Biarin gue pergi!" Vienna menghentakkan tangannya lalu pergi meninggalkan Kevin. Tapi sebelum Vienna benar-benar menjauh, Kevin ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk perasaannya yang sudah dalam ia simpan baik-baik.

"Vienna! Gimana tentang perasaan gue?!!" Kevin berteriak, Vienna masih bisa dengan jelas mendengar kalimat yang Kevin ucap. Lantas Vienna berbalik lagi ke arah Kevin berdiri menatapnya sendu.

"Terima kasih sudah menyukai gue, Kevin. Tapi maaf gue harus bilang kalau lo harus hapus perasaan lo. Cari cinta Lo yang lain, tidak harus gue, kan."

Setelah mengatakan itu, Vienna sudah berlalu pergi meninggalkan Kevin yang patah hati karena dirinya.

Kalau gue nggak bisa dapat lo, Vien. Harusnya Raygan juga tidak. Gue lebih baik dari penipu itu. Ucap Kevin dalam hatinya.

***

Ada yg ingin kamu katakan pada Kevin?

*

Sad Boy guys wkwkwk

Terima kasih sudah membaca
Tinggalkan komen dan Votenya..

17 juli 2024,
Marentiya

Vienna (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang